Ummu
Ali Fatimah merupakan istri Ahmad bin Khudrawaih al-Balkhi (w. 240 H), seorang
wali besar dari Balkh. Imam al-Dzahabi menggelarinya “al-zâhid al-kabîr”
(seorang zahid yang luar biasa). (Lihat: Imam
al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 11,
h. 488).
Ummu
Ali lahir dari kalangan pembesar (pejabat). Ia memiliki harta yang melimpah dan
gemar menafkahkannya untuk orang-orang tidak mampu. Imam Abdurrahman al-Sulami
mengatakan:
كانت من بنات الرؤساء والأجلة، وكانت
موسرة، فانفقت مالها كله علي الفقراء
“Ummu
Ali adalah salah satu dari putri (keluarga) pembesar dan terhormat. Ia wanita
yang kaya raya. (Gemar) menafkahkan seluruh hartanya kepada orang-orang fakir.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât
al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 406)
Ummu
Ali berjumpa secara langsung dengan Imam Abu Hafs al-Naisaburi (w. 264 H) dan
Imam Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Ia berteman akrab dengan mereka dan
bertukar pikiran soal banyak hal, terutama dengan Imam Abu Yazid al-Busthami.
Ia sering menanyakan banyak hal tentang spiritualitas dan agama kepadanya (wa
sa’alat abâ yazîd ‘an masâ’il). (Lihat: Imam
Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah
al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 406)
Bahkan,
Imam Abu Hafs yang semula tidak suka berbincang dengan wanita, mengubah pandangannya setelah berjumpa
Ummu Ali. Ia mengatakan:
ما زلت أكره حديث النسوان حتي لقيت أم
علي، زوجة أحمد بن خضرويه. فعلمت أن الله تعالي يجعل معرفته حيث يشاء
“Aku
selalu tidak suka berbincang dengan wanita hingga aku berjumpa Ummu ‘Ali, istri
Ahmad bin Khudrawaih. Kemudian aku tahu bahwa Allah meletakkan pengetahuan-Nya di
mana pun (tempat) yang Dia kehendaki.” (Lihat: Imam
Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah
al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 406-407)
Imam
Abu Yazid al-Busthami memuji dan mengakui kualitas spiritual Ummu Ali. Ia
berkata:
من تصوف فليتصوف بهمة كهمة أم علي، زوجة
أحمد بن خضرويه، أو حال كحالها
“Barangsiapa yang (ingin) bertasawuf, bertasawuflah
dengan semangat (atau motivasi yang luhur) seperti semangatnya Ummu Ali, istri
Ahmad bin Khudrawaih, atau (dengan) keadaan (spiritual) seperti keadaan
(spiritual)nya.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât
al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h.
407)
Ummu
Ali adalah wanita kaya raya yang sangat dermawan. Ia tidak segan menyerahkan
seluruh kekayaannya kepada orang yang membutuhkan. Hatinya tidak lagi merasakan
berat atau ragu untuk bersedekah. Tentu, perasaan ini tidak muncul tiba-tiba,
tapi hasil dari himmah (semangat luhurnya) yang terus-menerus dihidupi, hingga hatinya terkondisikan
dalam jernih (hâl), seperti yang dikemukakan Imam Abu Yazid al-Busthami.
Sebagai
sufi dan ulama, Ummu Ali sering mengutarakan pemikiran dan pengalamannya
tentang kehidupan. Ia memahami kehidupan dari relasi Tuhan-hamba. Ia
mengatakan:
دعا الله تعالي الخلق إليه بأنواع البر
واللطف، فما أجابوه. فصبّ عليهم أنواع البلاء ليردهم بالبلاء إليه لأنه أحبهم
“Allah Ta’ala menyeru makhluk (hamba-Nya) dengan bermacam
perbuatan baik dan kebajikan, maka (ketika) makhluk(-Nya) tidak menjawab
(seruan)-Nya, Allah menurunkan berbagai cobaan kepada mereka supaya mereka
kembali kepada-Nya melalui cobaan (itu), karena sesungguhnya Allah mencintai
mereka.” (Lihat: Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât
al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzkr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h.
407)
Perkataan
di atas menjelaskan bahwa cobaan dari Allah adalah bentuk cinta Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Pada dasarnya, Allah selalu menghendaki kebaikan kepada
hamba-Nya, dan menginginkan mereka berperilaku baik. Namun, ketika mereka tidak
menjawab seruan dan kehendak baik Allah kepada mereka, Allah memberikan cobaan
kepada mereka. Bagi Ummu Ali, cobaan yang diberikan Allah adalah pendidikan
untuk hamba-hamba-Nya, agar mereka terbangun dari kelalaian mereka. Artinya,
cobaan dari Allah adalah tanda cinta dari-Nya.
Ummu Ali membuktikan bahwa anak pejabat yang kaya raya
bisa menjadi seorang sufi, wali, dan ulama. Seperti yang dikatakan Imam Abu Hafs al-Naisaburi, “Allah
menempatkan pengetahuan-Nya di (tempat) mana pun yang Dia kehendaki.” Itu
berarti, tidak ada satu pun profesi di dunia ini yang dapat mencegah Allah
memberikan pengetahuan-Nya, karena Allah menempatkan pengetahuan-Nya kepada
siapa pun yang dikehendaki-Nya dan di mana pun tempatnya.
Ummi Ali Fatimah wafat sekitar tahun 234 H mendahului
suaminya, Imam Ahmad bin Khudrawaih yang wafat tahun 240 H. Ia meninggalkan
warisan pengetahuan yang melimpah untuk digali oleh generasi setelahnya.
Wallahu a’lam
Sumber: NU
0 comments:
Post a Comment