5. Hadits
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu
عَنْ عُمَرَ رضى الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌٌ
وَالنَّاسُ فِي الصَّلاَةِ فَقَالَ حِيْنَ وَصَلَ اِلَى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ
كَبِيْرًَا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًَا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةًً
وَاَصِيْلاًَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ قَالَ:
[مَنْ صَاحِبُ اْلكَلِمَاتِ؟] قَالَ الرَّجُلُ: اَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ، وَاللهِ
مَا اَرَدْتُ بِهَا اِلاَّ اْلخَيْرَ قَالَ: [لَقَدْ رَاَيْتُ اَبْوَابَ
السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ] قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ
سَمِعْتُهُنَّ.
Artinya: Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan.
Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata, “Allahu akbar kabiran
walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.” Setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau
bertanya, “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab, “Saya,
ya Rasulullah. Demi Allah, saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu.”
Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka
menyambut kalimat itu.” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku belum
pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.” [1]
6. Hadits
Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضى الله عنه
قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ
رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ [سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ] قَالَ رَجُلٌٌ
وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًَا كَثِيْرًَا طَيِّبًَا مُبَارَكًَا
فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَاَلَ [مَنِ اْلمُتَكَلِّمُ؟] قَالَ: اَنَا قَالَ:
[رَاَيْتُ بِضْعَةًَ وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًًا يَبْتَدِرُوْنَهَا اَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا].
Artinya: Rifa’ah bin Rafi’
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata,
“Sami’allahu liman hamidah.” Lalu seorang laki-laki yang ada di belakangnya
berkata, “Rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih.”
Setelah selesai shalat, beliau bertanya, “Siapa yang membaca kalimat tadi?”
Laki-laki itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Aku telah melihat lebih dari
30 malaikat berebutan menuliskan pahalanya.” [2]
Hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu (no. 5) dan hadist
Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu (no. 6) memperlihatkan sikap dua
orang sahabat yang menambahkan bacaan dzikir pada saat iftitah dan i’tidal atas
dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, mereka telah menambahkan perkara baru ke dalam
dzikir-dzikir shalat. Sebelumnya, mereka tidak pernah memperoleh pelajaran dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas bacaan yang mereka
ucapkan di dalam iftitah dan i’tidal tersebut. Buktinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat
tambahan itu. Itu menandakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah mengajarkan bacaan itu kepada para sahabat.
Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuduh keduanya telah melakukan bid’ah dhalalah? Ternyata tidak. Beliau justru
memberi kabar gembira kepada mereka tentang pahala yang mereka dapatkan di sisi
Allah berkat bacaan mereka itu. Hadits ini menjadi dalil dibolehkannya membuat
dzikir baru di dalam shalat, apabila tidak menyelisihi dzikir yang ma’tsur,
dan boleh mengeraskan suara bacaan dzikir selama tidak membuat orang lain
merasa terganggu olehnya.[3]
Seluruh hadits yang telah dipaparkan, yakni nomor 1 hingga 6,
memperlihatkan hal-hal baru dalam urusan agama yang telah dilakukan oleh para
sahabat, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada saat itu masih berada di tengah-tengah mereka. Namun bentuk-bentuk
kreativitas mereka dalam urusan agama itu ternyata tidak lantas membuat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menuduh mereka sebagai
pelaku bid’ah dan tidak pula mengancam mereka dengan siksa neraka. Sebaliknya,
sebagaimana yang telah kita lihat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru membenarkannya dan
memberikan kepada mereka berita gembira dengan berbagai derajat kemuliaan di
sisi Allah disebabkan kreativitas mereka itu.
Pertanyaannya, mengapa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menuduh perbuatan
mereka itu sebagai bid’ah? Bukankah sebelumnya Nabi tidak mencontohkannya?
Jawabannya, karena perkara-perkara baru yang mereka buat itu tidak bertentangan
dengan syari’at Islam. Kalau pun yang demikian itu masih harus diistilah dengan
bid’ah, maka itulah yang disebuat dengan bid’ah hasanah. Inilah sebagian
dari dalil-dalil yang mentakhsish hadits tentang “semua bid’ah adalah
sesat.” Semoga Allah memberi pemahaman kepada kita.
[1] Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim (1357), Imam al-Tirmidzi (3592), Imam al-Nasa’i
(884), dan Imam Ahmad (1561).
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (799), Imam
al-Nasa’i (1016), Imam Abu Dawud (770), Imam Ahmad (19018), dan Imam Ibnu
Khuzaimah (614).
[3]
Lihat: Fath al-Bari, Juz 2 hal. 267.
0 comments:
Post a Comment