“Utsman
bin Hakim al-Anshari bertanya pada Said bin Jubair mengenai puasa Rajab,
sedangkan saat itu kami berada pada bulan Rajab maka ia menjawab: Kami
mendengar bahwa Ibn Abbas ra berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم
حتى نقول لا يفطر ويفطر حتى نقول لا يصوم
“Rasul
Saw
berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkan puasa (puasa
terus), dan Rasul Saw tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak (pernah) berpuasa.” (HR
Muslim).
Setiap
memasuki bulan Rajab, pro-kontra hukum puasa Rajab mencuat dan menjadi topik
pembicaraan yang hangat di mana-mana.
Pihak yang pro mengatakan puasa Rajab adalah sunnah, sementara pihak yang kontra malah mengatakan bid’ah. Untuk
mengurai hakikat sebenarnya hukum puasa Rajab,
saya memilih untuk mengemukakan hadis di atas dengan disertai penjelasan para
ulama yang kredibel tentunya.
Imam Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas:
الظاهر أن مراد سعيد
بن جبير بهذا الاستدلال أنه لانهى عنه ولا ندب فيه لعينه، بل له حكم باقي الشهور، ولم
يثبت في صوم رجب نهي ولا ندب لعينه، ولكن أصل الصوم مندوب إليه، وفي سنن أبي دود أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب إلى الصوم من الأشهر الحرم، ورجب أحدها
“Yang jelas bahwasanya maksud dari Sa’id bin Jubair
mengemukakan dalil di atas (yakni Rasul Saw puasa dan tidak) adalah bahwa tidak
ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab, tetapi
hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. Tidak ada ketetapan larangan dan
kesunnahan untuk puasa Rajab, tetapi asalnya puasa adalah sunnah. Dalam Sunan Abi Dawud diriwayatkan bahwa
Rasul Saw
menganjurkan puasa pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan mulia yaitu Dzul
qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), sedangkan bulan Rajab adalah salah satunya.” (Syarah Shahih Muslim).
Di sisi lain, pelarangan terhadap puasa Rajab juga telah
menjadi kabar yang simpang siur sejak dahulu, sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Muslim berikut:
“Abdullah,
budak Asma binti Abu Bakar dan dia adalah paman anak Atha, berkata: “Asma
menyuruhku menemui Abdullah bin Umar untuk menyampaikan pesan beliau:
بلغني أنك تحرم أشياء ثلاثة: العلم في الثوب،
وميثرة الأرجوان، وصوم رجب كله
“Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau mengharamkan
tiga perkara: lukisan pada kain (sulaman sutera), bantal bewarna ungu, dan
puasa bulan Rajab seluruhnya?”
Abdullah
bin Umar memberikan klarifikasinya kepadaku:
أما ما ذكرت من رجب فكيف بمن يصوم الأبد
Adapun
mengenai puasa bulan Rajab yang kau sebutkan, maka bagaimana dengan seorang
yang puasa terus menerus sepanjang masa?” (HR Muslim).
Ketika menjelaskan hadis ini, Imam Nawawi berkata:
أما جواب ابن عمر في
صوم رجب فإنكار منه لما بلغه عنه من تحريمه ، وإخبار بأنه يصوم رجبا كله ، وأنه يصوم
الأبد. والمراد بالأبد ما سوى أيام العيدين والتشريق
Jawaban Ibnu Umar mengenai puasa Rajab tersebut merupakan
penolakan atas kabar larangan puasa Rajab yang disinyalir bersumber dari
dirinya, bahkan jawabannya merupakan pemberitahuan bahwa ia sendiri melakukan
puasa Rajab sebulan penuh dan puasa selamanya, yakni puasa sepanjang tahun
selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq. (Syarah Shahih Muslim)
Maka kesimpulan Imam Nawawi di atas, saya kira sebagai
kunci dan titik temu di antara dua kelompok di atas yaitu: “Tidak ada ketetapan
larangan dan kesunnahan untuk puasa Rajab, tetapi asalnya puasa adalah sunnah”.
Puasa
kapan pun (selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq), termasuk di bulan Rajab adalah
ibadah yang berpahala. Rajab menjadi istimewa karena ia adalah bulan yang suci
dan mulia.
Puasa
Rajab dan Keutamaannya
Bulan
Rajab adalah bulan ketujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam).
Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam untuk menerima perintah shalat lima waktu
diyakini terjadi pada 27 Rajab ini. Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan
haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam
dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab. Dinamakan bulan
haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan
peperangan.
Tentang
bulan-bulan ini, al-Qur’an
menjelaskan: “Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. at-Taubah: 36).
Hukum Puasa Rajab
Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu
Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tak
ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus.
Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar
al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada
dalil yang kuat (tapi kemudian riwayat mawquf Ibn Umar dalam Sahih Muslim
justru menguatkan bahwa Ibn Umar tidaklah memakruhkannya, bahkan beliau
berpuasa Rajab sebulan penuh).
Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua
hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunnahkan
puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang
menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan-bulan haram (Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak
ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.
Diriwayatkan
dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda, “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia).” (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa’i dan
Abu Dawud (disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah): “Usamah berkata pada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulallah, aku tak melihat engkau melakukan puasa
(sunnah) sebanyak yang engkau lakukan pada bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara
Rajab dan Ramadhan
yang dilupakan oleh kebanyakan orang”.
Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan
puasa sunnah, ungkapan Nabi, “Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan
Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang” itu secara implisit menunjukkan
bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
Keutamaan
berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih Imam Muslim.
Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa
yang paling utama setelah puasa Ramadhan. Nabi bersabda: “Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan
al-Muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)”.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din menyatakan
bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari
utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari-
hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu.
Terkait siklus bulanan ini Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur
al-fadhilah di samping Dzulhijjah,
Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori
al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang
paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah bulan-bulan haram, yaitu
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab dan Muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan Muharram, kemudian
Sya’ban. Namun menurut Syaikh sl-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah
Rajab.
Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam al-Nawawi
menyatakan, “Memang benar tidak satupun ditemukan hadis shahih mengenai puasa
Rajab. Namun telah jelas dan sahih riwayat
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai puasa dan memperbanyak
ibadah di bulan-bulan
haram. Dan, Rajab
adalah salah satu dari bulan haram itu. Maka selama tak ada pelarangan khusus
puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan pun untuk melarang puasa Rajab dan
ibadah lainnya di bulan Rajab.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Hadis Keutamaan Rajab
Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan
kekhususan puasa bulan Rajab: Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah memasuki
bulan Rajab beliau berdoa: “Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan
(juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR Ahmad, dari
Anas bin Malik).
“Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka
laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7
pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan
bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan.”
Riwayat al-Thabarani dari Sa’id bin Rasyid: “Barangsiapa
berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7
hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari
dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan
semua permintaannya…..”
Riwayat
(secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Rajab itu bulannya
Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku”.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada
malam mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu,
lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi. Lalu aku bertanya
pada Jibril, “Wahai Jibril, untuk siapakah sungai ini?” Maka berkata Jibril, “Ya Muhammad, sungai ini adalah untuk orang yang
membaca shalawat
untukmu di bulan Rajab ini”.
Mengamalkan Hadis Dhaif Rajab
Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi li
al-Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab
tersebut terkategori dhaif (lemah atau kurang kuat).
Namun, dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana
biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat
mengamalkan hadis dhaif dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).
Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam
al-Tabshirah wa al- Tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dhaif yang tidak
maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad
dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedhaifannya, apabila hadis itu tidak
berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib
(motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah,
fadha’il al-a’mal, dan lain- lain.”
Wallahu a’lam