Rebo
Wekasan adalah tradisi ritual yang
dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon perlindungan
kepada Allah dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari
tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun temurun
di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lainnya.
Bentuk ritual Rebo
Wekasan meliputi empat hal: (1) shalat
tolak bala’; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4)
selamatan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat
baik kepada sesama.
Asal Usul Tradisi Rebo Wekasan
Asal usul
tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H)
dalam kitab “Fathul Malik al-Majid al-Muallaf
li
Naf’il ‘Abid wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid” (biasa
disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: “Al-Jawahir al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th
970 H), “Hasyiyah As-Sittin”, dan
sebagainya.
Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang waliyullah yang
telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang
lain) mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir bulan Shafar,
Allah Swt menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu
malam. Oleh karena itu, beliau menyarankan umat
Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tersebut.
Tata caranya
adalah shalat 4 rakaat. Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan surat
al-Kautsar
17 kali, al-Ikhlas 5 kali, al-Falaq dan an-Nas
1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali.
Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).
Pandangan Islam
Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang:
Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.
Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum syariat.
Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan al-Qur’an dan hadits. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.
Memang
ada hadits dhaif yang
menerangkan tentang Rabu terakhir di bulan
Shafar, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي...
Dari Ibnu Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” (HR Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi)[1]
Selain dhaif, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dan sebagainya), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).
Hukum Meyakini
Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir bulan
Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu ruhnya menjadi burung yang terbang.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang berkembang di masa jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi Saw membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lihat: Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sebagai berikut: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakkal kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali karramallahu wajhah adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu.” (Lihat: Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54)
Hukum Shalat
Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian
ulama di atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka
hukumnya tidak boleh, karena syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama
“Rebo Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq
atau shalat hajat, maka hukumnya boleh. Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang
tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas.
Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan
(hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal
yang dikhawatirkan).
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (Imam Masjidil Haram) dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33 menulis: “Syeikh Zainuddin murid Imam Ibnu Hajar al-Makki berkata dalam kitab “Irsyadul Ibad”, demikian juga para ulama madzhab lain, mengatakan: Termasuk bid’ah tercela yang pelakunya dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang pelakunya, yaitu shalat Ragha’ib 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab…….. Kami (Syeikh Abdul Hamid) berpendapat: Sama dengan shalat tersebut (termasuk bid’ah tercela) yaitu shalat bulan Shafar. Seseorang yang akan shalat pada salah satu waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”
Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).
Hukum Berdoa
Berdoa untuk menolak bala’ (malapetaka) pada hari Rebu
Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari
malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rebu Wekasan saja). Al-Hafidz
Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti sebab-sebab bencana seperti
melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang.
Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan diri dengan
amal-amal baik sebagai penolak bala’,
melainkan justru memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja.
Padahal itu jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada
lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat mendorong
terjadinya malapetaka. Syariat mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti
melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak bala’, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan
bertawakal kepada Allah Swt serta beriman pada qadha’ dan qadar-Nya.” (Ibn Rajab, Lathaif
al-Ma’arif, hal. 143)
Hukum Menyebarkan
Hadratus
Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah menjawab pertanyaan tentang Rebo
Wekasan dan beliau menyatakan bahwa semua itu tidak ada dasarnya
dalam Islam (ghairu masyru’). Umat Islam juga
dilarang menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Berikut
naskah lengkap dari beliau:
بسم الله الرحمن الرحيم وبه نستعين على أمور الدنيا والدين وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
أورا وناع فيتوا أجاء – أجاء
لن علاكوني صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت إع سؤال، كرنا صلاة لورو إيكو
ماهو دودو صلاة مشروعة في الشرع لن أورا أنا أصلي في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب
المعتمدة عن ذكرها، كيا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين، التحرير لن سأ فندوكور
كيا كتاب النهاية، المهذب لن إحياء علوم الدين. كابيه ماهو أورا أنا كع نوتور صلاة
كع كاسبوت.
ومن المعلوم أنه لو كان لها
أصل لبادروا إلى ذكرها وذكر فضلها، والعادة تحيل أن يكون مثل هذه السنة وتغيب عن هؤلاء
وهم أعلم الدين وقدوة المؤمنين. لن أورا وناع أويه فيتوا أتوا عافيك حكوم ساكا كتاب
مجربات لن كتاب نزهة المجالس. كتراعان سكع كتاب حواشى الأشباه والنظائر للإمام الحمدي
قال: ولا يجوز الإفتاء من الكتب الغير المعتبرة، لن كتراعان سكع كتاب تذكرة الموضوعات
للملا على القاري: لا يجوز نقل الأحاديث النبوية والمسائل الفقهية والتفاسير القرآنية
إلا من الكتب المداولة (المشهورة) لعدم الإعتماد على غيرها من ودع الزنادقة والحاد
الملاحدة بخلاف الكتب المحفوظة انتهى. لن كتراعان سكع كتاب تنقيح الفتوى الحميدية:
ولا يحل الإفتاء من الكتب الغريبة. وقد عرفت أن نقل المجربات الديربية وحاشية الستين
لاستحباب هذه الصلاة المذكورة يخالف كتب الفروع الفقهية فلا يصح ولا يجوز الإفتاء بها.
لن ماليه حديث كع كاسبات وونتن كتاب حاشية الستين فونيكا حديث موضوع. كتراعان سكع كتاب
القسطلاني على البخاري: ويسمى المختلف الموضوع ويحرم روايته مع العلم به مبينا والعمل
به مطلقا. انتهى…. …… إلى أن قال: وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا صَحَّ
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: الصَّلاَةُ خَيْرُ
مَوْضُوْعٍ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِرْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَإِنَّ
ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلاَةٍ مَشْرُوْعَةٍ. سكيرا أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة هديه كلوان
دليل حديث موضوع، مك أورا بيصا تتف كسنتاني صلاة ربو وكاسان كلوان داووهي ستعاهي علماء
العارفين، مالاه بيصا حرام، سبب إيكي بيصا تلبس بعبادة فاسدة. والله سبحانه وتعالى
أعلم. (هذا جواب الفقير إليه تعالى محمد هاشم أشعري جومباع).
Kesimpulan
Tradisi
Rebo Wekasan memang
bukan bagian dari syariat
Islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena (1) menganjurkan
shalat dan doa; (2) menganjurkan banyak bersedekah; (3) menghormati para wali
yang mukasyafah (QS. Yunus : 62). Karena itu, hukum ibadahnya sangat
bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya
sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi
penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.
Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.
Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar, seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20), maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir bulan Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dan sebagainya.
Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada hari Kamis, Jumat, Sabtu, dan sebagainya (selain Rabu Wekasan) dan juga pada bulan-bulan selain bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah (sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah Swt.
Wallahu a’lam.
[1] Dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
0 comments:
Post a Comment