دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ
آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، قَالَ: «لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ، أَلَا أُعَلِّمُكِ
بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ؟» فَقُلْتُ: بَلَى عَلِّمْنِي. فَقَالَ: «قُولِي: سُبْحَانَ
اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ» أخرجه الترمذي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku sedangkan di hadapanku terdapat empat ribu biji yang
aku bertasbih dengannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Sungguh kamu telah bertasbih dengan menggunakan ini?
Perhatikanlah aku akan mengajarimu yang lebih banyak daripada tasbihmu.” Lalu
aku berkata, “Iya, ajarilah aku.” Kemudian beliau
bersabda, “Bacalah SUBHANALLAHI ‘ADADA
KHALQIHI (subhanallah sebanyak ciptaan-Nya). (HR At-Tirmidzi)
Kedua: riwayat
Saad bin Abi Waqqas. Bahwasannya suatu ketika ia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi seorang wanita yang di depannya terdapat biji atau
kerikil yang ia bertasbih dengan menggunakan biji atau kerikil itu. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:
أُخْبِرُكِ
بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا -أَوْ أَفْضَلُ-»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللهِ
عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ،
وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا
هُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ للهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلُ
ذَلِكَ» أخرجه أبو داود واللفظ له والترمذي وحسنه والنسائي وابن ماجه وصححه ابن حبان
والحاكم
Aku ingin
memberitahukanmu yang lebih mudah bagimu dari pada ini – atau lebih afdhal.
Lalu beliau membaca “SUBHAANALLAAHI ‘ADADA MAA
KHALAQA FIS SAMAA’ (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan/makhluk di
langit), WASUBHAANALLAAHI ‘ADADA
MAA KHALAQA FIL ARDH (subhanallah
sejumlah apapun yang Dia ciptakan di bumi), WASUBHAANALLAAHI ‘ADADA
MAA KHALAQA BAINA DZAALIK (subhanallah sejumlah apapun yang Dia ciptakan di antara
langit dan bumi), WASUBHAANALLAAHI ‘ADADA
MAA HUWA KHAALIQ (subhanallah sejumlah apa yang Dia ciptakan), WALLAAHU AKBARU MITSLU
DZAALIK (Allahu Akbar seperti sejumlah itu/bacaan subhanallah), WALHAMDULILLAAHI MITSLU
DZAALIK (alhamdulillah seperti jumlah itu/bacaan subhanallah), WALAAILAAHA
ILLALLAAHU MITSLU DZALIK (laa ilaaha illaallah
seperti jumlah itu), WALAA HAULA WALAA QUWWATA
ILLAA BILLAAHI MITSLU DZAALIK). (HR Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Ketiga: riwayat
dari Al-Qasim bin Abdirrahman, ia berkata:
كَانَ لِأَبي
الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه نَوًى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ في كِيسٍ، فَكَانَ إِذَا صَلَّى
الْغَدَاةَ أَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ حَتَّى يَنْفَدْنَ”
أخرجه أحمد في “الزهد” بسند صحيح
“Abu Darda’ radhiyallahu ‘anh memiliki sejumlah biji kurma di dalam sebuah
kantong. Saat ia
melaksanakan shalat di pagi hari, ia
mengeluarkannya satu persatu sambil bertasbih dengan biji-biji itu sampai
habis.” (HR Ahmad).
Keempat: riwayat
dari Abu Dadhrah Al-Ghifari, ia mengatakan:
حَدَّثَنِي
شَيْخٌ مِنْ طُفَاوَةَ قَالَ: تَثَوَّيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه بِالْمَدِينَةِ،
فَلَمْ أَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
أَشَدَّ تَشْمِيرًا، وَلا أَقْوَمَ عَلَى ضَيْفٍ مِنْهُ، فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ
يَوْمًا وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ لَهُ وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ حَصًى أَوْ نَوًى وَأَسْفَلُ
مِنْهُ جَارِيَةٌ لَهُ سَوْدَاءُ وَهُوَ يُسَبِّحُ بِهَا، حَتَّى إِذَا أَنْفَدَ مَا
فِي الْكِيسِ أَلْقَاهُ إِلَيْهَا فَجَمَعَتْهُ فَأَعَادَتْهُ فِي الْكِيسِ فَدَفَعَتْهُ
إِلَيْهِ” أخرجه أبو داود والترمذي وحسنه والنسائي.
“Seorang syeikh
dari Thufawah bercerita kepadaku, dia berkata, “Saya bertamu kepada Abu
Hurairah di Madinah. Saya tidak pernah menemukan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih berusaha untuk menghormati tamunya melebihi beliau.
Pada suatu hari, ketika saya sedang berada di rumahnya, beliau berada di atas
ranjang. Di sampingnya terdapat kantung yang berisi kerikil atau biji kurma
yang digunakan menghitung jumlah bacaan tasbihnya. Di sisi bawah ranjang itu
terdapat seorang budak perempuan hitam miliknya. Jika kantung itu telah habis
isinya, dia lalu memberikannya kepada budaknya itu. Budak itu lalu mengumpulkan
isi kantung itu dan memasukkannya ke dalamnya lalu menyerahkannya kembali
kepada beliau.” (HR Abu
Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai).
Selain itu
terdapat riwayat yang bersumber dari cucu Abu
Hurairah yang bernama Nu’aim bin al-Muharrar
bin Abu Hurairah. Ia mendapat cerita dari kakeknya (Abu Hurairah) yang memiliki
sebuah tali yang mempunyai seribu ikatan. Abu Hurairah tidak akan tidur sampai
ia bertasbih dengan menggunakan seribu ikatan tali tersebut. Riwayat ini
terdapat di dalam kitab Zawaiduz Zuhud karya Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’.
Dari sejumlah keterangan di atas, jelaslah bahwa
berdzikir dengan menggunakan biji tasbih dibolehkan, bahkan dianjurkan karena
memiliki landasan dalam syariat Islam. Para ulama sejak masa sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, generasi setelahnya hingga ke masa kita saat ini telah
menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir. Hanya saja dulu mereka menggunakan kerikil,
biji-bijian atau seutas tali, sementara di zaman sekarang sudah banyak ragam
tasbih, bahkan ada yang berbentuk digital dengan memencet tombol untuk
menghitung angka jumlah zikir kita.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment