Tuesday, June 30, 2020

Published June 30, 2020 by with 0 comment

Washiyyatul Musthafa: Muqadimah

اَلْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ: فَهَذِهِ وَصِيَّةُ الْمُصْطَفَى عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لِعَلِيِّ بْنِ اَبِيْ طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ. قَالَ دَعَانِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَلَوْتُ مَعَهُ فِيْ مَنْزِلِهِ فَقَالَ لِيْ: يَاعَلِيُّ، اَنْتَ مِنِّيْ بِمَنْزِلَةِ هَرُوْنَ مِنْ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ غَيْرَ اَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، اِنِّيْ اُوْصِيْكَ الْيَوْمَ بِوَصِيَّةٍ، اِنْ اَنْتَ حَفِظْتَهَا عِشْتَ حَمِيْدًا وَمُتَّ شَهِيْدًا وَبَعَثَكَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقِيْهًا عَالِمًا
 
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah ke haribaan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, kepada keluarganya serta kepada para sahabatnya. Selanjutnya, risalah kecil ini adalah tentang Wasiat Nabi Pilihan (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam) kepada Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah.  Ali bin Abi Thalib berkata, “Rasulullah telah memanggilku sedangkan aku bersama beliau di rumahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku, ‘Hai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Nabi Harun terhadap Nabi Musa 'Alaihissalam, namun tidak ada lagi nabi sesudahku. Sesungguhnya aku akan berwasiat kepadamu dengan beberapa wasiat, yang apabila engkau menjaganya (mengamalkan wasiat tersebut) niscaya hidupmu akan mulia, matimu akan syahid, dan Allah akan membangkitkanmu pada hari kiamat sebagai seorang ahli fiqih dan ahli ilmu.’”
Read More
      edit

Sunday, June 28, 2020

Published June 28, 2020 by with 0 comment

Keutamaan Membayar Hutang dan Keburukan Menunda-nundanya

Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani di dalam kitab Kasyifatus Saja menulis:

وَقَالَ الْقَلْيُوْبِىُّ فِى شَرْحِ الْمِعْرَاجِ فَائِدَةٌ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَشَى اِلَى غَرِيْمِهِ بِحَقِّهِ يُؤَدِّيْهِ اِلَيْهِ صَلَّتْ عَلَيْهِ دَوَابُّ اْلاَرْضِ وَنُوْنِ الْبِحَارِ اَىْ حِيْتَانُهَا وَغُرِسَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ شَجَرَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَغُفِرَ لَهُ ذَنْبٌ، وَمَا مِنْ غَرِيْمٍ يُلْوِى غَرِيْمَهُ اَىْ يُمَاطِلُهُ وَيَسُوْفُ بِهِ وَهُوَ قَادِرٌ اِلاَّ كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فِى كُلِّ وَقْتٍ اِثْمًا

"Dan telah berkata Syaikh al-Qalyubiy di dalam kitab Syarh al-Mi'raj: (Suatu faidah) diriwayatkan dari Sayyidina Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  bersabda: "Siapa saja yang berjalan kepada pemberi hutang kepadanya, dengan membawa haknya yang ia akan menunaikan hak itu kepada pemberi hutang, maka akan bershalawat (berdoa) kepada orang itu hewan-hewan di bumi dan ikan paus di berbagai lautan, yakni ikan-ikan laut, dan ditanamkan untuknya di setiap langkah berupa satu pohon di surga, dan diampuni suatu dosa baginya. Dan tidaklah seorang penghutang yang menangguhkan kepada pemberi hutangya, yakni mengulur-ngulur (pembayaran) hutangnya, padahal ia orang yang mampu, melainkan pasti Allah akan mencatat atasnya di setiap putaran waktu akan suatu dosa."

Wallahu a'lam
Read More
      edit

Saturday, June 27, 2020

Published June 27, 2020 by with 0 comment

Tawakkal, Niat dan Keikhlasan

Di antara hal yang menyelamatkan adalah tawakkal kepada Allah, yaitu hanya bertumpu (berpasrah diri) kepada Allah dalam segala hal. Allah Swt berfirman:
 
وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

"Dan bertawakkallah kalian kepada Allah jika kalian beriman." (QS. al-Maidah [5]: 23)
 
Mengambil langkah-langkah ikhtiar adalah wajib hukumnya, seperti berobat, dan hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal. Akan tetapi, seorang mukmin harus berikhtiar dan bertumpu juga kepada Allah Swt yang menentukan ikhtiar tersebut.
 
Rasulullah Saw bersabda terhadap orang yang melepaskan ontanya tanpa diikat sambil berkata, "Aku bertawakkal kepada Allah." Maka Rasulullah Saw bersabda kepada orang itu:
 
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
 
"Ikatlah onta itu, lalu bertawakkallah." (HR at-Tirmidzi)
 
Termasuk hal yang menyelamatkan adalah niat yang benar dan ikhlas karena Allah dalam segala amal perbuatan. Dalam hal ini cukuplah sabda Nabi Saw berikut ini:
 
"Sesungguhnya amal (perbuatan) itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu (sesuai apa) yang diniatkannya, barangsiapa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk memperoleh dunia atau seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya pun sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR Bukhari dan Muslim)
 
Disarikan dari kitab 'Ajalah as-Sibaq ila Makarim al-Akhlaq karya al-Habib Muhammad ibn Abdullah al-Haddar
Read More
      edit

Friday, June 26, 2020

Published June 26, 2020 by with 0 comment

Perpisahan Itu Musibah yang Sangat Besar

Di Madinah pernah tinggal seorang pedagang minyak. Setiap pagi, sebelum berangkat ke warungnya, ia singgah dulu di halaman rumah Nabi Saw. Ia menunggu sampai junjungannya muncul. Dengan penuh cinta ia memandang wajah Nabi Saw yang mulia. 

Pada suatu hari, ia datang. Seperti biasa ia memuaskan hatinya dengan memandang wajah Rasulullah Saw. Setelah itu, ia pergi ke tempat kerjanya. Tak lama kemudian ia balik lagi. Ia mohon izin untuk memandang beliau sekali lagi. Setelah puas, ia berangkat ke pasar. Selama seminggu setelah itu, Rasulullah Saw tidak pernah melihatnya lagi. 

Ketika beliau menanyakan perihal dia kepada para sahabatnya, beliau mendapatkan jawaban bahwa ia sudah meninggal seminggu sebelumnya. Rupanya itulah pertemuan terakhir antara dia dengan Rasulullah Saw. Untuk orang itu, Rasulullah Saw bersabda, "Karena kecintaannya kepadaku, Allah mengampuni dosa-dosanya."

***

Seorang laki-laki Anshar datang menemui Nabi Saw. Ia mengadu, "Ya Rasulullah, aku tak tahan berpisah darimu. Jika aku masuk ke rumahku, lalu aku ingat dikau, aku tinggalkan harta dan keluargaku. Aku lepaskan kerinduanku dengan memandangmu. Lalu, aku ingat pada hari kiamat. Pada hari itu, engkau dimasukkan ke surga dan ditempatkan di tempat yang paling tinggi. Bagaimana dengan nasibku, Ya Rasulullah?"

Beliau tidak menjawab. Tidak lama setelah itu, turun ayat: "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang syahid dan orang-orang saleh, dan alangkah baiknya berteman dengan mereka." (QS. al-Nisa: 69). 

Begitu ayat ini turun, Nabi Saw memanggil lelaki itu, membacakan kepadanya ayat itu dan memberikan kabar gembira kepadanya. Ia dijanjikan bahwa ia akan digabungkan dengan Rasulullah Saw. Di sana, ia tidak akan berpisah lagi dari Nabi Saw. Lelaki itu tentu sangat bahagia dengan kabar gembira dari Nabi Saw. 

Buat pecinta, perpisahan dengan kekasih adalah musibah yang sangat besar. Karena itulah, Fatimah merintih ketika ayahnya, panutannya, junjungannya dan kekasihnya meninggal dunia. Setiap hari ia mengunjungi pusara Rasulullah Saw dan melantunkan syair yang mengungkapkan isi hatinya:

Nafasku tersekat dalam tangisan
duhai, mengapa nafas tak lepas bersama jeritan
sesudahmu tiada lagu kebaikan dalam kehidupan
aku menangis karena aku takut hidupku akan kepanjangan

Kala rinduku memuncak,
kujenguk pusaramu dengan tangisan
aku menjerit meronta tanpa mendapatkan jawaban

Duhai yang tinggal di bawah tumpukan debu,
tangisan memelukku
kenangan padamu melupakan daku dari segala musibah yang lain
jika engkau menghilang dari mataku ke dalam tanah
engkau takkan pernah hilang dari hatiku yang pedih

Kepedihan yang sama diderita oleh Ali bin Abi Thalib. Lama ia berdiri di hadapan pusara Rasulullah yang mulia. Dalam deraian air mata yang tak kunjung berhenti, ia mengungkapkan deritanya:
Bi Abi Anta wa Ummi
Biarlah ayah bundaku jadi tebusanmu, ya Rasulallah
Sekiranya tidak kau perintahkan kami bersabar
jika tak kau larang kami berduka cita
akan kami alirkan gelombang air mata

Tapi walau begitu, sakit kami tak kunjung sembuh
derita kami takkan berakhir
sakit dan derita kami terlalu kecil ketimbang kepedihan karenamu

Kepergianmu takkan mungkin dikembalikan
kematianmu tak bisa dihindarkan

Bi Abi wa Anta Ummi
Kenanglah kami di sisi Tuhanmu
dan simpan kami di dalam hatimu

Sekali lagi, bagi sang pecinta, perpisahan dengan yang dicintai itu adalah musibah yang sangat besar.


Read More
      edit

Wednesday, June 24, 2020

Published June 24, 2020 by with 0 comment

Menghisab Diri Sebelum Hari Penghisaban Tiba

Diriwayatkan bahwa dalam salah satu khutbahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pernah berpesan:
 
“Hisablah diri kalian sebelum tiba waktu penghisaban kalian. Sungguh, tidaklah suatu kaum itu meninggalkan jihad fi sabilillah, kecuali Allah akan menimpakan kefakiran pada mereka. Dan tidaklah perbuatan zina itu merebak dalam suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan siksa-Nya pada mereka.”[1]
 
Hikmah:
 
Di sini Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memberikan nasihat kepada kita agar sesegera mungkin menghisab diri sendiri, sebelum tiba saat penghisaban yang akan dilakukan Allah pada kita. Menghisab diri sendiri artinya melakukan penimbangan atas amal kebaikan yang mendatangkan pahala yang telah kita lakukan dan amal keburukan yang mendatangkan dosa yang juga telah kita lakukan. Perhatikanlah, mana di antara keduanya yang lebih banyak. Yang terbaik adalah selalu menduga bahwa keburukan kita jauh lebih banyak daripada kebaikan. Sikap ini akan membuat kita senantiasa terdorong untuk melakukan amal kebajikan. 
 
Nasihat ini juga mengajarkan kepada kita agar jangan pernah meninggalkan jihad fi sabilillah, karena ia merupakan salah satu bentuk amal yang paling utama. Namun demikian, janganlah jihad diartikan hanya sebagai perang, karena perang hanya salah satu dari sekian banyak makna jihad. Jihad fi sabilillah adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah. Karena tujuan dari jihad itu adalah menggapai ridha Allah, maka hendaklah ia dilaksanakan dengan cara-cara yang diridhai Allah. Orang yang dalam dirinya sama sekali tak memiliki semangat untuk menegakkan nilai-nilai yang mendatangkan keridhaan Allah, maka sungguh ia menjadi seorang manusia yang sangat fakir dalam keimanan. Boleh jadi hidupnya bergelimang harta, namun sebenarnya ia hidup dalam kemiskinan, yakni miskin iman. 
 
Melalui nasihat ini juga Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengingatkan kita agar menjauhi zina dan segala macam jalan yang bisa mengantarkan manusia kepadanya. Hendaklah setiap diri berusaha menciptakan jarak sejauh mungkin dengan jalan-jalan yang menuju kepada perzinahan, agar zina tidak menjadi kebiasaan yang hidup tengah-tengah suatu kaum. Seandainya zina telah menjadi hal biasa bagi suatu kaum, maka tak ada yang layak mereka peroleh dari sisi Tuhan selain siksa-Nya. 
 
Oleh karena itu, hisablah diri sebelum Allah menghisabnya, berjuanglah menegakkan segala amal yang diridhai Allah, dan jauhi zina serta jalan-jalan yang mengarah kepadanya, niscaya Allah akan menyediakan bagi kita keberkahan dan pahala yang luar biasa dari sisi-Nya.
 

[1] Lihat: Kanzul Ummal, hadits nomo 14114.
Read More
      edit

Tuesday, June 23, 2020

Published June 23, 2020 by with 0 comment

Bolehkah Kurban Atas Nama Orang yang Telah Meninggal Dunia?

Salah satu pertanyaan yang sering muncul ketika Idul Adha tiba adalah hukum berkuban atas nama orang yang telah meninggal dunia. Apakah hal yang semacam itu dibolehkan?

Berikut akan kami sampaikan kajiannya secara sederhana. Semoga bisa menjawab pertanyaan itu.

Hal mendasar yang perlu dipahami tentang masalah ini adalah bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Ada yang membolehkan dengan syarat tertentu dan ada pula yang membolehkan secara mutlak.

Madzhab Syafi'i adalah madzhab yang mayoritas ulama di dalamnya membolehkan berkurban atas nama orang yang telah meninggal dunia dengan syarat harus ada wasiat darinya. Jika wasiat tidak ada maka tidak dibolehkan berkuban atas nama mayit.

Imam Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin menegaskan:

وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوْصِ بِهَا

Tidak sah kurban atas nama orang lain (yang masih hidup) tanpa izin darinya, dan tidak pula sah kurban atas nama orang yang telah meninggal dunia (mayit) tanpa ada wasiat darinya untuk dikurbani.

Adapun alasan yang dikemukakan untuk menguatkan pendapat ini adalah pemahaman bahwa kurban adalah ibadah yang membutuhkan niat. Maka niat orang yang berkurban mutlak dibutuhkan. Selain itu, kurban merupakan ibadah yang menyerupai penebusan diri, maka sangat erat kaitannya dengan izin; dan keadaan yang seperti ini berbeda dengan sedekah.

Syaikh Mahfudz al-Tarmasi dalam kitab Mauhibah Dzi al-Fadl (4/693) menjelaskan:

وَلاَ يُضْحِيْ أَحَدٌ عَنْ مَيِّتٍ لَمْ يُوْصِ لِمَا مَرَّ وَفُرِّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الصَّدَقَةِ بِأَنَّهَا تُشْبِهُ الْفِدَاءَ عَنِ النَّفْسِ فَتَوَقَّفَتْ عَلَى اْلإِذْنِ بِخِلاَفِ الصَّدَقَةِ
 

Seseorang tidak dibolehkan berkurban atas nama mayit yang tidak berwasiat (untuk dikurbani) karena alasan yang sudah dikemukakan. Dan, ini dibedakan dengan sedekah, karena kurban menyerupai penebusan (fida') diri yang erat kaitannya dengan izin. Hal ini berbeda dengan sedekah.

Pendapat yang sudah kami jelaskan ini merupakan pendapat yang dipandang lebih shahih sekaligus merupakan pendapat mayoritas ulama dalam madzhab Syafi'i. Namun demikian, ada juga ulama dalam madzhab Syafi'i yang membolehkan berkurban atas nama orang yang telah meninggal dunia meskipun tidak ada wasiat darinya. Yang lebih ditekankan di sini adalah unsur sedekahnya. Berkurban termasuk dalam makna bersedekah. Berkurban atas nama mayit berarti bersedekah atas nama mayit, dan para ulama sepakat akan bolehnya hal ini dan mayit mendapatkan manfaat darinya. Imam Abul Hasan al-Abbadi adalah salah seorang ulama Syafi'iyyah yang berpendapat demikian.

Imam Nawawi menyebutkan hal itu dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab (8/406) sebagaimana berikut ini:

(وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَ نَّهَا ضَرْبٌ مِنَ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنِ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

 Adapun berkuban atas nama orang yang telah meninggal dunia, maka Imam Abul Hasan al-Abbadi membolehkannya secara mutlak, karena yang demikian itu termasuk sedekah. Sementara sedekah atas nama mayit adalah sah dan manfaatnya sampai kepadanya berdasarkan ijma'.

Imam al-Rafi'i juga termasuk yang membolehkan berkurban atas nama orang yang sudah meninggal dunia meskipun tanpa adanya wasiat. Dalam kitab Hasyiyyah 'Umairah (6/256) disebutkan:

وَقَالَ الرَّافِعِيُّ : فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لِأَ نَّهَا ضَرْبٌ مِنَ الصَّدَقَةِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ السَّرَّاجِ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ خَتَمَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافِ خَتْمَةٍ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ

Imam al-Rafi'i berkata: Seharusnya berkurban atas nama mayit itu berhasil baginya meskipun tidak ada wasiat, karena hal itu termasuk bagian dari sedekah. Disebutkan dari Abu al-Abbas al-Sarraj, yakni guru Imam Bukhari, bahwasanya ia mengkhatamkan al-Qur'an bagi Rasulullah Saw lebih dari sepuluh ribu kali dan berkurban atas nama beliau Saw sebanyak itu pula.

Pandangan Imam Abul Hasan al-Abbadi dan Imam al-Rafi'i ini meskipun bukan merupakan pendapat mayoritas ulama Syafi'iyyah, namun sejalan dengan pendapat dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Dalam kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (5/106-107) dijelaskan:

أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ


Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia itu) belum pernah berwasiat tentang masalah kurban ini, lalu ada ahli warisnya atau orang lain yang mau berkurban atas namanya (yakni si mayit) dengan menggunakan hartanya sendiri, maka madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali membolehkannya. Hanya saja dalam madzhab Maliki kebolehan itu disertai makruh. Sedangkan alasan mereka membolehkannnya adalah karena kematian tidaklah menjadi penghalang bagi mayit untuk taqarrub kepada Allah sebagaimana halnya sedekah dan haji.

Demikian penjelasan terkait masalah ini. Semoga bermanfaat.
  
Read More
      edit