Imam Ja’far ash-Shadiq adalah seorang
ulama besar dalam bidang fiqih dan tasawuf, menjadi imam para sufi di zamannya
serta menjadi pangkal bertemunya silsilah beberapa tarekat yang berkembang saat
ini.
Di
zaman Imam Ja’far Ash-Shadiq
hidup pula seorang yang mempunyai keahlian yang sama dalam bidang fiqih dan
tasawuf, yaitu Sufyan
As-Tsauri. Keduanya dikenal sebagai ahli fiqih dan sekaligus ahli makrifat.
Keduanya dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih besar di zamannya; tetapi
dalam perkembangan zaman, fiqihnya kalah populer dengan fiqih-fiqih yang lain,
sehingga mazhab fiqih-nya kurang kita kenal saat ini.
Pada
suatu hari Sufyan As-Tsauri mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan didapatinya Imam Ja’far
dalam pakaian yang indah gemerlap, hingga tampak bagi As-Tsauri sangat mewah.
Ia merasa, Imam yang terkenal sangat shalih dan zuhud, tidak pantas untuk memakai
pakaian seperti itu. Ia berkata, “Busana ini bukanlah pakaianmu!”.
Imam Ja’far ash-Shadiq menimpali ucapan As-Tsauri dengan berkata, “Dengarkan
aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini,
baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika kau ingin mati dalam
sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan padamu,
bahwa Rasulullah Saw
hidup pada zaman yang sangat miskin. Ketika kemudian zaman berubah dan dunia
datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang shalih, bukan orang-orang yang
durhaka; orang-orang mukmin, bukan orang-orang munafik; orang-orang Islamnya
bukan orang-orang kafirnya. Apa yang akan kau ingkari, hai As-Tsauri? Demi
Allah, walaupun engkau
lihat aku dalam keadaan seperti ini sejak pagi hingga sore, jika dalam hartaku
ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya
semata-mata karena Allah.”
Sufyan As-Tsauri, bisa dibilang, mewakili
pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan
segala-galanya, meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan
keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Konon,
karena cinta dunia itu sumber segala kejahatan, akhirnya mereka memilih untuk
membenci dunia.
Mujahadah dan riyadhah gaya Sufyan
As-Tsauri, tidak bisa dibilang salah, karena memang ada segolongan orang yang
karena “kondisi tertentu harus menjalani model itu”, tetapi
tidak dapat diterapkan sepenuhnya kepada semua orang, karena jika demikian,
siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji,
mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah
dan sebagainya. Hanya melihat kehidupan tasawuf model ini, bisa melahirkan
pendapat yang keliru dalam memandang tasawuf dan kehidupan Sufi yang oleh
sebagian penentangnya diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan
kekotoran. Bisa-bisa
membuat orang takut belajar tasawuf dan menjalani kehidupan sufi karena khawatir menjadi miskin.
Imam
Ja’far menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih, bahwa tasawuf sejati
tidak demikian. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang disamakan dengan keshalihan berasal dari kekeliruan
dalam memahami Al-Quran dan hadits. Tasawuf
sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan
berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa.( Laisa Zuhud bi-an La tamlika Syai-an, Innama Zuhud an laa yamlikaka
dzalikas syaik), seperti hal ini ditegaskan oleh Imam Abil Hasan Asy-Syadzili.
Kesimpulannya, apa yang dilakoni oleh
Sufyan As-Tsuri adalah tahap mujahadah, meninggalkan segala kemelekatan agar
mudah mencapai tujuan, sedangkan apa yang ditampilkan oleh Imam Ja’far
As-Shadiq adalah kelanjutan dari mujahadah, hal yang lebih berat lagi yaitu
ketika Allah memberikan kekayaan dan kemakmuran tidak membuat kita lalai di
dalam mengingat-Nya.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment