Dalam
proses menuntut ilmu termasuk ilmu agama, kita mesti menghormati guru kita agar
ilmu yang diajarkannya dapat bermanfaat dan berguna di dunia dan di akhirat.
Bahkan tak jarang kita melihat para santri di pesantren banyak mendoakan para
masyaikh mereka, yang hidup maupun yang telah wafat.
Jasa
para guru begitu besar di antaranya telah mendirikan pondok untuk tempat
menuntut ilmu. Hal ini telah dicontohkan oleh ulama terdahulu, yang mana
memiliki ilmu tak hanya semata karena giatnya belajar, namun karena berkah dari
guru-guru mereka.
Sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Guddah
dalam Hasyiyah-nya atas Kitab Risâlatul Mustarsyidin karya
Al-Harits Al-Muhasibi dari Kitab Faydhul Qadîr:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَوَاضَعُوْا لِمَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rendah
hatilah kepada orang yang mengajarkan kalian.’”
Al-Munawi menambahkan penjelasan hadits di atas, “Sungguh
ilmu tidak didapatkan kecuali dengan rendah hati dan mendengarkan, sedangkan
kerendahhatian seorang murid kepada gurunya adalah sebuah adab pekerti yang
tinggi, sikap rendah hati terhadap guru adalah sebuah kemuliaan, dan ketundukan
kepadanya merupakan sebuah kebanggaan.” (Lihat: Imam Al-Haris Al-Muhasibi, Risâlatul
Mustarsyidin, [Darus Salam], halaman 141).
Salah
seorang ulama besar yang patut dicontoh adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Konon ia
berguru kepada seseorang yang bernama Husyaim bin Basyir al-Wâsithi selama lima tahun. Ia
berkata, “Aku tidak pernah sama sekali meminta sesuatu kepadanya, sebab
penghormatan kepadanya, kecuali dua kali.”
Diceritakan
pula, bahwa Imam as-Syafi’i,
setiap kali memegang lembaran kertas kitab, ia memegangnya dengan lembut dan
hati-hati agar tidak menimbulkan suara, khawatir Imam Malik mendengarnya.
Begitupula
dengan muridnya Imam as-Syafi’i,
Ar-Rabî’ bin Sulaiman, ia mengatakan, “Demi Allah aku tak berani minum, sedang
Imam as-Syafi’i sedang melihatku.”
Telah diriwayatkan dalam Kitab Manaqib al-Imam Abu
Hanifah yang disusun oleh Al-Khuwârizmi, Imam Abu Hanifah berkata, “Aku tak
penah menyelonjorkan kakiku menghadap rumah guruku, Hammad, karena
menghormatinya. Sedang
jarak antara rumahku dan rumahnya hanya sekitar tujuh langkah kaki.”
Kemudian
ia melanjutkan, “Dan aku tidak shalat sejak wafatnya guruku itu melainkan aku
meminta ampunan untuknya, dan untuk orang tuaku. Sungguh aku tentulah meminta
ampunan untuk orang-orang yang telah mengajariku ilmu.” Begitupula Abu Yusuf,
murid Abu Hanifah, ia mengatakan, “Sungguh aku mendoakan Abu Hanifah sebelum
mendoakan orang tuaku.”
Tak
kalah pula, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Tidaklah aku tidur sejak
tiga puluh tahun, melainkan aku pasti mendoakan Imam as-Syafi’i dan meminta ampunan untuknya.”
Suatu hari, anak Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal menanyakan kepadanya, “Wahai ayahku, bagaimana sosok Imam as-Syafi’i
itu? Aku mendengar bahwa engkau banyak
mendoakannya.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Wahai anakku, Imam as-Syafi’i itu diperumpamakan seperti
matahari bagi dunia, dan kesehatan bagi manusia. Lihatlah, apakah kedua benda
itu memiliki pengganti?”
Dari
kisah-kisah di atas, kita dapat mengambil simpulan, betapa pentingnya mendoakan
guru-guru kita, yang masih hidup dan yang telah wafat. Syekh Abdul Fattah Abu
Guddah menuliskan lafal doa untuk mendoakan guru-guru kita semua.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا
وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ،
فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Wahai
Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajarkan kami.
Sayangilah mereka. Muliakanlah mereka dengan ridha-Mu yang agung, di tempat
yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”
Demikian
doa untuk meminta ampunan bagi guru-guru kita semua. Semoga kita diberikan
manfaat ilmu dari semua yang kita pelajari, baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu a‘lam