Di Madinah pernah tinggal seorang pedagang minyak. Setiap pagi, sebelum berangkat ke warungnya, ia singgah dulu di halaman rumah Nabi Saw. Ia menunggu sampai junjungannya muncul. Dengan penuh cinta ia memandang wajah Nabi Saw yang mulia.
Pada suatu hari, ia datang. Seperti biasa ia memuaskan hatinya dengan memandang wajah Rasulullah Saw. Setelah itu, ia pergi ke tempat kerjanya. Tak lama kemudian ia balik lagi. Ia mohon izin untuk memandang beliau sekali lagi. Setelah puas, ia berangkat ke pasar. Selama seminggu setelah itu, Rasulullah Saw tidak pernah melihatnya lagi.
Ketika beliau menanyakan perihal dia kepada para sahabatnya, beliau mendapatkan jawaban bahwa ia sudah meninggal seminggu sebelumnya. Rupanya itulah pertemuan terakhir antara dia dengan Rasulullah Saw. Untuk orang itu, Rasulullah Saw bersabda, "Karena kecintaannya kepadaku, Allah mengampuni dosa-dosanya."
***
Seorang laki-laki Anshar datang menemui Nabi Saw. Ia mengadu, "Ya Rasulullah, aku tak tahan berpisah darimu. Jika aku masuk ke rumahku, lalu aku ingat dikau, aku tinggalkan harta dan keluargaku. Aku lepaskan kerinduanku dengan memandangmu. Lalu, aku ingat pada hari kiamat. Pada hari itu, engkau dimasukkan ke surga dan ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Bagaimana dengan nasibku, Ya Rasulullah?"
Beliau tidak menjawab. Tidak lama setelah itu, turun ayat: "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang syahid dan orang-orang saleh, dan alangkah baiknya berteman dengan mereka." (QS. al-Nisa: 69).
Begitu ayat ini turun, Nabi Saw memanggil lelaki itu, membacakan kepadanya ayat itu dan memberikan kabar gembira kepadanya. Ia dijanjikan bahwa ia akan digabungkan dengan Rasulullah Saw. Di sana, ia tidak akan berpisah lagi dari Nabi Saw. Lelaki itu tentu sangat bahagia dengan kabar gembira dari Nabi Saw.
Buat pecinta, perpisahan dengan kekasih adalah musibah yang sangat besar. Karena itulah, Fatimah merintih ketika ayahnya, panutannya, junjungannya dan kekasihnya meninggal dunia. Setiap hari ia mengunjungi pusara Rasulullah Saw dan melantunkan syair yang mengungkapkan isi hatinya:
Nafasku tersekat dalam tangisan
duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan
sesudahmu tiada lagu kebaikan dalam kehidupan
aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan
Kala rinduku memuncak,
kujenguk pusaramu dengan tangisan
aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban
Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu,
tangisan memelukku
kenangan padamu melupakan daku dari segala musibah yang lain
jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah
engkau takkan pernah hilang dari hatiku yang pedih
Kepedihan yang sama diderita oleh Ali bin Abi Thalib. Lama ia berdiri di hadapan pusara Rasulullah yang mulia. Dalam deraian air mata yang tak kunjung berhenti, ia mengungkapkan deritanya:
Bi Abi Anta wa Ummi
Biarlah ayah bundaku jadi tebusanmu, ya Rasulallah
Sekiranya tidak kau perintahkan kami bersabar
jika tak kau larang kami berduka cita
akan kami alirkan gelombang air mata
Tapi walau begitu, sakit kami tak kunjung sembuh
derita kami takkan berakhir
sakit dan derita kami terlalu kecil ketimbang kepedihan karenamu
Kepergianmu takkan mungkin dikembalikan
kematianmu tak bisa dihindarkan
Bi Abi wa Anta Ummi
Kenanglah kami di sisi Tuhanmu
dan simpan kami di dalam hatimu
Sekali lagi, bagi sang pecinta, perpisahan dengan yang dicintai itu adalah musibah yang sangat besar.