Pertanyaan:
Apa hukum berdzikir kepada Allah dengan kumpulan wirid dan hizib, serta
seorang Muslim yang mewajibkan dirinya dengan wiridan tertentu?
Jawab:
Wirid atau Hizib adalah kumpulan dzikir yang Ma'tsur (diajarkan
Rasulullah Saw) ataupun tidak yang diwajibkan seseorang bagi dirinya
serta dilaksanakan secara kontinu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dzikir merupakan ibadah sunnah yang dilakukan Muslim dan tidak
diwajibkan Allah.
Syaikh Zakariya al-Anshari berkata, "Ibadah Tathawwu' ialah
ibadah yang tidak terdapat dalil secara khusus tentangnya melainkan
disusun seseorang dari wirid-wirid atas pilihannya sendiri". (Syaikh
Zakariya al-Anshari, al-Ghurur al-Bahiyyah, juz 1hlm. 387)
Ibn Hajar al-Haitami berkata, "Penjagaan seseorang terhadap
wirid-wiridnya berupa shalat, membaca al-Qur'an, dzikir-dzikir, dan
doa-doa pagi dan sore serta tengah malam, dan lain sebagainya adalah
amalan Rasulullah Saw dan orang-orang shalih dari dulu sampai sekarang.
Amalan yang Rasulullah Saw ajarkan untuk dilakukan dengan berkumpul
seperti shalat Maktubah, maka beliau lakukan demikian. Begitu juga
amalan yang Rasulullah Saw ajarkan untuk dilakukan sendiri, maka beliau
juga lakukan demikian. Seperti halnya dahulu para shahabat terkadang
membuat majelis lalu memerintahkan salah satu dari mereka membaca
al-Qur'an dan yang lain mendengarkannya. 'Umar bin Khaththab berkata,
"Wahai Abu Musa. Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami". Lalu Abu Musa
membaca al-Qur'an dan para shahabat mendengarkan". (Ibn Hajar
al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2 hlm. 385)
Cerita para ulama mengenai wirid-wirid seakan sudah Muttafaq 'alaih (disepakati).
Mereka membacanya di tengah perkataan mereka tanpa mengingatkan tentang
hukumnya atau perkhilafan tentangnya. Di antaranya perkataan Ibn
Nujaim, "Al-Halwani menyebutkan bahwa tidak apa-apa membaca wirid antara
shalat fardhu dan sunnah". (Ibn Nujaim, al-Bahr al-Ra'iq, juz 2 hlm. 52)
Para ulama mengingatkan faidah mewajibkan diri dengan wirid-wirid
tersebut dan kebutuhan orang-orang yang menetapinya. Al-Nawawi berkata,
"Hendaknya bagi orang yang memiliki aktivitas berdzikir di malam atau
siang hari, setelah shalat, atau di waktu lainnya sewaktu ia tidak bisa
melakukannya agar mengqadhainya di waktu lain dan melakukannya selagi
bisa serta tidak menundanya. Karena jika seseorang terbiasa berdzikir
maka ia tidak akan membiarkan tidak terlaksana, dan jika ia menganggap
enteng dalam mengqadhainya maka ia akan mudah menyia-nyiakan pada
waktunya."
Al-Syaukani berkata, "Para shahabat mengqadhai dzikir di waktu khusus
yang mereka tinggalkan". Ibnu 'Alan berkata, "Yang dimaksud dengan Ahwal
adalah dzikir-dzikir yang berhubungan dengan waktu, bukan berhubungan
dengan sebab seperti dzikir ketika mlihat hilal, mendengar halilintar,
dan lain-lain. Hal ini tidak disunnahkan mengulangi ketika penyebabnya
hilang. Barangsiapa meninggalkan wirid setelah membiasakannya, maka
hukumnya makruh". (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 21 hlm. 257-258, indeks (dzal): dzakara)
Ibn al-Hajj berkata, "Seyogyanya bagi murid tasawuf mengatur jadwal
waktunya dengan amalan wirid tertentu, tidak hanya cukup dengan wirid
yang sudah ada seperti shalat dan puasa. Semua aktivitas pelaku suluk
merupakan wirid". Ulama salaf ketika menjawab seorang yang meminta
berkumpul dengan salah satu saudaranya yang sedang tidur berkata, "Dia
sedang wirid tidur". Maka tidur dan sejenisnya termasuk wirid yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dengan demikian,
maka waktu tidur harus ditentukan sebagaimana waktunya berdzikir pada
malam hari, berkumpul dengan sanak saudara, dan berbincang bersama
keluarga dan orang khusus juga harus ditentukan dan menjadi wiridnya.
Semua waktunya harus dihabiskan untuk taat kepada Allah Ta'ala.
Dia tidak melakukan aktivitas yang diperbolehkan atau disunnahkan
kecuali diniati ibadah kepada Allah. Inilah hakikat wirid yakni
beribadah kepada Allah. Hal ini dilakukan secara konsisten, berusaha
selalu sehat dan bebas dari berbagai halangan atau hal yang menjadi
sebab meninggalkan sebagian darinya". (al-'Abdari Ibn al-Hajj, al-Madkhal, juz 3 hlm. 179-180)
Dari keterangan di atas kami beranggapan bahwa mewajibkan diri dengan
wirid dan hizib termasuk dzikir kepada Allah dan menjadi salah satu
perantara seorang Muslim untuk selalu mengingat Allah. Amalan ini
merupakan tindak laku ulama salafusshalih dan dihukumi sunnah, karena hukum perantara sama dengan hukum perkara yang dituju. Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam.
Sumber: al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum'ah
0 comments:
Post a Comment