Berikut jawaban Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah:
Manusia
merupakan makhluk Allah yang istimewa. Allah memuliakannya karena sifat
kemanusiaannya itu. Dia telah menciptakan manusia dengan kekuasaan-Nya dan
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasadnya. Allah pun memerintahkan para malaikat
untuk bersujud kepada manusia dan menjauhkan Iblis dari rahmat-Nya karena
menolak melaksanakan perintah sujud tersebut.
Penghormatan
terhadap manusia karena status kemanusiaannya merupakan karakter malaikat yang
mejadi pilar bagi tegaknya peradaban Islam. Sebaliknya, menghinakan,
merendahkan dan melecehkan manusia merupakan karakter iblis yang menghancurkan
berbagai peradaban yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Allah
berfirman:
"Lalu
atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada
mereka dari tempat yang tidak mereka sadari." (An-Nahl [16]: 26).
Dan
firman-Nya:
"Dan
barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata." (An-Nisâ [4]: 119).
Firman-Nya
juga:
"Patutkah
kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku,
sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari
Allah) bagi orang-orang yang zalim." (Al-Kahfi [18]: 50).
Di samping memuliakan manusia karena
status kemanusiaannya –tanpa melihat ras, kelamin ataupun warna kulitnya—,
Islam juga menambahkan pemuliaan lain kepadanya terkait dengan tugas yang
dibebankan oleh Allah sesuai dengan tabiat alami masing-masing mereka. Di antara pemuliaan tersebut adalah ketika
statusnya menjadi orangtua yang oleh Allah dijadikan sebagai sebab munculnya
manusia ke dunia ini. Allah bahkan menyebutkan perintah untuk berterima kasih
kepada orangtua setelah perintah bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu."
(Luqmân [31]: 14).
Allah
juga menyebutkan perintah untuk berbakti kepada orangtua setelah perintah
beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (Al-Isrâ` [17]: 23).
Hal
ini tidak lain karena Allah menjadikan kedua orangtua sebagai sebab atau
wasilah dalam penciptaan manusia. Tentunya semua ini merupakan penghormatan dan
pemuliaan yang istimewa bagi kedua orangtua.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
menjadikan ibu sebagai sosok yang paling berhak untuk mendapatkan bakti dari
seorang anak melebihi ayahnya. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, dia
berkata, "Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan
baktiku?" "Ibumu," jawab beliau. "Kemudian siapa?"
lanjutnya. "Ibumu." "Lalu siapa lagi?" tanyanya lagi.
"Ibumu." "Kemudian siapa lagi?" "Ayahmu," jawab
beliau. (Muttafaq 'alaih).
Islam
juga menetapkan bahwa hubungan seorang anak dengan ibunya adalah hubungan
organik yang alami. Sehingga, penisbatan seorang anak kepada ibunya tidak
tergantung pada apakah anak itu berasal dari hubungan yang sah (nikah) ataukah
tidak (perzinaan). Seorang perempuan adalah ibu dari anak yang ia lahirkan,
bagaimanapun cara anak itu diperoleh. Hal ini berbeda dengan penisbatan anak
kepada ayahnya yang tidak diakui oleh syara’ kecuali jika berasal dari hubungan pernikahan yang sah.
Bentuk
pemuliaan yang lain dari Islam terhadap ibu adalah kewajiban menghormati,
berbakti dan berbuat baik kepadanya. Dalam Islam tidak ada larangan untuk
mengadakan suatu perayaan guna mengungkapkan rasa cinta dan bakti seorang anak
kepada ibunya. Karena, hal itu tidak lebih dari sekedar permasalahan teknis yang
tidak ada hubungannya dengan masalah bid'ah sebagaimana yang diklaim oleh
banyak orang. Karena bid'ah yang ditolak adalah yang bertentangan dengan ajaran
agama, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang mengada-adakan
suatu perbuatan dalam urusan kami yang bukan termasuk bagian darinya, maka
perbuatan itu ditolak." (Muttafaq 'alaih, dari hadits Aisyah).
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa
barangsiapa yang mengada-adakan suatu perbuatan yang merupakan bagian dari
agama Islam, maka perbuatan itu dapat diterima dan tidak ditolak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri
membiarkan bangsa Arab mengadakan perayaan untuk mengenang
kemenangan-kemenangan bangsa mereka dengan melantunkan bait-bait syair tentang
keutamaan suku mereka dan hari-hari kemenangannya. Hal ini sebagaimana
disinggung dalam hadits yang disebutkan dalam Shahihain dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, bahwa pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengunjunginya. Ketika itu terdapat dua orang budak perempuan
bersama Aisyah yang sedang menyanyikan lagu mengenai Hari Bu'ats (Bu'ats adalah
nama sebuah daerah dekat Madinah tempat terjadinya peperangan terakhir antara
suku Aus dan Khazraj).
Dalam
hadits lain juga disebutkan juga bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi makam ibunya Sayyidah Aminah
bersama seribu tentara bersenjata. Beliau tidak pernah terlihat menangis dengan
begitu sedih dibandingkan hari itu. (Kisah ini diriwayatkan oleh Hakim –serta
dia shahihkan— dan asal riwayatnya terdapat dalam Shahih Muslim).
Kata
"ibu" bagi kaum muslimin mengandung makna yang sangat luhur. Dalam
literatur bahasa Arab, kata ini mempunyai makna yang jelas dan bervariasi.
Dalam bahasa Arab, kata al-umm (ibu) dapat berarti asal, tempat tinggal,
pemimpin serta pelayan bagi suatu kaum yang bertugas menyediakan makanan dan
keperluan mereka. Makna terakhir ini dinukil dari Imam Syafi'i radhiyallahu
'anhu yang merupakan salah satu ulama pakar bahasa.
Ibnu
Duraid berkata, "Bangsa Arab menyebut segala sesuatu yang menjadi tempat
bertemunya benda-benda lain yang ada di sekitarnya disebut dengan nama
ibu." Karena itulah, kota Mekkah disebut juga dengan Ummul Qura
(Ibu Perkampungan), karena ia terletak di tengah-tengah dunia dan merupakan
kiblat yang menjadi tujuan orang-orang dari berbagai penjuru. Selain itu, Mekkah juga merupakan tempat yang
mempunyai posisi paling penting.
Karena
bahasa merupakan wadah pemikiran, maka bagi seorang muslim, makna kata ibu
berkaitan langsung dengan sosok mulia tersebut. Sosok yang dijadikan Allah sebagai
asal-muasal penciptaan manusia. Sosok yang oleh Allah dijadikan sebagai tempat
seseorang menemukan ketenangan. Di samping itu, Allah juga mengilhamkan kepada
seseorang bagaimana merawat ibunya, serta membuatnya senang untuk melayani dan
memenuhi semua kebutuhannya. Ibu, dalam semua proses itu, merupakan sumber
kasih dan sayang yang menjadi tempat berlindung bagi anak-anaknya.
Dalam
budaya kita yang diwariskan secara turun temurun, keluhuran makna kata
"ibu" pun semakin jelas dalam penggunaan kata silaturahim. Nampak
jelas bahwa dalam kata silaturahim salah satu organ tubuh ibu, yaitu ar-rahim
atau rahim, dijadikan simbol pengikat antar anggota keluarga yang
merupakan pilar tegaknya sebuah masyarakat. Hal itu karena tidak ada seorang
pun yang lebih berhak untuk menyandang predikat ini melebihi ibu; sosok yang
karenanya kehidupan ini terus berlangsung dan sebuah keluarga dapat terbentuk,
serta memancarkan nilai-nilai kasih sayang. Semua ini semakin sempurna dengan
adanya makna religi yang indah sebagaimana digambarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda
beliau:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ
بِالْعَرْشِ تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصََلَه ُاللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ
قَطَعَهُ اللهُ
"Hubungan kekerabatan (ar-rahim)
tergantung di 'Arsy dan berkata, "Barangsiapa menyambungkanku, maka Allah
akan menyambungkan hubungan kekerabatannya. Dan barang siapa yang
memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan kekerabatannya."
(Muttafaq 'alaih, dari hadits Aisyah).
Dan
disebutkan dalam hadits qudsi:
قَالَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ:
أَنَا اللهُ، وَأَنَا الرَّحْمَنُ، خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَشَقَقْتُ لَهَا مِنِ
اسْمِيْ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
"Allah
'Azza wa Jalla berfirman, "Aku adalah Allah, dan Aku adalah ar-Rahman
(Sang Maha Pengasih). Aku menciptakan rahim, dan Aku memberinya nama dari
nama-Ku. Maka barangsiapa menyambungkannya maka Aku akan menyambungkan hubungan
kekerabatannya, dan barangsiapa yang memutuskannya maka Aku akan memutus
hubungan kekerabatannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi –dan dia menshahihkannya—,
dari hadits Abdurrahman bin Auf radhiyallahu
‘anhu).
Dengan mengetahui makna kata
"ibu" yang sangat luhur ini –baik secara terminologi, budaya dan
agama—, maka kita dapat mengetahui perbedaan yang jauh antara kita dengan umat
lain yang telah kehilangan nilai-nilai ikatan keluarga. Sehingga mereka
pun berusaha menemukan nilai-nilai yang hilang tersebut dalam momen-momen
seperti hari ibu tersebut dan mereka pun sangat berupaya untuk merayakannya.
Oleh karena itu, perayaan-perayaan seperti ini bisa disebut sebagai momen untuk meminta perhatian dari anak-anak
agar mengingat jasa para ibu dan agar mereka memberikan hadiah ala kadarnya
kepada para ibu mereka sebagai ekspresi rasa terimakasih tersebut.
Adanya perbedaan budaya antara kita dengan
orang-orang Barat – di mana realita mereka menuntut adanya perayaan-perayaan
semacam ini—, tidak dapat dijadikan alasan syar'i untuk menolak berpartisipasi
merayakan acara hari ibu ini. Justru kami memandang bahwa berpartisipasi dalam
aktifitas-aktifitas semacam ini merupakan kesempatan bagi kita untuk
menyebarkan ajaran Islam yang mengajarkan kepada umatnya untuk berbakti kepada
orangtua. Pemanfaatan momen semacam ini semakin urgen di saat
kedurhakaan menjadi sebuah fenomena yang sangat menyedihkan seperti di zaman ini.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
tauladan terbaik kita, menyukai dan memuji orang yang berakhlak mulia walaupun
berlainan agama. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di antara orang-orang
suku Thayyi` yang ditawan dan dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terdapat seorang
anak perempuan Hatim ath-Tha`iy (pembesar suku Thayyi`). Anak perempuan Hatim
Tha`iy itu berkata kepada beliau, "Wahai Muhammad, saya mohon engkau
membebaskan saya, sehingga suku-suku Arab tidak bergembira dengan musibah yang
menimpa saya ini. Saya adalah anak pembesar suku saya. Ayah saya melindungi
orang yang memerlukan perlindungan, memberikan kemudahan kepada orang yang
menderita, memberi makan orang lapar, memberi pakaian orang tidak mempunyai
pakaian, menjamu tamu, memberi makanan kepada orang-orang, suka mengucapkan
salam dan tidak pernah sekalipun menolak permintaan seseorang. Saya adalah anak
Hatim ath-Tha`iy." Maka, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pun lalu bersabda:
يَا جَارِيَةُ، هَذِهِ صِفَةُ
الْمُؤْمِنِيْنَ حَقًّا، وَ لَوْ كَانَ أَبُوْكِ مُؤْمِناً لَتَرَحَّمْنَا عَلَيْهِ،
خَلُّوْ عَنْهَا فَإِنَّ أَبَاهَا كَانَ يُحِبُّ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ، وَاللهُ
تَعَالَى يُحِبُّ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
"Wahai
gadis kecil, semua itu adalah benar-benar sifat orang-orang yang mukmin.
Seandainya saja ayahmu itu adalah seorang mukmin, niscaya kami akan
mendoakannya agar mendapatkan rahmat. –Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada
para sahabat--, "Bebaskanlah dia, karena ayahnya menyukai akhlak yang
mulia, dan Allah subhanahu
wata’ala pun menyukai akhlak yang mulia."
Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu
lalu berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, Allah menyukai akhlak yang
mulia?" Beliau menjawab:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ
بِيَدِهِ، لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةََ أَحَدٌ إِلاَّ بِحُسْنِ الْخُلُقِ
"Demi Zat yang jiwaku berada di
kekuasaan-Nya, tidak ada seorang pun yang masuk surga kecuali dengan akhlak
yang mulia." (HR.
Baihaqi, dari hadits Ali bin Abi Thalib).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِيْ دَارِ
عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفاً مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهِ حُمُرَ
النِّعَمِ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي اْلإِسْلاَمِ لَأَجَبْتُ
"Saya telah menghadiri suatu
kesepakatan di rumah Abdullah bin Jud'an yang lebih saya sukai daripada
memiliki onta-onta yang bagus. Seandainya saya diajak untuk melakukannya
lagi dalam Islam, niscaya akan saya penuhi ajakan itu." (HR. Baihaqi,
dari hadits Thalhah bin Abdullah bin Auf).
Dengan
demikian, merayakan peringatan Hari Ibu adalah dibolehkan. Adapun bid'ah yang
ditolak adalah bid'ah yang bertentangan dengan syariat. Sedangkan sesuatu yang
hukum asalnya diakui oleh syariat
tidaklah ditolak dan pelakunya tidak berdosa.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
0 comments:
Post a Comment