Dalam shalat berjamaah ada yang ikut
shalat sejak dari awal dan ada pula yang terlambat satu atau dua rakaat. Akibat keterlambatannya itu terkadang ia
tidak mendapatkan shaf dengan jamaah lainnya. Oleh sebab itu, ia
pun akan berada di shaf belakang dan sendirian. Lalu, secara fiqih bagaimana
hukum shalatnya seseorang yang berada di shaf belakang sendirian?
Menurut Syekh Ali Jum’ah sebagaimana yang tertulis di Darul
Ifta’ AlMisriyah menyebutkan:
وصلاة المنفرد خلف الصف إذا كانت لعذر -كأن لم يجد من يصف
معه- صحيحة، فإذا انتفى العذر، فإنها تكون صحيحة مع الكراهة.
“Shalatnya orang yang sendiri di belakang shaf jika
karena uzur, yakni tidak menemukan orang yang satu shaf dengannya, maka
shalatnya sah. Jika tidak ada uzur, maka shalatnya sah disertai makruh.”
Adapun yang menjadi dalilnya adalah hadits yang disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari, riwayat Abu Bakrah ra, bahwa ia suatu saat
terlambat shalat berjamaah bersama Nabi Saw. Waktu itu, Nabi Saw sudah posisi
ruku’. Maka Abu Bakrah ra langsung melakukan ruku’ sebelum ia sampai di shaf (maksudnya,
ia membuat shaf sendiri di belakang). Lalu peristiwa itu disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau pun bersabda:
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا، وَلا تَعُدْ
“Allah
telah memberikan kamu kesempatan. Kamu tidak perlu mengulangi shalatmu.”
Dari hadits ini kita bisa melihat bahwa
Rasulullah Saw menolelir
sahabatnya yang berada di shaf belakang sendirian tanpa disuruh mengulangi
shalatnya. Artinya,
shalatnya tetap sah.
Namun, di hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Thabrani justru disebutkan hal yang berbeda. Yakni informasi dari Wabishah bin
Ma’bad ra:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم رَأَى رَجُلًا
يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاةَ”
“Bahwasannya Rasulullah Saw pernah melihat seorang laki-laki yang sedang
shalat di belakang shaf sendirian. Lalu beliau memerintahkannya untuk
mengulangi shalatnya.”
Menurut penjelasan Syekh Ali Jum’ah, perintah Nabi Saw dalam hadits yang kedua ini bukanlah wajib,
tetapi sunnah. Di sini Syekh Ali Jum’ah mencoba mengompromikan dua hadits yang seakan bertentangan tersebut. Sehingga,
orang yang berada di shaf belakang sendirian saat jamaah itu tetap sah
shalatnya. Baik disengaja atau tidak. Hanya saja, disunnahkan mengulang shalatnya sebagaimana teks
hadits yang
kedua tersebut.
Di sisi lain, menurut ulama madzhab Hanbali, orang yang
shalat di belakang shaf secara sendirian dengan tanpa adanya uzur, atau melakukannya
dengan sengaja, maka shalatnya dihukumi batal. Yang mereka jadikan dalil adalah
hadits yang bersumber dari Wabishah bin Ma’bad ra di atas. Sedangkan jika
kasusnya seseorang itu berada di shaf belakang karena tidak ada tempat lagi, maka
ulama fiqih berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Menurut ulama madzhab Maliki dan salah satu dari pendapat
ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa seseorang yang berada di shaf sendirian
tersebut hendaknya tetap berdiri di belakang shaf. Dia
tidak boleh menarik salah satu makmum di depannya untuk menemani dirinya
berdiri di shaf belakang. Hal ini disebabkan karena otomatis orang yang berada
di depan tersebut meninggalkan keutamaan shaf bagian depan.
Bahkan ulama madzhab Maliki menambahkan pendapat bahwa
jika seseorang yang berada di belakang shaf tersebut menarik makmum yang berada
di depannya, maka makmum tersebut boleh untuk menolaknya, yakni tidak menaati
orang yang berada di saf belakang. Pendapat ini juga dipegang oleh salah seorang ulama madzhab Hanafi, yakni Imam Al-Kamal
bin Al-Hamam.
Adapun menurut ulama madzhab Hanafi dan pendapat shahih yang
dipegangi oleh ulama madzhab Syafi’i, disunnahkan baginya untuk menarik
seseorang yang berada di shaf depannya untuk menemaninya di shaf belakang. Namun
hal ini bisa dilakukan dengan syarat orang yang ditarik itu dapat dipastikan paham
dengan isyarat kita dan bersedia berpindah shaf ke belakang dengan cara
berjalan mundur satu langkah demi satu langkah, tidak boleh langsung melakukan
tiga langkah sekaligus, karena hal itu dapat membatalkan shalat, disebabkan ia
melakukan tiga gerakan berturut-turut. Jika ia tidak dapat dipastikan mau atau paham dengan isyarat itu, maka
tidak perlu menarik orang yang ada di depan shaf, khawatir justru malah
menimbulkan fitnah.
Sedangkan
menurut ulama madzhab Hanbali, orang
yang berada di shaf paling belakang tersebut hendaknya berdiri di samping imam
jika memungkinkan. Jika tidak, maka ia memberi peringatan kepada seseorang
untuk mau berdiri di sampingnya.
Jika tidak menemukan seseorang, maka ia shalat di belakang sendiri. Dan
dimakruhkan untuk menarik seseorang yang ada di depan shafnya. Bahkan imam
Ahmad dan Ishaq mengangap buruk hal itu.
Dengan
demikian, maka orang yang berada di shaf paling belakang sendirian ketika
berjamaah, shalatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama fiqih. Dengan syarat
ia tidak ada pilihan lain selain hal itu. Dan madzhab Hanafi dan Syafi’i memperbolehkan ia menarik seseorang yang
berada di shaf depannya dengan syarat orang tersebut sudah setuju untuk mau
ditarik ke belakang, misalnya
memang temannya, dan dia paham jika hal itu diperbolehkan. Dan bukan orang yang
tidak ia kenal. Namun,
jika ia tidak dapat memastikan orang yang berada di shaf depan dapat ditarik
atau tidak, maka ia tidak perlu menarik teman dari shaf depan. Hal ini sebagai
bentuk adab terhadap madzhab yang berpendapat tidak memperbolehkan menarik dari
shaf depan serta menolak terjadinya fitnah.
Wallahu a’lam...
0 comments:
Post a Comment