Saturday, February 29, 2020

Published February 29, 2020 by with 0 comment

Ummu Ali Fatimah, Wali Perempuan yang Kaya Raya

Ummu Ali Fatimah merupakan istri Ahmad bin Khudrawaih al-Balkhi (w. 240 H), seorang wali besar dari Balkh. Imam al-Dzahabi menggelarinya “al-zâhid al-kabîr” (seorang zahid yang luar biasa). (Lihat: Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 11, h. 488).
 
Ummu Ali lahir dari kalangan pembesar (pejabat). Ia memiliki harta yang melimpah dan gemar menafkahkannya untuk orang-orang tidak mampu. Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan:
 
كانت من بنات الرؤساء والأجلة، وكانت موسرة، فانفقت مالها كله علي الفقراء
 
“Ummu Ali adalah salah satu dari putri (keluarga) pembesar dan terhormat. Ia wanita yang kaya raya. (Gemar) menafkahkan seluruh hartanya kepada orang-orang fakir.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 406)
 
Ummu Ali berjumpa secara langsung dengan Imam Abu Hafs al-Naisaburi (w. 264 H) dan Imam Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Ia berteman akrab dengan mereka dan bertukar pikiran soal banyak hal, terutama dengan Imam Abu Yazid al-Busthami. Ia sering menanyakan banyak hal tentang spiritualitas dan agama kepadanya (wa sa’alat abâ yazîd ‘an masâ’il). (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 406)
 
Bahkan, Imam Abu Hafs yang semula tidak suka berbincang dengan wanita, mengubah pandangannya setelah berjumpa Ummu Ali. Ia mengatakan:
  
ما زلت أكره حديث النسوان حتي لقيت أم علي، زوجة أحمد بن خضرويه. فعلمت أن الله تعالي يجعل معرفته حيث يشاء
 
“Aku selalu tidak suka berbincang dengan wanita hingga aku berjumpa Ummu ‘Ali, istri Ahmad bin Khudrawaih. Kemudian aku tahu bahwa Allah meletakkan pengetahuan-Nya di mana pun (tempat) yang Dia kehendaki.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 406-407)
 
Imam Abu Yazid al-Busthami memuji dan mengakui kualitas spiritual Ummu Ali. Ia berkata:
  
من تصوف فليتصوف بهمة كهمة أم علي، زوجة أحمد بن خضرويه، أو حال كحالها
 
“Barangsiapa yang (ingin) bertasawuf, bertasawuflah dengan semangat (atau motivasi yang luhur) seperti semangatnya Ummu Ali, istri Ahmad bin Khudrawaih, atau (dengan) keadaan (spiritual) seperti keadaan (spiritual)nya.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 407)
 
Ummu Ali adalah wanita kaya raya yang sangat dermawan. Ia tidak segan menyerahkan seluruh kekayaannya kepada orang yang membutuhkan. Hatinya tidak lagi merasakan berat atau ragu untuk bersedekah. Tentu, perasaan ini tidak muncul tiba-tiba, tapi hasil dari himmah (semangat luhurnya) yang terus-menerus dihidupi, hingga hatinya terkondisikan dalam jernih (hâl), seperti yang dikemukakan Imam Abu Yazid al-Busthami.
 
Sebagai sufi dan ulama, Ummu Ali sering mengutarakan pemikiran dan pengalamannya tentang kehidupan. Ia memahami kehidupan dari relasi Tuhan-hamba. Ia mengatakan:
  
دعا الله تعالي الخلق إليه بأنواع البر واللطف، فما أجابوه. فصبّ عليهم أنواع البلاء ليردهم بالبلاء إليه لأنه أحبهم
 
“Allah Ta’ala menyeru makhluk (hamba-Nya) dengan bermacam perbuatan baik dan kebajikan, maka (ketika) makhluk(-Nya) tidak menjawab (seruan)-Nya, Allah menurunkan berbagai cobaan kepada mereka supaya mereka kembali kepada-Nya melalui cobaan (itu), karena sesungguhnya Allah mencintai mereka.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 407)
 
Perkataan di atas menjelaskan bahwa cobaan dari Allah adalah bentuk cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya. Pada dasarnya, Allah selalu menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, dan menginginkan mereka berperilaku baik. Namun, ketika mereka tidak menjawab seruan dan kehendak baik Allah kepada mereka, Allah memberikan cobaan kepada mereka. Bagi Ummu Ali, cobaan yang diberikan Allah adalah pendidikan untuk hamba-hamba-Nya, agar mereka terbangun dari kelalaian mereka. Artinya, cobaan dari Allah adalah tanda cinta dari-Nya.
 
Ummu Ali membuktikan bahwa anak pejabat yang kaya raya bisa menjadi seorang sufi, wali, dan ulama. Seperti yang dikatakan Imam Abu Hafs al-Naisaburi, “Allah menempatkan pengetahuan-Nya di (tempat) mana pun yang Dia kehendaki.” Itu berarti, tidak ada satu pun profesi di dunia ini yang dapat mencegah Allah memberikan pengetahuan-Nya, karena Allah menempatkan pengetahuan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan di mana pun tempatnya.
 
Ummi Ali Fatimah wafat sekitar tahun 234 H mendahului suaminya, Imam Ahmad bin Khudrawaih yang wafat tahun 240 H. Ia meninggalkan warisan pengetahuan yang melimpah untuk digali oleh generasi setelahnya.
 
Wallahu a’lam
 
Sumber: NU
Read More
      edit
Published February 29, 2020 by with 0 comment

Hadits Puasa Rajab Palsu Semua?

Tidak semua hadits yang berkaitan tentang puasa Rajab berstatus palsu. Memang ada yang palsu, ada yang dha'if dan tentunya ada yang shahih.
 
Hadits yang palsu menurut kelompok anti puasa Rajab (namun dihukumi dha'if oleh Ibnu Hajar Al-Haitami) adalah sebuah hadits yang berbunyi:
 
رجب شهر عظيم يضاعف الله فيه الحسنات فمن صام يوما من رجب فكأنما صام سنة ومن صام منه سبعة أيام غلقت عنه سبعة أبواب جهنم ومن صام منه ثمانية أيام فتح له ثمانية أبواب الجنة ومن صام منه عشر أيام لم يسأل الله إلا أعطاه ومن صام منه خمسة عشر يوما نادى مناد في السماء قد غفر لك ما مضى فاستأنف العمل ومن زاد زاده الله
 
“Bulan Rajab adalah bulan yang agung, Allah akan melipatkan kebaikan pada bulan itu. Barangsiapa yang berpuasa satu hari pada bulan Rajab, maka seakan-akan ia berpuasa selama satu tahun. Barangsiapa yang berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka akan ditutup tujuh pintu api neraka jahanam darinya. Barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan itu, maka akan dibukakan delapan pintu surga baginya. Barangsiapa yang berpuasa sepuluh hari dari bulan Rajab, maka tidaklah Allah dimintai apa pun kecuali Allah akan memberinya. Barangsiapa berpuasa lima belas hari pada bulan Rajab, maka ada yang memanggil dari langit, ‘Engkau telah diampuni dosamu yang telah lampau.’ Mulailah amal, siapa yang terus menambah, maka akan terus diberi pahala.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 5538 dari jalur ‘Utsman Ibnu Mathor Asy-Syaibani, dari ‘Abdul Ghafur yaitu Ibnu Sa’id, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Sa’id dari bapaknya).
 
Hadits yang dha'if di antaranya hadits yang berbunyi:
 
إن في الجنة نهراً يقال له رجب ماؤه أشد بياضاً من اللبن وأحلى من العسل من صام يوماً من رجب سقاه الله من ذلك النهر
 
“Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai, namanya sungai Rajab. Airnya lebih putih dari pada susu, lebih manis dari pada madu, siapa yang puasa sehari di bulan Rajab maka Allah akan memberi minum orang ini dengan air sungai tersebut.” (HR. Baihaqi) 
 
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان
 
“Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadhan.(HR. Ahmad)
 
Hadits yang shahih agar berpuasa di bulan haram di antaranya:
 
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:
 
عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها
 
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.”
 
Perintah mengagungkan bulan haram sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an:
 
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
 
Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan Bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS. At-Taubah: 36)
 
Bulan haram yang dimaksud ayat ini adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Cara mengagungkan bulan haram di antaranya adalah dengan memperbanyak ibadah, sedekah atau berpuasa.
 
Jelaslah bahwa berpuasa di bulan Rajab bukanlah perbuatan bid'ah, tercela, sesat atau sia-sia sebagaimana yang dituduhkan kelompok anti puasa Rajab, melainkan merujuk pada dalil yang shahih. Keberadaan hadits palsu bukan berarti mengubur keutamaan puasa Rajab, sebab ada dalil yang shahih yang dapat dijadikan pedoman yakni kesunnahan berpuasa di bulan haram. Begitupun keberadaan hadits dha'if, mayoritas ulama (ahlissunnah wal jama’ah) tetap menjadikannya sebagai pedoman motivasi meningkatkan amal atau fadha'ilul amal.
 
Wallahu a'lam...
Read More
      edit

Thursday, February 27, 2020

Published February 27, 2020 by with 0 comment

Dalil Kesunnahan Puasa Rajab

“Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya pada Said bin Jubair mengenai puasa Rajab, sedangkan saat itu kami berada pada bulan Rajab maka ia menjawab: Kami mendengar bahwa Ibn Abbas ra berkata:
 
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر ويفطر حتى نقول لا يصوم
 
“Rasul Saw berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa (puasa terus), dan Rasul Saw tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak (pernah) berpuasa. (HR Muslim).
 
Setiap memasuki bulan Rajab, pro-kontra hukum puasa Rajab mencuat dan menjadi topik pembicaraan yang hangat di mana-mana. Pihak yang pro mengatakan puasa Rajab adalah sunnah, sementara pihak yang kontra malah mengatakan bid’ah. Untuk mengurai hakikat sebenarnya hukum puasa Rajab, saya memilih untuk mengemukakan hadis di atas dengan disertai penjelasan para ulama yang kredibel tentunya.
 
Imam Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas:
 
الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لانهى عنه ولا ندب فيه لعينه، بل له حكم باقي الشهور، ولم يثبت في صوم رجب نهي ولا ندب لعينه، ولكن أصل الصوم مندوب إليه، وفي سنن أبي دود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب إلى الصوم من الأشهر الحرم، ورجب أحدها
 
“Yang jelas bahwasanya maksud dari Sa’id bin Jubair mengemukakan dalil di atas (yakni Rasul Saw puasa dan tidak) adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa Rajab, tetapi asalnya puasa adalah sunnah. Dalam Sunan Abi Dawud diriwayatkan bahwa Rasul Saw menganjurkan puasa pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan mulia yaitu Dzul qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), sedangkan bulan Rajab adalah salah satunya.” (Syarah Shahih Muslim).
 
Di sisi lain, pelarangan terhadap puasa Rajab juga telah menjadi kabar yang simpang siur sejak dahulu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut:
 
“Abdullah, budak Asma binti Abu Bakar dan dia adalah paman anak Atha, berkata: “Asma menyuruhku menemui Abdullah bin Umar untuk menyampaikan pesan beliau:
 
بلغني أنك تحرم أشياء ثلاثة: العلم في الثوب، وميثرة الأرجوان، وصوم رجب كله
 
“Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau mengharamkan tiga perkara: lukisan pada kain (sulaman sutera), bantal bewarna ungu, dan puasa bulan Rajab seluruhnya?”
 
Abdullah bin Umar memberikan klarifikasinya kepadaku:
 
أما ما ذكرت من رجب فكيف بمن يصوم الأبد
 
Adapun mengenai puasa bulan Rajab yang kau sebutkan, maka bagaimana dengan seorang yang puasa terus menerus sepanjang masa?” (HR Muslim).
 
Ketika menjelaskan hadis ini, Imam Nawawi berkata:
 
أما جواب ابن عمر في صوم رجب فإنكار منه لما بلغه عنه من تحريمه ، وإخبار بأنه يصوم رجبا كله ، وأنه يصوم الأبد. والمراد بالأبد ما سوى أيام العيدين والتشريق
 
Jawaban Ibnu Umar mengenai puasa Rajab tersebut merupakan penolakan atas kabar larangan puasa Rajab yang disinyalir bersumber dari dirinya, bahkan jawabannya merupakan pemberitahuan bahwa ia sendiri melakukan puasa Rajab sebulan penuh dan puasa selamanya, yakni puasa sepanjang tahun selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq. (Syarah Shahih Muslim)
 
Maka kesimpulan Imam Nawawi di atas, saya kira sebagai kunci dan titik temu di antara dua kelompok di atas yaitu: “Tidak ada ketetapan larangan dan kesunnahan untuk puasa Rajab, tetapi asalnya puasa adalah sunnah”.
 
Puasa kapan pun (selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq), termasuk di bulan Rajab adalah ibadah yang berpahala. Rajab menjadi istimewa karena ia adalah bulan yang suci dan mulia.
 
Puasa Rajab dan Keutamaannya
Bulan Rajab adalah bulan ketujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam untuk menerima perintah shalat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab. Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan.
 
Tentang bulan-bulan ini, al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah: 36).
 
Hukum Puasa Rajab
Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat (tapi kemudian riwayat mawquf Ibn Umar dalam Sahih Muslim justru menguatkan bahwa Ibn Umar tidaklah memakruhkannya, bahkan beliau berpuasa Rajab sebulan penuh).
 
Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunnahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.
 
Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda, “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia).” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan Abu Dawud (disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulallah, aku tak melihat engkau melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang engkau lakukan pada bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang”.
 
Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang” itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
 
Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih Imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan. Nabi bersabda: “Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan al-Muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)”.
 
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping Dzulhijjah, Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
 
Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan haram, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan Muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh sl-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.
 
Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam al-Nawawi menyatakan, “Memang benar tidak satupun ditemukan hadis shahih mengenai puasa Rajab. Namun telah jelas dan sahih riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan-bulan haram. Dan, Rajab adalah salah satu dari bulan haram itu. Maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan pun untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
 
Hadis Keutamaan Rajab
Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab: Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah memasuki bulan Rajab beliau berdoa: “Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR Ahmad, dari Anas bin Malik).
 
“Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan.”
 
Riwayat al-Thabarani dari Sa’id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya…..”
 
Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rajab itu bulannya Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku”.
 
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada malam mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi. Lalu aku bertanya pada Jibril, “Wahai Jibril, untuk siapakah sungai ini?” Maka berkata Jibril, “Ya Muhammad, sungai ini adalah untuk orang yang membaca shalawat untukmu di bulan Rajab ini”.
 
Mengamalkan Hadis Dhaif Rajab
Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi li al-Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dhaif (lemah atau kurang kuat).
 
Namun, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dhaif dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).
 
Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- Tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dhaif yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedhaifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal, dan lain- lain.”
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit

Saturday, February 22, 2020

Published February 22, 2020 by with 0 comment

Pengertian Aswaja

Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ada tiga kata yang membentuk kata tersebut:
 
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, maksudnya, semua yang datang dari Nabi SAW berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245)
3. Al-Jama'ah, yaitu apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar ra, Umar bin al-Khaththab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra). Kata al-Jama'ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW:
 
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ (رواه الترمذي 2091، والحاكم 77/1-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي)
 
Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama'ah (kelompok yang menjaga kebersamaan). (HR al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi)
 
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
 
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخَلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالبي طريق الحق، 1/80)
 
Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua). (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, Juz I, halaman 80)
 
Lebih jelas lagi, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari (1287-1336 H/1871-1947 M) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta'liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
 
أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمُ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ. قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِيْ مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الْحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ
 
Adapun Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hanbali.
 
Pada hakikatnya ajaran Nabi SAW dan para sahabatnya tentang 'aqidah itu sudah termaktub dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Akan tetapi masih berserakan dan belum tersusun secara sistematis. Baru pada masa setelahnya ada usaha dari ulama Ushuluddin yang besar yaitu Imam Abul Hasan al-Asy'ari yang lahir di Bashra tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H, juga Imam Abu Mansur al-Maturidi yang lahir di Maturid, Samarkand, Uzbekistan, dan wafat pada tahun 333 H, Ilmu Tauhid dirumuskan secara sistematis agar mudah dipahami. Kedua ulama tersebut menulis kitab-kitab yang cukup banyak. Imam al-Asy'ari misalnya, menulis kitab al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, Maqalat al-Islamiyyin, dan lain-lain. Sedangkan Imam al-Maturidi menulis kitab Kitab al-Tauhid, Ta'wilat Ahl al-Sunnah, dan lain-lain. Karena jasa yang besar dari kedua ulama tersebut, sehingga penyebutan Ahlussunnah Wal-Jama'ah selalu dikaitkan dengan kedua ulama tersebut.
 
Sayyid Murthada al-Zabidi mengatakan:
 
إِذَا أُطْلِقَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلاَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (اتحاف السادة المتقين ج٢ ص٦)
 
Jika disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah maka yang dimaksud adalah para pengikut Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi. (It-haf al-Sadah al-Muttaqin, Juz 2, hlm. 6)
 
Pesantren-pesantren di Indonesia secara umum mengajarkan Ilmu Tauhid menurut rumusan Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan menggunakan kitab yang lebih sederhana dan ditulis oleh para pengikut kedua imam tersebut seperti Kifayatul 'Awam, Ummul Barahin, dan lain-lain, termasuk kitab 'Aqidatul 'Awam yang insyaallah matan dan syarahnya akan dibahas di blog ini.
 
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Read More
      edit