Persoalan
memakai cadar (niqab) bagi perempuan sebenarnya adalah masalah yang
masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. Dalam tulisan
ini kami hanya akan menyuguhkan secara
global mengenai masalah ini sebagaimana yang didokumentasikan dalam kitab Al-Mawsu’atul
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
Menurut
madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah
asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena
wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah.
فَذَهَبَ جُمْهُورُ
الْفُقَهَاءِ (الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ)
إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ
يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ.
قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ
الرِّجَال فِي زَمَانِنَا، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ
“Mayoritas
fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa
wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan
boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda
(al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki.
Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk
mengindari fitnah.”
(Lihat: al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul
Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134)
Berbeda dengan madzhab Hanafi, madzhab Maliki menyatakan
bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di
luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw). Namun di satu sisi mereka
berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang
dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau
dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ
: يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ - أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا، وَهُوَ مَا يَصِل
لِلْعُيُونِ - سَوَاءٌ كَانَتْ فِي صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا، كَانَ الاِنْتِقَابُ
فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ، لِأَنَّهُ مِنَ الْغُلُوِّ. وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال
مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ، فَلاَ يُكْرَهُ
إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ. وَقَالُوا :
يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً، أَوْ يَكْثُرُ الْفَسَادُ
“Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita
memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di
luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk
berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali
ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak
dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka
menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan
muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang
cantik, atau maraknya kebejatan moral.” (Lihat: al-Mawsu’atul
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz,
XLI, halaman 134)
Sedangkan
di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama
menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah
sunnah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful
awla, yakni menyalahi
yang utama karena utamanya tidak bercadar.
وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ
فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا، وَقِيل : هُوَ
سُنَّةٌ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى
“Madzhab
Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu
pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib.
Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunnah. Dan ada juga yang menyatakan
khilaful awla.” (Lihat: al-Mawsu’atul Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI,
halaman 134)
Poin
penting yang ingin kami tekankan dalam tulisan ini adalah bahwa persoalan hukum memakai
cadar bagi wanita ternyata merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab
Syafi’i sendiri yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia terjadi perbedaan dalam
menyikapinya. Meskipun harus diakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam
dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan
dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya, termasuk kedua telapak tangan dan
wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai
cadar untuk menutupi wajahnya.
أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ
عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ
لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ
عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Bahwa
perempuan memiliki tiga aurat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah
dijelaskan. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya,
yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut
pendapat yang mu’tamad...”
(Lihat:
Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II,
h. 112)
Namun
demikain menurut hemat kami, pendapat yang
menyatakan wajib memakai cadar bagi wanita jika dipaksakan di Indonesia akan
mengalami banyak kendala. Toh faktanya masalah cadar adalah masalah yang
diperselisihkan oleh para fuqaha`. Jadi yang dibutuhkan saat
ini adalah kearifan
dalam melihat perbedaan pandangan tentang cadar. Perbedaan pendapat tersebut tidak
perlu dipertentangkan dan dibenturkan. Tetapi harus dibaca sesuai konteksnya
masing-masing.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment