Sunday, March 1, 2020

Published March 01, 2020 by with 0 comment

Rasulullah Tidak Akan Meninggalkanmu

Bilal bin Rabbah sosok lelaki berkulit hitam yang dipercaya oleh Nabi sebagai pengumandang azan, tugas yang membuat dia selalu dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bilal sangat mencintai Nabi, terbukti dengan tidak berpaling keimanannya dari Islam walaupun nyawa sebagai taruhan, Bilal pernah disiksa, dijemur di atas pasir panas dan di bawah terik matahari, kemudian di atas perutnya diletakkan batu sehingga sulit bagi Bilal untuk bernafas, namun siksa yang mendera dirinya tidak mampu melunturkan rasa cinta kepada agamanya, rasa cinta kepada sosok Muhammad, orang yang diyakininya sebagai utusan Allah.
 
Selama hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lima kali sehari semalam Bilal mengumandangkan azan di masjid Nabi di Madinah. Dikisahkan, ketika sampai waktu subuh terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membangunkan Bilal untuk azan, di lain waktu Bilal yang membangunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melaksanakan shalat Subuh, demikian berlangsung dalam hitungan tahun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai Bilal yang senantiasa menjaga amanah, melaksanakan tugas dengan baik dan dengan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menanyai sembari memujinya secara langsung. “Wahai Bilal, amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga aku mendengar suara terompahmu di dalam Surga?” Bilal pun menjawab dengan malu, “Aku hanya menjaga wudhuku dan shalat dua rakaat tiap seusai wudhu ya Rasulullah”.
 
Pengabdian yang tulus kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama bertahun-tahun tibalah saat akhir, yaitu dengan wafatnya Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bilal begitu terpukul dan tidak percaya kalau pujaan hatinya, kekasih hatinya, dan tempat dia mengabdi itu telah tiada. Hatinya begitu sedih, dia tidak lagi mempunyai semangat hidup, karena tujuan hidupnya telah tiada, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
 
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal tidak pernah lagi mau menjadi muazin, tidak sanggup baginya untuk mengingat kenangan-kenangan indah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membuat hatinya menjadi semakin sedih. Ketika Sayyidina Abu Bakar Shiddiq mendesak Bilal untuk menjadi muazin, dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata: “Biarkan aku hanya menjadi muazin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muazin siapa-siapa lagi.”
 
Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria. Sekian lamanya Bilal tak pernah berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?
 
Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya ia meninggalkan Madinah.
 
Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya membuncah, cintanya kepada Rasulullah  begitu besar. Cinta yang tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.
 
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar hadir juga di makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, menyaksikan Bilal menangis, maka keduanyanya pun ikut menangis. Dengan linangan air mata, Bilal berkata kepada Sayyidina Abu Bakar, “Apakah Rasulullah akan meninggalkan aku yang Abu Bakar?”, dengan senyum Abu Bakar menjawab, “Rasulullah tidak akan meninggalkanmu ya Bilal”.
 
Benarkah begitu?”, tanya Bilal memastikan.
 
Sayyidina Abu Bakar berkata, “Air mata yang menangis karena rindu kepada Rasulullah tidak akan pernah ditinggalkan oleh Rasulullah.
 
Bila Bilal yang sangat dekat saja dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hatinya masih ada rasa takut ditinggalkan oleh beliau, tentu sifat ini harusnya lebih terhunjam dalam diri kita. Jarak dan waktu yang memisahkan kita dengan Rasulullah, tidakkah membuat kita khawatir akan ditinggalkan oleh beliau?
 
Seberapa banyak air mata kita yang pernah tertumpah karena rindu kepada Rasulullah, rindu kepada kekasih Allah, atau kita hanya mempelajari sejarah Nabi tanpa pernah bersentuhan dengan hati beliau, dengan ruhani beliau sehingga tidak keluar setetes pun air mata untuk beliau?
 
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiada maka beliau menitipkan amanat rasa dan kerinduan itu lewat para ulama pewaris Nabi. Lewat bimbingan ulama inilah hati kita tersambung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga jarak dan waktu menjadi nol. Ketika jarak dan waktu hilang maka kita pun senantiasa bersama beliau, siang dan malam dari dunia sampai akhirat.
 
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد
      edit

0 comments:

Post a Comment