Beberapa hal yang sunnah dilakukan
terhadap muhtadhar (orang yang
sakit parah yang membawa pada kematian) pada saat detik-detik
sakaratul mautnya:
1. Mengahdapkannya ke arah
kiblat
Hal ini bisa dilakukan dengan
cara membaringkannya pada lambung sebelah kanan (kepala di bagian utara). Jika
tidak mampu maka dengan membaringkan pada lambung kirinya (kepala di selatan). Dan
bila hal ini tidak mampu juga maka dengan posisi menelentang dan memberi
sejenis bantal di kepalanya agar bisa menghadap kiblat.
2. Membacakan surat Yasin
dengan keras dan surat Ar-Ra’du dengan lirih
Ini dilakukan jika
keduanya mungkin dibaca. Namun jika hanya mungkin membaca salah satunya saja,
maka bacakan surat Yasin untuk mengingatkannya pada urusan akhirat. Jika muhtadhar
sudah tidak mempunyai perasaan, maka
yang lebih utama dibacakan adalah surat Ar-Ra’du, untuk mempermudah keluarnya
ruh.
Terdapat keterangan dalam
kitab Raudhatut Thalibin (II/97) sebagai
berikut:
ويستحب أن يقرأ عند سورة ( يس ) واستحب بعض
التابعين سورة ( الرعد ) أيضا
Dan disunnahkan
membacakan surat Yasin pada orang
yang sakit keras (sakaratul maut), dan sebagian
tabi’in juga mensunnahkan untuk dibacakan padanya surat Ar-Ra’du.
وفي رباعيات أبي بكر الشافعي: ما من مريض يقرأ
عند يس إلا مات ريانا، وأدخل قبره ريانا، وحشر يوم القيامة ريانا. قال الجاربردي:
ولعل الحكمة في قراءتها أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عليه تجدد
له ذكر تلك الاحوال. (وقوله: والرعد) أي ويسن أن يقرأ عنده الرعد أي لقول جابر بن
زيد: فإنها تهون عليه خروج الروح.
Dalam seperempat bahasan milik Abu
Bakar Asy-Syafi’i
dijelaskan: “Tidak seorang pun yang sakit
(keras) yang dibacakan padanya surat Yasin
kecuali ia akan meninggal dunia dalam keadaan lega, saat memasuki kuburnya juga
lega, saat digiring pada hari kiamat
juga lega.” Imam Al-Jarbardi
berkata, “Hikmah
membacakan Yasin adalah sesungguhnya keadaan hari kiamat
dan kebangkitan disebut dalam surat tersebut, maka saat dibacakan dapat
memperbaharui ingatannya kembali tentangnya.”
Disunnahkan juga
membacakan surat Ar-Ra’du
berdasarkan riwayat dari Jabir bin Zaid, “Sesungguhnya
surat Ar-Ra’du
dapat memudahkan keluarnya ruh.”
Juga terdapat penjelasan
sebagai berikut:
وروي. ما من ميت يقرأ عنده يس إلا هون الله
عليه. ويستحب - إذا احتضر الميت - أن يقرأ عنده أيضا سورة الرعد فإن ذلك يخفف عن
الميت سكرة الموت، وإنه أهون لقبضه، وأيسر لشأنه.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan,
“Tidaklah seorang yang
(hendak) meninggal dunia saat dibacakan Yasin
kecuali Allah memudahkannya”. Disunnahkan
juga saat menjemput kematian dibacakan surat Ar-Ra’du
karena yang demikian dapat meringankannya dari sakaratul maut,
mempermudah tercabutnya ruh, dan meringankan keadaannya.” (Lihat: Hasyiyah Ianah At-Thalibiin, II/107,164)
3. Menalqinnya dengan kalimat “Laa ilaaha illallaah”
Nabi Saw bersabda:
« مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ
الْجَنَّةَ »(رواه الحاكم)
“Barangsiapa yang akhir hayatnya membaca لا اله الاالله
maka ia akan masuk surga.” (HR al-Hakim)
Terdapat keterangan dalam
kitab Hasyiyah
al-Bujairami (I/449) sebagai berikut:
“Tetapi ada juga
yang menyarankan cukup membisikkan terus kalimat Allah, Allah, Allah, Allah Allah...
Ketika
mendampingi seseorang yang sedang sakaratul maut, karena itu lebih mudah bagi
mereka. Cukup kalimat
pendek tersebut sebagai ganti talqin, karena dikhawatirkan bacaan “La
ilaha illallah” terputus di
tengah jalan menjadi “Laa
Ilaaha”, sebab kondisi
mereka yang sudah kepayahan mendekati ajal.
Menurut qaul sahih
penalkinan dilakukan satu kali (tidak perlu diulangi), kecuali bila muhtadhar
setelah ditalkin berbicara lagi, sekalipun yang dibicarakan itu masalah ukhrawi.
Pada saat yang semacam itu maka talkin
sunnah untuk diulang kembali. Menurut Imam As-Shamiri talkin
tidak sunnah diulangi
selama muhtadhar tidak
membicarakan urusan duniawi. Talkin untuk seorang muslim
tidak memakai lafal tasbih dan ashadu,
kedua lafadz tersebut digunakan untuk mentalkin orang kafir yang diharapkan
masuk Islam.
Orang yang melakukan talkin disunnahkan bukan ahli waris, bukan musuhnya,
atau orang yang hasud/iri kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghindari dugaan
bahwa mereka mengharapkan kematian muhtadhar. (Lihat: Nihayatuz Zain, 147)
Jika yang ada hanya ahli waris, maka hendaknya
yang menalkin adalah
ahli waris yang paling sayang kepadanya. (Lihat: Qulyubi,
juz 1, 321)
4. Memberi minum kepada muhtadhar
Hal ini disunnahkan,
terutama bila ada tanda bahwa ia meminta minum.
Sebab pada waktu
itu setan menawarkan minum yang akan ditukar dengan
keimanan.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment