Wednesday, June 3, 2020

Published June 03, 2020 by with 0 comment

Hukum Berdzikir dengan Wirid dan Hizib

Pertanyaan:
Apa hukum berdzikir kepada Allah dengan kumpulan wirid dan hizib, serta seorang Muslim yang mewajibkan dirinya dengan wiridan tertentu?

Jawab:
Wirid atau Hizib adalah kumpulan dzikir yang Ma'tsur (diajarkan Rasulullah Saw) ataupun tidak yang diwajibkan seseorang bagi dirinya serta dilaksanakan secara kontinu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dzikir merupakan ibadah sunnah yang dilakukan Muslim dan tidak diwajibkan Allah.

Syaikh Zakariya al-Anshari berkata, "Ibadah Tathawwu' ialah ibadah yang tidak terdapat dalil secara khusus tentangnya melainkan disusun seseorang dari wirid-wirid atas pilihannya sendiri". (Syaikh Zakariya al-Anshari, al-Ghurur al-Bahiyyah, juz 1hlm. 387)
 
Ibn Hajar al-Haitami berkata, "Penjagaan seseorang terhadap wirid-wiridnya berupa shalat, membaca al-Qur'an, dzikir-dzikir, dan doa-doa pagi dan sore serta tengah malam, dan lain sebagainya adalah amalan Rasulullah Saw dan orang-orang shalih dari dulu sampai sekarang. Amalan yang Rasulullah Saw ajarkan untuk dilakukan dengan berkumpul seperti shalat Maktubah, maka beliau lakukan demikian. Begitu juga amalan yang Rasulullah Saw ajarkan untuk dilakukan sendiri, maka beliau juga lakukan demikian. Seperti halnya dahulu para shahabat terkadang membuat majelis lalu memerintahkan salah satu dari mereka membaca al-Qur'an dan yang lain mendengarkannya. 'Umar bin Khaththab berkata, "Wahai Abu Musa. Ingatkanlah kami kepada Tuhan kami". Lalu Abu Musa membaca al-Qur'an dan para shahabat mendengarkan". (Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2 hlm. 385)
 
Cerita para ulama mengenai wirid-wirid seakan sudah Muttafaq 'alaih (disepakati). Mereka membacanya di tengah perkataan mereka tanpa mengingatkan tentang hukumnya atau perkhilafan tentangnya. Di antaranya perkataan Ibn Nujaim, "Al-Halwani menyebutkan bahwa tidak apa-apa membaca wirid antara shalat fardhu dan sunnah". (Ibn Nujaim, al-Bahr al-Ra'iq, juz 2 hlm. 52)
 
Para ulama mengingatkan faidah mewajibkan diri dengan wirid-wirid tersebut dan kebutuhan orang-orang yang menetapinya. Al-Nawawi berkata, "Hendaknya bagi orang yang memiliki aktivitas berdzikir di malam atau siang hari, setelah shalat, atau di waktu lainnya sewaktu ia tidak bisa melakukannya agar mengqadhainya di waktu lain dan melakukannya selagi bisa serta tidak menundanya. Karena jika seseorang terbiasa berdzikir maka ia tidak akan membiarkan tidak terlaksana, dan jika ia menganggap enteng dalam mengqadhainya maka ia akan mudah menyia-nyiakan pada waktunya."
 
Al-Syaukani berkata, "Para shahabat mengqadhai dzikir di waktu khusus yang mereka tinggalkan". Ibnu 'Alan berkata, "Yang dimaksud dengan Ahwal adalah dzikir-dzikir yang berhubungan dengan waktu, bukan berhubungan dengan sebab seperti dzikir ketika mlihat hilal, mendengar halilintar, dan lain-lain. Hal ini tidak disunnahkan mengulangi ketika penyebabnya hilang. Barangsiapa meninggalkan wirid setelah membiasakannya, maka hukumnya makruh". (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 21 hlm. 257-258, indeks (dzal): dzakara)

Ibn al-Hajj berkata, "Seyogyanya bagi murid tasawuf mengatur jadwal waktunya dengan amalan wirid tertentu, tidak hanya cukup dengan wirid yang sudah ada seperti shalat dan puasa. Semua aktivitas pelaku suluk merupakan wirid". Ulama salaf ketika menjawab seorang yang meminta berkumpul dengan salah satu saudaranya yang sedang tidur berkata, "Dia sedang wirid tidur". Maka tidur dan sejenisnya termasuk wirid yang dapat mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dengan demikian, maka waktu tidur harus ditentukan sebagaimana waktunya berdzikir pada malam hari, berkumpul dengan sanak saudara, dan berbincang bersama keluarga dan orang khusus juga harus ditentukan dan menjadi wiridnya. Semua waktunya harus dihabiskan untuk taat kepada Allah Ta'ala. Dia tidak melakukan aktivitas yang diperbolehkan atau disunnahkan kecuali diniati ibadah kepada Allah. Inilah hakikat wirid yakni beribadah kepada Allah. Hal ini dilakukan secara konsisten, berusaha selalu sehat dan bebas dari berbagai halangan atau hal yang menjadi sebab meninggalkan sebagian darinya". (al-'Abdari Ibn al-Hajj, al-Madkhal, juz 3 hlm. 179-180)

Dari keterangan di atas kami beranggapan bahwa mewajibkan diri dengan wirid dan hizib termasuk dzikir kepada Allah dan menjadi salah satu perantara seorang Muslim untuk selalu mengingat Allah. Amalan ini merupakan tindak laku ulama salafusshalih dan dihukumi sunnah, karena hukum perantara sama dengan hukum perkara yang dituju. Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam.

Sumber: al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan karya Syaikh Ali Jum'ah
      edit

0 comments:

Post a Comment