Sunday, November 24, 2019

Published November 24, 2019 by with 0 comment

Muliakan dan Doakan Gurumu

Dalam proses menuntut ilmu termasuk ilmu agama, kita mesti menghormati guru kita agar ilmu yang diajarkannya dapat bermanfaat dan berguna di dunia dan di akhirat. Bahkan tak jarang kita melihat para santri di pesantren banyak mendoakan para masyaikh mereka, yang hidup maupun yang telah wafat.
 
Jasa para guru begitu besar di antaranya telah mendirikan pondok untuk tempat menuntut ilmu. Hal ini telah dicontohkan oleh ulama terdahulu, yang mana memiliki ilmu tak hanya semata karena giatnya belajar, namun karena berkah dari guru-guru mereka.
 
Sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Guddah dalam Hasyiyah-nya atas Kitab Risâlatul Mustarsyidin karya Al-Harits Al-Muhasibi dari Kitab Faydhul Qadîr:
 
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rendah hatilah kepada orang yang mengajarkan kalian.’”
 
Al-Munawi menambahkan penjelasan hadits di atas, “Sungguh ilmu tidak didapatkan kecuali dengan rendah hati dan mendengarkan, sedangkan kerendahhatian seorang murid kepada gurunya adalah sebuah adab pekerti yang tinggi, sikap rendah hati terhadap guru adalah sebuah kemuliaan, dan ketundukan kepadanya merupakan sebuah kebanggaan.” (Lihat: Imam Al-Haris Al-Muhasibi, Risâlatul Mustarsyidin, [Darus Salam], halaman 141).
 
Salah seorang ulama besar yang patut dicontoh adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Konon ia berguru kepada seseorang yang bernama Husyaim bin Basyir al-Wâsithi selama lima tahun. Ia berkata, “Aku tidak pernah sama sekali meminta sesuatu kepadanya, sebab penghormatan kepadanya, kecuali dua kali.”
 
Diceritakan pula, bahwa Imam as-Syafi’i, setiap kali memegang lembaran kertas kitab, ia memegangnya dengan lembut dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir Imam Malik mendengarnya.
 
Begitupula dengan muridnya Imam as-Syafi’i, Ar-Rabî’ bin Sulaiman, ia mengatakan, “Demi Allah aku tak berani minum, sedang Imam as-Syafi’i sedang melihatku.”
 
Telah diriwayatkan dalam Kitab Manaqib al-Imam Abu Hanifah yang disusun oleh Al-Khuwârizmi, Imam Abu Hanifah berkata, “Aku tak penah menyelonjorkan kakiku menghadap rumah guruku, Hammad, karena menghormatinya. Sedang jarak antara rumahku dan rumahnya hanya sekitar tujuh langkah kaki.”
 
Kemudian ia melanjutkan, “Dan aku tidak shalat sejak wafatnya guruku itu melainkan aku meminta ampunan untuknya, dan untuk orang tuaku. Sungguh aku tentulah meminta ampunan untuk orang-orang yang telah mengajariku ilmu.” Begitupula Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, ia mengatakan, “Sungguh aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan orang tuaku.”
 
Tak kalah pula, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Tidaklah aku tidur sejak tiga puluh tahun, melainkan aku pasti mendoakan Imam as-Syafi’i dan meminta ampunan untuknya.”
 
Suatu hari, anak Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menanyakan kepadanya, “Wahai ayahku, bagaimana sosok Imam as-Syafi’i itu? Aku mendengar bahwa engkau banyak mendoakannya.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Wahai anakku, Imam as-Syafi’i itu diperumpamakan seperti matahari bagi dunia, dan kesehatan bagi manusia. Lihatlah, apakah kedua benda itu memiliki pengganti?”
 
Dari kisah-kisah di atas, kita dapat mengambil simpulan, betapa pentingnya mendoakan guru-guru kita, yang masih hidup dan yang telah wafat. Syekh Abdul Fattah Abu Guddah menuliskan lafal doa untuk mendoakan guru-guru kita semua.
  
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
 
“Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajarkan kami. Sayangilah mereka. Muliakanlah mereka dengan ridha-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”
 
Demikian doa untuk meminta ampunan bagi guru-guru kita semua. Semoga kita diberikan manfaat ilmu dari semua yang kita pelajari, baik di dunia maupun di akhirat.
 
Wallahu a‘lam
Read More
      edit
Published November 24, 2019 by with 0 comment

Hukum Membuat Undangan Bertuliskan Ayat Al-Qur'an

Tidak sedikit kita temukan undangan pernikahan yang padanya terdapat ayat Al-Qur’an, baik berupa basmalah atau ayat yang lazim dalam pernikahan (QS Ar-Rum: 21). Pada undangan lain terkadang kita temukan juga ungkapan salam dengan tulisan Arab. Sedangkan dalam menulis salam terdapat lafazhul jalalah dengan tulisan arab di sana, sedangkan ia merupakan asma’ a’zham yang harus dimuliakan.

Lalu, bagaimana hukumnya membuat undangan semacam itu?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Menurut ulama Syafi’iyyah dan sebagian pengikut Hanafiyyah, hukumnya makruh karena dikhawatirkan akan jatuh atau tercecer di mana-mana yang mengakibatkan ayat Al-Qur’an terinjak-injak. Adapun sebagian pendapat pengikut Hanafiyyah yang lain menyatakan boleh-boleh saja. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, hukumnya haram, dengan alasan ayat Al-Qur’an tersebut akan menjadi terhina atau tidak terhormat.

Dalam membahas persoalan undangan ini, ia disamakan dengan masalah hukum mengukir tulisan Al-Qur’an di tembok, mengingat masing-masing punya satu alasan yang sama, yaitu kekhawatiran akan jatuh kemudian terinjak-injak, menjadikan Al-Qur’an tersebut tidak terhormat.

كِتَابَةُ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَائِطِ- ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَبَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى كَرَاهَةِ نَقْشِ الْحِيطَانِ بِالْقُرْآنِ مَخَافَةَ السُّقُوطِ تَحْتَ أَقْدَامِ النَّاسِ، وَيَرَى الْمَالِكِيَّةُ حُرْمَةَ نَقْشِ الْقُرْآنِ وَاسْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْحِيطَانِ لِتَأْدِيَتِهِ إِلَى الاِمْتِهَانِ. وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ

“Kepenulisan Al-Qur’an di tembok. Menurut Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyyah berpendapat makruh mengukir tembok dengan Al-Qur’an karena khawatir akan jatuh terinjak kaki-kaki orang banyak. Malikiyyah berpendapat haram mengukir Al-Qur’an dan nama Allah di atas tembok sebab akan mendatangkan penghinaan terhadap Al-Qur’an. Sedangkan sebagian pengikut Hanafiyyah menyatakan boleh-boleh saja.” (Al-Maûsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Dârus Salâsil, 1404-1427 H], juz 16, halaman 234).

Pertanyaan selanjutnya yang muncul, bagaimana seharusnya sikap orang yang menerima undangan seperti itu?

Yang harus dilakukan si penerima undangan adalah menjaganya sebaik mungkin dengan menempatkannya di tempat yang layak atau membakarnya. Siapa saja yang dengan sengaja membuang undangan yang sudah jelas-jelas terdapat padanya ayat Al-Qur’an dengan tujuan menghina, sedangkan orang tersebut mengetahui tentang keharamannya, maka orang tersebut bisa dihukumi kafir.

وَأَجْمَعُوا على ان من استخف بالقرآن أو بشئ مِنْهُ أَوْ بِالْمُصْحَفِ أَوْ أَلْقَاهُ فِي قَاذُورَةٍ أو كذب بشئ مِمَّا جَاءَ بِهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ أَوْ أَثْبَتَ مَا نفاه أو شك في شئ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ عَالِمٌ بِهِ كَفَرَ

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang menghina Al-Qur’an atau bagian-bagiannya atau mushaf atau menaruhnya di tempat yang kotor atau menganggap bohong atas berita yang disampaikan Al-Qur’an, baik berupa hukum atau cerita atau menggap fiktif atas hal-hal yang disampaikan Al-Qur’an atau ragu atas semua itu, sedangkan ia tahu atas ketidakbolehan hal tersebut, maka orang itu menjadi kafir.” (Imam Nawawi, al-Majmu’, Beirut, Dârul Fikr, juz 2, halaman 170)

Adapun keharaman menulis salam dengan tulisan Arab dalam kasus seperti ini karena semua nama agung disamakan dengan Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebagaimana berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمُصْحَفِ مَا فِيهِ قُرْآنٌ، وَمِثْلُهُ الْحَدِيثُ وَكُلُّ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ أَوْ مَا عَلَيْهِ اسْمٌ مُعَظَّمٌ

“Yang dimaksud dengan mushaf adalah semua benda yang terdapat tulisan Al-Qur’an.  Contohnya adalah hadits dan semua ilmu agama atau semua benda yang di situ terdapat nama-nama yang agung.” (Qalyubi dan Umairah, Hâsyiyatâ Qalyubî wa Umairah, [Beirut, Dârul Fikr, 1995], juz 4, halaman 177.)

Dari berbagai pertimbangan di atas, maka sebaiknya, bagi para pembuat undangan, untuk tidak menuliskan ayat baik berupa basmalah atau sejenisnya dan salam dalam tulisan Arab. Sedangkan bagi penerima undangan yang sudah terlanjur ada asma’ a’zham-nya, harus dijaga dengan layak atau dibakar saja.

Wallahu a’lam
Read More
      edit
Published November 24, 2019 by with 0 comment

Surat Al-Baqarah: 10-13

"فِي قُلُوبهمْ مَرَض" شَكّ وَنِفَاق فَهُوَ يُمْرِض قُلُوبهمْ أَيْ يُضْعِفهَا "فَزَادَهُمْ اللَّه مَرَضًا" بِمَا أَنْزَلَهُ مِنْ الْقُرْآن لِكُفْرِهِمْ بِهِ "وَلَهُمْ عَذَاب أَلِيم" مُؤْلِم "بِمَا كَانُوا يُكَذِّبُونَ" بِالتَّشْدِيدِ أَيْ : نَبِيّ اللَّه وَبِالتَّخْفِيفِ أَيْ قَوْلهمْ آمَنَّا

010. (Dalam hati mereka ada penyakit) berupa keragu-raguan dan kemunafikan yang menyebabkan sakit atau lemahnya hati mereka. (Lalu ditambah Allah penyakit mereka) dengan menurunkan Alquran yang mereka ingkari itu. (Dan bagi mereka siksa yang pedih) yang menyakitkan (disebabkan kedustaan mereka.) Yukadzdzibuuna dibaca pakai tasydid, artinya amat mendustakan, yakni terhadap Nabi Allah dan tanpa tasydid 'yakdzibuuna' yang berarti berdusta, yakni dengan mengakui beriman padahal tidak.

"وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ" أَيْ لِهَؤُلَاءِ "لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْض" بِالْكُفْرِ وَالتَّعْوِيق عَنْ الْإِيمَان "قَالُوا إنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ" وَلَيْسَ مَا نَحْنُ فِيهِ بِفَسَادٍ قَالَ اللَّه تَعَالَى رَدًّا عَلَيْهِمْ :

011. (Dan jika dikatakan kepada mereka,) maksudnya kepada orang-orang munafik tadi ("Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!") yakni dengan kekafiran dan menyimpang dari keimanan. (Jawab mereka, "Sesungguhnya kami ini berbuat kebaikan.") dan tidak dijumpai pada perbuatan kami hal-hal yang menjurus pada kebinasaan. Maka Allah swt. berfirman sebagai sanggahan atas ucapan mereka itu:

"أَلَا" لِلتَّنْبِيهِ "إنَّهُمْ هُمْ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ" بِذَلِكَ

012. (Ingatlah!) Seruan untuk membangkitkan perhatian. (Sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar) akan kenyataan itu.

"وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاس" أَصْحَاب النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء" الْجُهَّال أَيْ لَا نَفْعَل كَفِعْلِهِمْ قَالَ تَعَالَى رَدًّا عَلَيْهِمْ : "أَلَا إنَّهُمْ هُمْ السُّفَهَاء وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُونَ" ذَلِك

013. (Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain beriman!") yakni sebagaimana berimannya para sahabat Nabi. (Jawab mereka, "Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh?") Artinya kami tidak akan melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh itu. Maka firman Allah menolak ucapan mereka itu: (Ketahuilah, merekalah orang-orang bodoh tetapi mereka tidak tahu) akan hal itu.
Read More
      edit

Saturday, November 23, 2019

Published November 23, 2019 by with 0 comment

Madzhab Imam Syafi'i

Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris al-Syafi'i. Beliau lahir pada tahun 150  H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi'i adalah seorang mujtahid muthlaq mustaqil. Selain ahli dalam bidang fiqih, beliau juga mahir dalam Ilmu Hadits dan Aqidah. Tentang keagungan dan keistimewaan Imam Syafi'i, Dr. Wahbah al-Zuhaili mengatakan:

كَانَ مُجْتَهِدًا مُسْتَقِلاً مُطْلَقًا إِمَامًا فِي الْفِقْهِ وَالْحَدِيْثِ جَمَعَ فِقْهَ الْحِجَازِيِّيْنَ وَالْعِرَاقِيِّيْنَ. قَالَ فِيْهِ أَحْمَدُ "كَانَ أَفْقَهَ النَّاسِ فِيْ كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ.. إلى أن قال.. "اِتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ وَاْلأُصُوْلِ وَالْحَدِيْثِ وَاللُّغَةِ وَالنَّحْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ عَلَى أَمَانَتِهِ وَعَدَالَتِهِ وَزُهْدِهِ وَوَرَعِهِ وَتَقْوَاهُ وَجُوْدِهِ وَحُسْنِ سِيْرَتِهِ وَعُلُوِّ قَدْرِهِ


"Imam Syafi'i adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqih dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh ulama hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Iraq. Imam Ahmad berkomentar, "Imam Syafi'i adalah orang yang paling mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam"... (seterusnya)... Semua ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam Syafi'i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara', bertakwa, pemurah, reputasinya baik, serta mempunyai kedudukan yang mulia." (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz I, hal. 36)

Inilah keistimewaan dari pendiri madzhab Syafi'i. Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, Seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani, dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab Syafi'i adalah Imam Bukhari. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi menyebutkan dalam kitab Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf:

وَمِنْ هَذَا الْقَبِيْلِ مُحَمَّدُ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ الْبُخَارِيُّ فَإِنَّهُ مَعْدُوْدٌ فِيْ طَبَقَاتِ الشَّافِعِيَّةِ. وَمِمَّنْ ذَكَرَهُ فِيْ طَبَقَاتِ الشَّافِعِيَّةِ الشَّيْخُ تَاجُ الدِّيْنِ السُّبْكِيُّ، وَقَالَ إِنَّهُ تَفَقَّهَ بِالْحُمَيْدِيِّ، وَالْحُمَيْدِيُّ تَفَقَّهَ بِالشَّافِعِيِّ. وَاسْتَدَلَّ شَيْخُنَا الْعَلاَّمَةُ عَلَى إِدْخَالَ الْبُخَارِيِّ فِي الشَّافِعِيَّةِ بِذِكْرِهِ فِيْ طَبَقَاتِهِمْ


"Termasuk kelompok ini (pengikut madzhab Syafi'i) adalah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Sesungguhnya beliau termasuk salah satu kelompok pengikut Imam Syafi'i. Di antara ulama yang mengatakan bahwa Imam Bukhari termasuk kelompok Syafi'iyyah adalah Syaikh Tajuddin al-Subki. Beliau mengatakan, "Imam Bukhari itu belajar agama pada al-Humaidi. Sedangkan al-Humaidi sendiri belajar agama kepada Imam Syafi'i. Beliau juga berdalil tentang masuknya Imam Bukhari dalam kelompok Syafi'iyyah, sebab Imam Bukhari telah disebut dalam kitab Thabaqat Syafi'iyyah." (Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, 76)

Keterangan yang sama diungkapkan oleh Syaikh Musthafa Muhammad 'Imarah:

وَتَفَقَّهَ (البخاري) عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
 
"Dan Imam Bukhari itu belajar (mengikuti madzhab Syafi'i radhiyallahu 'anhu." (Jawahir al-Bukhari, 10)

Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam Syafi'i. Imam Syafi'i, di samping ahli "bahan baku", beliau juga ahli mengolah "bahan baku" tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga pakar hadits.

 
Read More
      edit