Dalam
kitab al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Imam Abu al-Qasim Abdul Karim
al-Qusyairi mencantumkan kisah menarik tentang Imam Qais bin Sa’d bin Ubadah.
Berikut kisahnya:
وقيل: مرض قيس بن سعد بن عبادة فاستبطأ إخوانه
فسأل عنهم فقيل: إنهم يستحيون مما لك عليهم من الدَّين فقال: أخزي الله تعالي مالا
يمنع الإخوانه من الزيارة, ثم أمر من ينادي من كان لقيس عليه دَين فهو منه في حل فكسرت
عتبته بالعشي لكثرة من عاده
Dikisahkan:
Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah jatuh sakit. Teman-temannya lambat (atau tidak ada
yang menjenguknya). Qais bin Sa’d menanyakan mereka, dan dijawab: “Sesungguhnya
mereka malu (menjenguk)mu karena masih memiliki utang padamu.” Qais bin Sa’d berkata: “Allah akan
menghinakan harta yang menghalangi saudara-saudaranya untuk berkunjung.”
Kemudian Qais memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa barangsiapa yang
berutang pada Qais, maka ia telah membebaskannya. Lalu di sore harinya, ambang pintu (rumah)nya rusak karena
terlalu banyaknya orang yang (datang) menjenguknya. (Imam Abu al-Qasim Abdul
Karim, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Kairo: Darul Hadits, 2014, h. 136)
****
Sebelum
kita membahas kisah di atas, kita harus tahu terlebih dahulu siapa Sayyidina
Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah. Ia adalah seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia terkenal
sangat cerdas dan licik sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia mengubah gaya hidupnya dan menawarkan
diri menjadi pelayan nabi. Ia mengatakan: “Shahibtun nabiyya shallallahu ‘alaihi wasallam ‘asyar sinîna—aku mendampingi nabi sepuluh tahun
lamanya.” Sayyidina Anas bin Malik, pelayan nabi lainnya, berkata tentangnya: “Kâna Qais bin Sa’d minan nabiyyi bi manzilati
shâhibisy syurthah minal amîr—posisi Qais bin Sa’d untuk nabi seperti perwira
tinggi untuk seorang pemimpin.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’,
Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 3, h. 104)
Ia
menikah dengan saudara perempuan Sayyidina Abu Bakar, yakni Qaribah binti Abu Quhafah.
Sayyidina
Qais dan keluarganya sangat terkenal dengan kedermawanannya. Mereka tidak segan
membantu orang yang membutuhkan tanpa pamrih. Ayahnya, Sayyidina Sa’d bin
Ubadah, sangat masyhur kedermawanannya, begitu pula kakek buyutnya, hingga ada
ungkapan yang terkenal di Yatsrib, “Siapapun yang menyukai daging tebal,
datanglah ke rumah Dulaim bin Haritsah.” Dulaim adalah kakek buyut dari Sayyidina Qais bin Sa’d bin
Ubadah bin Dulaim bin Haritsah. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’,
2001, juz 3, h. 103)
Kedermawanan
Sayyidina Qais bin Sa’d terbilang di atas rata-rata. Ia tidak ragu berutang
demi memenuhi kebutuhan orang lain yang membutuhkannya. Dalam sebuah riwayat
dikatakan:
كان قيس بن سعد يطعم الناس في أسفاره مع النبي—صلى
الله عليه وسلم—وكان إذا نفد ما معه تدين، وكان ينادي في كل يوم، هلموا إلى اللحم والثريد
“Qais
bin Sa’d memberi makan orang-orang dalam perjalanannya bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, jika ia kehabisan apa yang bersamanya (miliknya), ia akan
berutang, dan berseru (kepada orang-orang) setiap hari, kemarilah (untuk
memakan) daging dan tsarîd (roti yang berkuah).” (Imam al-Dzahabi, Siyar
A’lâm al-Nubalâ’, 2001, juz 3, h. 107)
Kedermawanannya
sampai membuat Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar khawatir bahwa ia akan
menghabiskan harta ayahnya. Karena Qais bin Sa’d tak segan berutang untuk
memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
كان قيس يستدين ويطعمهم، فقال أبو بكر وعمر:
إن تركنا هذا الفتى، أهلك مال أبيه
“Qais
(sering) berutang dan memberi makan orang-orang. Abu Bakar dan Umar berkata: “Jika
kita biarkan pemuda ini (tetap melakukannya), dia akan menghabiskan harta
ayahnya.” (Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut:
Darul Fikr, 1997, juz 49, h. 415)
Ketika
ayahnya, Sayyidina Sa’d bin Ubadah mendengar perkataan Sayyidina Abu Bakar dan
Sayyidina Umar, ia tidak sependapat dengan mereka. Ia sangat bangga terhadap
kedermawanan anaknya, Qais bin Sa’d. Ini menunjukkan bahwa ayahnya sangat
mendukung perbuatan anaknya, meski ia tahu maksud Sayyidina Abu Bakar dan
Sayyidina Umar adalah baik. Respon yang sama juga ditunjukkan olehnya ketika
ada sebagian orang yang melaporkan kedermawanan Sayyidina Qais yang dianggap
berlebihan. Riwayat tersebut mengatakan:
خرج قيس بن سعد في جيش فيهم عمر بن الخطّاب,
فجعل قيس ينفق علي الجيش حتي قفلوا, فقال بعضعم لسعد: إنّ ابنك فيس لم يزل ينفق علي
الجيش حتي قفلوا, فقال سعد: أتبخلوني في ابني, والله إنّي لأحمده علي السخاء وأذمّه
علي البخل
“Qais
keluar (berpergian) dengan pasukan yang di dalamnya ada Umar bin Khattab. Qais
membiayai (kebutuhan) pasukan hingga mereka kembali. Sebagian dari pasukan
tersebut melapor kepada Sa’d (ayah Qais): “Sesungguhnya anakmu, Qais, selalu
membiayai (kebutuhan) pasukan (selama perjalanan) hingga mereka kembali.” Sa’d
berkata: “Apa kalian hendak membuat bakhil anakku (dengan melaporkan ini). Demi
Allah, sesungguhnya aku sangat memuji Allah atas kedermawanan, dan aku sangat
mencela kebakhilan.”
(Imam Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, 1997, juz 49, h. 415)
Kisah
di atas adalah sedikit gambaran tentang kedermawanan Sayyidina Qais dari sekian
banyak kedermawanannya, yang tanpa ragu dan berat menghapus utang semua
sahabatnya. Jika kita amati, kisah tersebut mengandung beberapa pelajaran
penting.
Pertama, Sayyidina Qais takut seluruh harta
yang dimilikinya akan dihinakan Allah karena telah menghalangi tersambungnya
tali silaturahim antar teman dan saudara, meski harta tersebut didapatkan
dengan cara yang halal. Baginya, harta yang menjadi penghalang amal ibadah
orang lain sangat hina dan buruk. Ia takut bagaimana mempertanggungjawabkannya
kelak di akhirat.
Kedua,
utang seringkali menjauhkan
silaturahim, membentangkan kedekatan, dan merusak hubungan. Bahkan, untuk orang
yang sangat terkenal kemurahan hati dan kedermawanannya seperti Sayyidina Qais,
orang-orang masih takut dan malu untuk menjenguk, apalagi jika yang memberi
utang adalah orang biasa yang tidak dikenal rekam jejak kedermawanannya.
Ketiga, ketiadaan teman dan saudara yang
menjenguknya, lalu sangat ramai ketika semua utang-utang mereka dihapus hingga
ambang pintu rumahnya rusak, menunjukkan bahwa hampir seluruh orang yang
memiliki hubungan dengannya pernah dibantunya, baik berupa pemberian cuma-cuma
maupun dalam bentuk utang.
Jika
perilaku semacam ini tidak kita sebut “kemurahan hati” dan “kedermawanan”, lalu
dengan istilah apa lagi kita menyebutnya? Semoga Allah
menguatkan kita untuk meneladani Sayyidina Qais bin Sa’d meskipun hanya dalam
setetes kedermawanannya.
Aamiin
0 comments:
Post a Comment