Wednesday, July 31, 2019

Published July 31, 2019 by with 0 comment

Makmum Tak Bisa Melengkapi Bacaan Fatihah

Pertanyaan:
Saya shalat Isya berjamaah. Ketika rakaat ketiga bacaan Fatihah saya belum selesai, baru sampai iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in, imam ruku’. Dalam keadaan seperti itu, apakah saya tetap melanjutkan bacaan Fatihah hingga akhir atau langsung ruku’ mengikuti imam?
 
Jawaban:
Imam dalam shalat berjamaah memiliki fungsi yang sangat penting bagi makmum. Wajib bagi makmum untuk mengikuti segala gerakan imam. Tidak boleh ada perbedaan gerakan dengan imam. Hal ini sesuai dengan hadits:
 
إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه فإذا كبّر فكبّروا وإذا ركع فاركعوا
 
“Imam itu dijadikan hanya untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihi imam. Jika imam telah takbir maka takbirlah kalian. Jika imam telah ruku’ maka ruku’lah kalian.” (HR Bukhari Muslim)
 
Terkait bacaan Fatihah-nya, makmum terbagi dalam dua jenis:
 
Pertama, makmum muwafiq, yakni mereka yang mendapati imam pada saat berdiri sebelum ruku’ dan menemukan waktu yang cukup untuk menyempurnakan bacaan Fatihah-nya sendiri sebelum imam beranjak untuk ruku’. Maka dalam keadaan demikian wajib bagi makmum untuk menyempurnakan bacaan Fatihah-nya.
 
Kedua, makmum masbuq, yaitu mereka yang mendapati imam pada saat berdiri sebelum ruku’, tapi tidak menemukan waktu yang cukup untuk menyempurnakan bacaan Fatihah dirinya sendiri karena imam sudah ruku’ terlebih dahulu sebelum bacaan Fatihah-nya ia baca secara lengkap. Dalam keadaan demikian, wajib baginya untuk langsung mengikuti ruku’nya imam, tanpa perlu melanjutkan bacaan Fatihah-nya hingga sempurna. Sebab Fatihah-nya sejatinya telah ditanggung oleh imam. 
 
Dua pembagian makmum ini secara tegas dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zein:
 
وإن وجد الإمام في القيام قبل أن يركع وقف معه فإن أدرك معه قبل الركوع زمنا يسع الفاتحة بالنسبة للوسط المعتدل فهو موافق فيجب عليه إتمام الفاتحة ويغتفر له التخلف بثلاثة أركان طويلة كما تقدم
وإن لم يدرك مع الإمام زمنا يسع الفاتحة فهو مسبوق يقرأ ما أمكنه من الفاتحة ومتى ركع الإمام وجب عليه الركوع معه
 
“Jika makmum menemukan imam pada saat berdiri sebelum ruku’, maka makmum berdiri bersamanya. Jika makmum menemukan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah dengan bacaan yang tengah-tengah, maka ia disebut makmum muwafiq, wajib baginya untuk menyempurnakan bacaan Fatihah dan dimaafkan baginya mundur dari imam tiga rukun yang panjang. Seperti penjelasan yang telah lalu. 
Dan jika makmum tidak menemukan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah maka ia dinamakan makmum masbuq. Ia wajib membaca Fatihah yang masih mungkin untuk dibaca, dan ketika imam ruku’ maka wajib baginya untuk ruku’ bersama dengan imam.” (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah az-Zein, hal. 124) 
 
Sedangkan pertanyaan yang diajukan oleh penanya di atas konteksnya ketika terjadi pada rakaat ketiga, berarti makmum tidak dapat menyempurnakan bacaan Fatihah secara lengkap di pertengahan rakaat. Maka dalam keadaan tersebut jika bacaan Fatihah imam memang terlalu cepat—sekiranya makmum yang bacaannya tengah-tengah (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lamban) tidak dapat menemukan waktu yang cukup untuk menyempurnakan Fatihah-nya—maka ia dihukumi makmum masbuq, sehingga ia langsung ruku’ mengikuti imam tanpa perlu melanjutkan bacaan Fatihah-nya, sebab bacaan Fatihah-nya telah ditanggung oleh imam. Ketentuan  ini juga berlaku ketika hal yang sama (bacaan imam terlalu cepat) terjadi di rakaat-rakaat lainnya. Seperti yang dijelaskan dalam Hasyiyah I’anah at-Thalibien:
 
وأما لو أسرع الامام حقيقة بأن لم يدرك معه المأموم زمنا يسع الفاتحة للمعتدل فإنه يجب على المأموم أن يركع مع الامام ويتركها لتحمل الامام لها، ولو في جميع الركعات
 
“Jika imam membaca Fatihah dengan cepat, sekiranya makmum tidak menemukan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah secara lengkap dengan bacaan yang tengah-tengah (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lamban) maka wajib bagi makmum untuk ruku’ bersama dengan imam dan meninggalkan bacaan Fatihah-nya, sebab imam sudah menanggung bacaan Fatihah makmum, meskipun hal ini terjadi di semua rakaat.” (Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibien, Juz 2, hal. 40)
 
Sedangkan ketika bacaan imam biasa-biasa saja, hanya saja bacaan makmum terlalu lambat hingga ia tidak dapat menyelesaikan bacaan Fatihah-nya secara lengkap, maka dalam keadaan demikian makmum tetap wajib melanjutkan bacaannya sampai selesai selama ia tidak tertinggal dari imam melebihi tiga rukun yang panjang. Sekiranya bacaan Fatihah-nya sudah selesai sebelum imam beranjak dari sujudnya yang kedua. Ketertinggalan makmum dalam hal ini merupakan uzur yang dimaafkan, sebab ia tergolong makmum muwafiq yang mestinya mendapatkan waktu yang cukup untuk menyempurnakan Fatihah. Hal ini ditegaskan dalam kitab Fath al-Wahab:
 
ـ (والعذر كأن أسرع إمام قراءة وركع قبل إتمام موافق) له (الفاتحة) وهو بطئ القراءة (فيتمها ويسعى خلفه ما لم يسبق بأكثر من ثلاثة أركان طويلة)
 
“Contoh uzur seperti imam membaca Fatihah dengan cepat dan ruku’ sebelum makmum muwafiq menyempurnakan Fatihah-nya, karena faktor bacaan dia yang pelan. Maka makmum wajib menyempurnakan bacaannya dan melanjutkan rukunnya di belakang imam selama imam tidak mendahuluinya lebih dari tiga rukun yang panjang.” (Syaikh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahab, juz 1, hal. 117)
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hal yang menjadi pijakan adalah apakah ditemukan waktu yang cukup untuk membaca Fatihah secara lengkap atau tidak. Ketika bacaan imam terlalu cepat sampai-sampai makmum yang bacaannya tengah-tengah (kecepatan sedang) tidak selesai membaca Fatihah secara lengkap, maka makmum dalam keadaan ini langsung mengikuti imam tanpa perlu meneruskan Fatihah-nya. Sedangkan ketika bacaan imam tengah-tengah yang mestinya para makmum biasanya dapat menyempurnakan Fatihah-nya secara lenglap, tapi karena bacaan salah satu makmum yang terlalu lambat maka dalam keadaan demikian wajib bagi makmum tersebut untuk meneruskan dan dimaafkan baginya tertinggal dari imam dengan tiga rukun yang panjang. Sedangkan standar bacaan dianggap cepat atau lamban disesuaikan dengan penilaian masyarakat di wilayah sekitar (‘urf). 
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit
Published July 31, 2019 by with 0 comment

Dalil-Dalil Takhsis Terhadap Hadist “Semua Bid’ah Adalah Sesat” (Bagian Ketiga)

5. Hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu
 
عَنْ عُمَرَ رضى الله عنه قال: جَاءَ رَجُلٌٌ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاَةِ فَقَالَ حِيْنَ وَصَلَ اِلَى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًَا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًَا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةًً وَاَصِيْلاًَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ قَالَ: [مَنْ صَاحِبُ اْلكَلِمَاتِ؟] قَالَ الرَّجُلُ: اَنَا يَارَسُوْلَ اللهِ، وَاللهِ مَا اَرَدْتُ بِهَا اِلاَّ اْلخَيْرَ قَالَ: [لَقَدْ رَاَيْتُ اَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ] قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ.
 
Artinya: Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata, “Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.” Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bertanya, “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab, “Saya, ya Rasulullah. Demi Allah, saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu.” Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu.” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.” [1]
 
6. Hadits Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu
 
وَعَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضى الله عنه قَالَ: كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ [سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ] قَالَ رَجُلٌٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًَا كَثِيْرًَا طَيِّبًَا مُبَارَكًَا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَاَلَ [مَنِ اْلمُتَكَلِّمُ؟] قَالَ: اَنَا قَالَ: [رَاَيْتُ بِضْعَةًَ وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًًا يَبْتَدِرُوْنَهَا اَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا].
 
Artinya: Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata, “Sami’allahu liman hamidah.” Lalu seorang laki-laki yang ada di belakangnya berkata, “Rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih.” Setelah selesai shalat, beliau bertanya, “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda, “Aku telah melihat lebih dari 30 malaikat berebutan menuliskan pahalanya.” [2]
 
Hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu (no. 5) dan hadist Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu (no. 6) memperlihatkan sikap dua orang sahabat yang menambahkan bacaan dzikir pada saat iftitah dan i’tidal atas dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, mereka telah menambahkan perkara baru ke dalam dzikir-dzikir shalat. Sebelumnya, mereka tidak pernah memperoleh pelajaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas bacaan yang mereka ucapkan di dalam iftitah dan i’tidal tersebut. Buktinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat tambahan itu. Itu menandakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah mengajarkan bacaan itu kepada para sahabat. 
 
Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuduh keduanya telah melakukan bid’ah dhalalah? Ternyata tidak. Beliau justru memberi kabar gembira kepada mereka tentang pahala yang mereka dapatkan di sisi Allah berkat bacaan mereka itu. Hadits ini menjadi dalil dibolehkannya membuat dzikir baru di dalam shalat, apabila tidak menyelisihi dzikir yang ma’tsur, dan boleh mengeraskan suara bacaan dzikir selama tidak membuat orang lain merasa terganggu olehnya.[3]
 
Seluruh hadits yang telah dipaparkan, yakni nomor 1 hingga 6, memperlihatkan hal-hal baru dalam urusan agama yang telah dilakukan oleh para sahabat, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu masih berada di tengah-tengah mereka. Namun bentuk-bentuk kreativitas mereka dalam urusan agama itu ternyata tidak lantas membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuduh mereka sebagai pelaku bid’ah dan tidak pula mengancam mereka dengan siksa neraka. Sebaliknya, sebagaimana yang telah kita lihat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru membenarkannya dan memberikan kepada mereka berita gembira dengan berbagai derajat kemuliaan di sisi Allah disebabkan kreativitas mereka itu. 
 
Pertanyaannya, mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuduh perbuatan mereka itu sebagai bid’ah? Bukankah sebelumnya Nabi tidak mencontohkannya? Jawabannya, karena perkara-perkara baru yang mereka buat itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Kalau pun yang demikian itu masih harus diistilah dengan bid’ah, maka itulah yang disebuat dengan bid’ah hasanah. Inilah sebagian dari dalil-dalil yang mentakhsish hadits tentang “semua bid’ah adalah sesat.” Semoga Allah memberi pemahaman kepada kita.


[1]  Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (1357), Imam al-Tirmidzi (3592), Imam al-Nasa’i (884), dan Imam Ahmad (1561).
[2] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (799), Imam al-Nasa’i (1016), Imam Abu Dawud (770), Imam Ahmad (19018), dan Imam Ibnu Khuzaimah (614).
[3] Lihat: Fath al-Bari, Juz 2 hal. 267.
Read More
      edit

Tuesday, July 30, 2019

Published July 30, 2019 by with 0 comment

Keutamaan Akhlak Mulia dan Kehinaan Akhlak Tercela

Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:

حُسْنُ الْخُلُقِ نِصْفُ الدِّيْنِ - رواه البيهقي
 
"Akhlak mulia adalah separuh agama." (HR Baihaqi)
 
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ - رواه الترمذي
 
"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya." (HR at-Tirmidzi)
 
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
أَثْقَلُ مَا يُوْضَعُ فِي الْمِيْزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ - رواه الترمذي
 
"Amalan yang paling berat ketika diletakkan di atas timbangan adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang terpuji." (HR at-Tirmidzi) 
 
Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang akhlak yang baik, maka beliau membaca firman Allah berikut:
 
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
 
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf (kebaikan), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. al-A'raf [7]: 199) 
 
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
هُوَ أَنْتَصِلْ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ - رواه مردويه
 
"Yaitu, kamu menyambung tali silaturahim dari orang-orang yang memutuskan engkau, memberi orang yang menghalangimu dan memaafkan orang yang zalim kepadamu." (HR Ibn Murdawaih)
 
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari arah depan seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah agama itu?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
حُسْنُ الْخُلُقِ
 
"Akhlak yang baik." 

Lalu ada yang datang dari sebelah kanan beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah agama itu?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
حُسْنُ الْخُلُقِ
 
"Akhlak yang baik."
 
Lalu ada yang datang dari sebelah kiri beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah agama itu?" Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjawab:
 
 
حُسْنُ الْخُلُقِ
 
"Akhlak yang baik."
 
Kemudian ada lagi yang datang dari arah belakang beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah agama itu?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menengok ke arah orang tersebut seraya berkata,"Apakah engkau tidak paham? Agama adalah hendaknya engkau tidak marah." (HR al-Marwazi)
 
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ فُلاَنَةً تَصُوْمَ النَّهَارَ، تَقُوْمَ اللَّيْلَ، وَهِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِيْ جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. قَالَ: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ - رواه أحمد  

"Dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa fulanah berpuasa di siang hari, bangun di waktu malam, tetapi akhlaknya tidak baik, dia menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Tiada kebaikan padanya dan dia termasuk ahli neraka." (HR Ahmad)  
 
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
سُوْءُ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ - رواه الحاكم
 
"Akhlak yang tercela dapat merusak amal seperti cuka dapat merusak madu." (HR Hakim)
 
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ مِنْ سُوْءِ الْخُلُِق أَسْفَلَ دَرْكِ جَهَنَّمَ - رواه الطبراني
 
"Sesungguhnya seorang hamba bisa sampai ke jurang terdalam neraka Jahanam karena akhlaknya yang tercela." (HR ath-Thabrani)
 
Yahya ibn Mu'adz rahimahullahu ta'ala pernah berkata, "Akhlak tercela adalah sebuah kejelekan yang menjadikan kebaikan-kebaikan yang banyak dilakukan tidak berguna. Akhlak yang terpuji adalah kebaikan yang menjadikan keburukan-keburukan yang pernah dilakukan tidak membahayakan."

Disarikan dari kitab 'Ajalah as-Sibaq ila Makarim al-Akhlaq karya al-Habib Muhammad ibn Abdullah al-Haddar
Read More
      edit

Monday, July 29, 2019

Published July 29, 2019 by with 0 comment

Hukum Potong Kuku dan Rambut Bagi Shahibul Qurban

Permasalahan ini berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadits riwayat Ummu Salamah yang tertulis di dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah Saw berkata:

إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي

“Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban,
maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun sampai (selesai) berkurban. (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain)

Pemahaman ulama terhadap hadits ini terpecah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi Saw melarang orang yang berkurban memotong kuku dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban, tetapi hewan kurbannya.

Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadits di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia baru diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.

Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadits ini ditujukan untuk orang yang berkurban, namun mereka berbeda pendapat terkait maksud larangan Nabi tersebut: apakah berdampak menjadi haram, makruh atau hanya mubah saja?

Syaikh Mulla Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan:

الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه

“Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i disunnahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunnah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.

Itulah pendapat ulama terkait potong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban. Ada ulama yang menganjurkan tidak memotong kuku dan rambut, ada yang membolehkan, namun juga ada yang mengharamkan. Imam

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunnahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka. Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa larangan potong rambut dan kuku ini disamakan dengan orang yang ihram. Artinya, selama sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah tidak dibolehkan potong rambut dan kuku sebagaimana halnya orang ihram. Pendapat ini dikritik oleh sebagian ulama karena analoginya tidak tepat. Imam Nawawi mengatakan sebagai berikut:

قال أصحابنا الحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم قال أصحابنا وهذا غلط لأنه لا يعتزل النساء ولا يترك الطيب واللباس وغير ذلك مما يتركه المحرم

“Ulama dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada
(sempurna) dan terbebas dari api neraka. Ada pula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram. Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram.

Argumentasi Pendapat Kedua
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang itu bukan memangkas rambut orang yang berkurban ataupun memotong kukunya, tetapi memotong bulu dan kuku hewan kurban. Alasannya, karena bulu, kuku dan kulit hewan kurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.

Pandangan ini sebetulnya tidak populer dalam kitab fiqih, terutama fiqih klasik. Maka dari itu, Syaikh Mulla Al-Qari menyebut ini pendapat gharib (aneh/unik/asing). Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih:

وأغرب ابن الملك حيث قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف

“Ada pendapat gharib dari Ibn
al-Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.

Pendapat yang dikatakan asing oleh Syaikh Mulla Al-Qari ini, belakangan dikuatkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadits ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain. Pemahaman matan hadits tidak akan sempurna jika hanya memahami satu hadits. Sebab itu, almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya).

Dalam disiplin pemahaman hadits (fiqhul hadits atau turuqu fahmil hadits) dikenal istilah wihdatul mawdhu’iyah fil hadits (kesatuan tema hadits). Teori ini digunakan untuk menelusuri ‘illat atau maksud satu hadits. Terkadang dalam satu hadits tidak disebutkan ‘illat dan tujuan hukumnya sehingga perlu dikomparasikan dengan hadits lain yang lebih lengkap, selama ia masih satu pembahasan. Terlebih lagi, ada satu hadits yang maknanya umum, sementara pada hadits lain, dalam kasus yang sama, maknanya lebih spesifik dan jelas.

Menurut Kiai Ali, memahami hadits Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat ‘Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:

ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا

“Rasulullah Saw mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak Adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban.  Karena ia  akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu dan kukunya. Saking cepatnya,  pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban.” (HR Ibnu Majah)

Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi:

لصاحبها بكل شعرة حسنة

“Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan.” (HR At-Tirmidzi)

Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini, Kiai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut dan kuku oran
g yang berkurban, tapi hewan kurban. Karena rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak. Almarhum Kiai Ali mengatakan:

فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى

“’Illat larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotong  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.”


Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berkurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berkurban, tidak ada soal jika ia akan memangkas rambut atau memotong kukunya.

Menurut pandangan kami pribadi, kedua pendapat di atas dapat diamalkan sekaligus: selama menunggu proses kurban, lebih baik tidak memangkas rambut ataupun memotong kuku, bila itu memang tidak diperlukan. Namun andaikan kukunya sudah panjang dan kotor, dan rambutnya sudah panjang dan berkutu, silakan dipotong dan kurbannya tetap dilanjutkan. Sebab memotong rambut tersebut tidak berdampak pada sah atau tidaknya kurban.

Kemudian untuk mengakomodasi pendapat kedua, jangan sampai kita mematahkan tanduk, kuku, ataupun memangkas bulu hewan kurban, karena kelak ia akan menjadi saksi di hadapan Allah Swt.

Wallahu a’lam
Read More
      edit
Published July 29, 2019 by with 0 comment

Hakikat Akhlak yang Baik dan Ciri-cirinya

Akhlak yang baik adalah sifat yang ada pada jiwa seseorang yang darinya keluar pekerjaan-pekerjaan yang baik dengan mudah disertai dengan menjauh dari keburukan-keburukan. 
 
Ciri-cirinya adalah membebaskan diri dari keburukan yang disebut "al-Muhlikat" (hal-hal yang membinasakan) dan menghiasi diri dengan sifat-sifat baik yang disebut "al-Munjiyat" (hal-hal yang menyelamatkan). Tiada jalan untuk menggapai itu kecuali dengan mujahadah karena nafsu secara naluri condong kepada syahwat-syahwat dan mengajak kepada keburukan. Maka harus mujahadah/melawannya sampai menjadi bersih dan suci dari kehinaan dan berhias dengan sifat-sifat keutamaan. Di dalam al-Qur'an diterangkan sebagai berikut:
 
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا 
 
"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS. asy-Syams [91]: 9-10)
 
Jihad memerangi nafsu adalah jihad yang agung (jihadul akbar). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada para sahabat yang baru pulang dari peperangan, "Selamat datang, kalian baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih agung." Beliau pun ditanya, "Wahai Rasulullah, apakah jihad yang agung itu?" Beliau bersabda, "Jihadun nafs (memerangi hawa nafsu)." (HR Baihaqi)
Nabi 'alayhish shalatu was salam bersabda:
 
 
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ - رواه الترمذي
 
"Sang pejuang adalah orang yang berjuang melawan nafsunya dalam ketaatan kepada Allah." (HR at-Tirmidzi)
 
Maka, memrangi hawa nafsu adalah memaksa nafsu untuk meninggalkan kemaksiatan dan menjauh dari akhlak yang buruk (rendah), mengerjakan perintah, bergegas menuju sifat-sifat keutamaan, serta bersabar menghadapi semua itu hingga wafat.
 
Adapun al-Qur'an memberi peringatan kepada orang-orang yang jahat dengan mengikuti hawa nafsu dan mementingkan dunia. Dan sebaliknya, al-Qur'an memberi kabar gembira bagi orang-orang yang melawan hawa nafsu, sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman berikut:
 
فَأَمَّا مَنْ طَغَى، وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
 
"Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (QS. an-Nazi'at [79]: 37-41)
 
Disarikan dari kitab 'Ajalah as-Sibaq ila Makarim al-Akhlaq karya al-Habib Muhammad ibn Abdullah al-Haddar  
Read More
      edit