Bilal
bin Rabbah sosok lelaki berkulit hitam yang dipercaya oleh Nabi sebagai
pengumandang azan, tugas yang membuat dia selalu dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bilal
sangat mencintai Nabi, terbukti dengan tidak berpaling keimanannya dari Islam
walaupun nyawa sebagai taruhan, Bilal pernah disiksa, dijemur di atas pasir panas dan di bawah terik matahari, kemudian di atas perutnya diletakkan batu sehingga sulit bagi
Bilal untuk bernafas, namun siksa yang mendera dirinya tidak mampu melunturkan rasa cinta kepada agamanya, rasa cinta
kepada sosok Muhammad, orang yang diyakininya sebagai utusan Allah.
Selama
hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lima kali sehari semalam Bilal mengumandangkan azan di masjid Nabi di Madinah. Dikisahkan, ketika sampai
waktu subuh terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam
membangunkan Bilal
untuk azan, di lain
waktu Bilal yang membangunkan
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk
melaksanakan shalat Subuh, demikian berlangsung dalam hitungan tahun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam
menyukai Bilal yang senantiasa
menjaga amanah, melaksanakan tugas dengan baik dan dengan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menanyai sembari memujinya secara
langsung. “Wahai Bilal, amalan apakah
yang engkau kerjakan sehingga aku mendengar suara terompahmu di dalam Surga?” Bilal pun menjawab dengan malu, “Aku hanya menjaga wudhuku dan shalat dua rakaat tiap
seusai wudhu ya Rasulullah”.
Pengabdian yang tulus kepada Rasullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selama bertahun-tahun tibalah saat akhir, yaitu dengan wafatnya
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bilal begitu terpukul dan tidak percaya kalau
pujaan hatinya, kekasih
hatinya, dan tempat
dia mengabdi itu telah
tiada. Hatinya begitu sedih, dia tidak lagi mempunyai semangat hidup, karena
tujuan hidupnya telah tiada, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Bilal tidak pernah lagi mau menjadi muazin, tidak sanggup baginya untuk
mengingat kenangan-kenangan indah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang membuat hatinya menjadi semakin sedih. Ketika Sayyidina Abu Bakar
Shiddiq mendesak Bilal untuk menjadi muazin, dengan kesedihan yang
mendalam Bilal berkata: “Biarkan aku hanya menjadi muazin
Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka
aku bukan muazin siapa-siapa lagi.”
Ia pun
memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath
Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs,
Syria. Sekian lamanya Bilal tak pernah berkunjung
ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam hadir
dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak
mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”
Bilal
pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali
ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun
lamanya ia
meninggalkan Madinah.
Setibanya
di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya
membuncah, cintanya kepada Rasulullah begitu besar. Cinta yang
tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar hadir juga di
makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, menyaksikan Bilal menangis,
maka keduanyanya pun ikut menangis. Dengan linangan air mata, Bilal berkata
kepada Sayyidina Abu Bakar, “Apakah Rasulullah akan
meninggalkan aku yang Abu Bakar?”, dengan senyum Abu Bakar
menjawab, “Rasulullah tidak akan meninggalkanmu ya Bilal”.
“Benarkah begitu?”, tanya Bilal memastikan.
Sayyidina
Abu Bakar berkata, “Air mata yang menangis karena rindu kepada Rasulullah tidak
akan pernah ditinggalkan oleh Rasulullah.”
Bila Bilal yang sangat dekat saja dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam di dalam hatinya masih ada rasa takut ditinggalkan oleh beliau,
tentu sifat ini harusnya lebih terhunjam dalam diri kita. Jarak dan waktu yang memisahkan
kita dengan Rasulullah, tidakkah membuat kita khawatir akan ditinggalkan oleh beliau?
Seberapa banyak air mata kita yang pernah tertumpah
karena rindu kepada Rasulullah, rindu kepada kekasih Allah, atau kita hanya
mempelajari sejarah Nabi tanpa pernah bersentuhan dengan hati beliau, dengan
ruhani beliau sehingga tidak keluar setetes pun air mata untuk beliau?
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiada maka
beliau menitipkan amanat rasa dan kerinduan itu lewat para ulama pewaris Nabi. Lewat
bimbingan ulama inilah hati kita tersambung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, sehingga jarak dan waktu menjadi nol. Ketika jarak dan waktu hilang maka kita pun
senantiasa bersama beliau, siang
dan malam dari dunia sampai akhirat.
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد
0 comments:
Post a Comment