Tuesday, March 3, 2020

Published March 03, 2020 by with 0 comment

Zuhud Menurut Imam Ja’far Ash-Shadiq

Imam Ja’far ash-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam bidang fiqih dan tasawuf, menjadi imam para sufi di zamannya serta menjadi pangkal bertemunya silsilah beberapa tarekat yang berkembang saat ini.
 
Di zaman Imam Ja’far Ash-Shadiq hidup pula seorang yang mempunyai keahlian yang sama dalam bidang fiqih dan tasawuf, yaitu Sufyan As-Tsauri. Keduanya dikenal sebagai ahli fiqih dan sekaligus ahli makrifat. Keduanya  dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih besar di zamannya; tetapi dalam perkembangan zaman, fiqihnya kalah populer dengan fiqih-fiqih yang lain, sehingga mazhab fiqih-nya kurang kita kenal saat ini.
 
Pada suatu hari Sufyan As-Tsauri mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan didapatinya Imam Ja’far dalam pakaian yang indah gemerlap, hingga tampak bagi As-Tsauri sangat mewah. Ia merasa, Imam yang terkenal sangat shalih dan zuhud, tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, Busana ini bukanlah pakaianmu!. Imam Ja’far ash-Shadiq menimpali ucapan As-Tsauri dengan berkata, Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini, baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika kau ingin mati dalam sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan padamu, bahwa Rasulullah Saw hidup pada zaman yang sangat miskin. Ketika kemudian zaman berubah dan dunia datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang shalih, bukan orang-orang yang durhaka; orang-orang mukmin, bukan orang-orang munafik; orang-orang Islamnya bukan orang-orang kafirnya. Apa yang akan kau ingkari, hai As-Tsauri? Demi Allah, walaupun engkau lihat aku dalam keadaan seperti ini sejak pagi hingga sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.
 
Sufyan As-Tsauri, bisa dibilang, mewakili pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan segala-galanya, meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Konon, karena cinta dunia itu sumber segala kejahatan, akhirnya mereka memilih untuk membenci dunia.
 
Mujahadah dan riyadhah gaya Sufyan As-Tsauri, tidak bisa dibilang salah, karena memang ada segolongan orang yang karena kondisi tertentu harus menjalani model itu”, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya kepada semua orang, karena jika demikian, siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji, mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah dan sebagainya. Hanya melihat kehidupan tasawuf model ini, bisa melahirkan pendapat yang keliru dalam memandang tasawuf dan kehidupan Sufi yang oleh sebagian penentangnya diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Bisa-bisa membuat orang takut belajar tasawuf dan menjalani kehidupan sufi karena khawatir menjadi miskin.
 
Imam Ja’far menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih, bahwa tasawuf sejati tidak demikian. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang disamakan dengan keshalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadits. Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa.( Laisa Zuhud bi-an La tamlika Syai-an, Innama Zuhud an laa yamlikaka dzalikas syaik), seperti hal ini ditegaskan oleh Imam Abil Hasan Asy-Syadzili.
 
Kesimpulannya, apa yang dilakoni oleh Sufyan As-Tsuri adalah tahap mujahadah, meninggalkan segala kemelekatan agar mudah mencapai tujuan, sedangkan apa yang ditampilkan oleh Imam Ja’far As-Shadiq adalah kelanjutan dari mujahadah, hal yang lebih berat lagi yaitu ketika Allah memberikan kekayaan dan kemakmuran tidak membuat kita lalai di dalam mengingat-Nya.
 
Wallahu a’lam
      edit

0 comments:

Post a Comment