A. Sejarah
Berdirinya Aliran Wahabi
Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian
Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi
(1115- 1206 H / 1703-1792 M) dari Najd, semenanjung
Arabia. Istilah Wahabi telah dikenal semasa Ibn Abdul Wahab hidup, tapi bukan
atas inisiatif dirinya melainkan berasal dari lawan-lawannya. Ini berarti, istilah
Wahabi merupakan bagian dari rangkaian stigma terhadap gerakannya.
Menurut Hanafi (2003/198), Muhammad bin Abdul
Wahab merupakan seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang
mengetuai gerakan salafiah. Wahabi dianggap sebagai ultra-konservatif
berbanding salafi. Ia dianggap sebagai gerakan pembaharuan, bukan suatu mazhab. Muhammad bin Abdul Wahab sangat
dipengaruhi oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiah. Selama beberapa bulan beliau
merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya.
Meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya, antara lain dari kalangan
keluarganya sendiri, namun ia mendapat pengikut yang banyak.
Wahabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan
abad 18 di Dir’iyyah, sebuah dusun
terpencil di jazirah Arab, di
daerah Najd. Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn
Abdul Wahab (1703-
1787). Laki-laki ini lahir di Najd, di sebuah dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul Wahab adalah seorang muballigh yang
fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada waktu
bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak.[1]
Kaum Wahabi mengklaim sebagai muslim yang
berkiblat pada ajaran Islam yang pure, murni. Mereka sering juga menamakan
diri sebagai muwahiddun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan
keesaan Allah (tauhid). Tetapi mereka juga menyatakan bahwa mereka bukanlah
sebuah mazhab atau kelompok aliran Islam baru, tetapi hanya mengikuti seruan
(dakwah) untuk mengimplementasikan ajaran Islam yang (paling) benar.
Menurut Hamid, munculnya gerakan Wahabi tidak
bisa dipisahkan dari gerakan politik, perilaku keagamaan, pemikiran dan sosial ekonomi
umat Islam. Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di
lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab
bin Sulaiman adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Muhammad
bin Abdul Wahab memang
dikenal orang yang haus ilmu. Ia berguru pada Syeikh Abdullah bin Ibrahim an-N
ajdi, Syeikh Efendi ad Daghastany, Seyikh Ismail
al-Ajlawy, Syeikh Abdul Lathif
al-‘Afalaqi dan Syeikh
Muhammad al-‘Afalaqi. Di antara
mereka yang paling lama menjadi gurunya adalah
Muhammad Hayat Sindhi dan
Syeikh Abdullah al-Najdi. Tidak puas
dengan itu ia pergi ke Syiria untuk
belajar sambil berdagang.
Di sana ia menemukan
buku-buku karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang sangat ia idolakan. Akhirnya ia
semakin jauh terpengaruh terhadap dua aliran reformis itu. Tak lama kemudian ia
pergi ke Basrah dan berguru pada Syeikh Muhammad al-Majmu’iyah. Di
kota ini ia menghabiskan waktu mencari ilmu
selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak masyarakat karena pandangannya
dirasa meresahkan dan bertentangan dengan pandangan umum yang berlaku di
masyarakat setempat.
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab diusir dari
tempat tersebut dan menuju ke sebuah tempat
yang bernama Najd. Di situlah Abdul Wahab bertemu dengan Abdul Aziz al-Sa’ud yang
sedang memerintah Dir’iyyah. Ia pun mendapat
angin segar, karena Abdul Aziz al-Sa’ud menaungi
kehidupannya dan menjadi
pelindungnya.
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya.
Wahabisme-lah yang telah menciptakan Kerajaan Saudi,
dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi
ke seluruh penjuru dunia.
B. Paham serta Ajaran
Aliran Wahabi
Sebelum Muhammad bin Abdul
Wahab muncul, keadaan kaum muslimin di jazirah Arab sangat memprihatinkan. Baik
dalam segi akidah maupun peribadatan, sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam
yang sebenarnya, bahkan kembali kepada karakter jahiliyah. Setelah Muhammad bin Abdul Wahab hadir di kalangan
tersebut, ia mengamati
keadaan dan berkeinginan untuk mengubah keadaan
tersebut kembali ke Islam murni.
Menurut Nasir (2010/292), akidah-akidah
pokok dari aliran Wahabi pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Perbedaan yang ada hanya dalam cara
melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahnya
dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang
bid’ah.[2]
Gerakan Wahabi dimotori
oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim.
Mereka
menebarkan kebencian, permusuhan, dan didukung
oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak
sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah
ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan.
Mereka tak
pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri.
Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para
Wali Songo yang menyebarkan dan mengislamkan
penduduk negeri ini.
Secara umum tujuan gerakan
Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk tahayul, bid’ah, khurafat dan
bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang
dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ada beberapa
yang didoktrinkan atau diajarkan dalam praktik gerakan ini.
Menurut penuturan al-Maghfurlah KH. Siradjuddin
Abbas, praktik dan ajaran Wahabi di Makkah
dan Madinah antara lain adalah:
- Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang melakukannya harus menerima hukuman mati atau dibunuh.
- Orang yang berusaha memperoleh kasih Tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan orang-orang suci (para nabi dan aulia Allah) bukanlah orang orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
- Tidak boleh mendengarkan radio dan sejenisnya.
- Tidak boleh melagukan kasidah dan melagukan bacaan al-Qur’an.
- Tidak boleh membaca kitab-kitab shalawat, seperti Dala’il Khairat, Burdah, Diba’, karena di dalamnya banyak memuji Nabi Muhammad SAW.
- Tidak boleh mempelajari sifat wajib dan mustahil bagi Allah, sebagaimana dalam kitab Kifayatul ‘Awam dan sebagainya.
- Kubah-kubah di atas kuburan para sahabat nabi, yang berada di Ma’la (Makkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah), semuanya diruntuhkan. Namun untuk kubah hijau yang disebut qubbatul khadra’ makam Nabi Muhammad SAW tidak diruntuhkan karena terlalu banyak protes dari kaum muslim dunia.
- Kubah besar di atas tanah tempat di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan juga diruntuhkan, bahkan dijadikan tempat unta. Namun atas desakan umat Islam seluruh dunia, akhirnya tempat kelahiran Nabi dibangun gedung perpustakaan.
- Perayaan maulid nabi di bulan Rabiul Awal dilarang karena termasuk bid’ah.
- Perayaan Isra’ Mi’raj juga dilarang keras.
- Pergi untuk ziarah ke makam Nabi dilarang. Yang dibolehkan hanya melakukan shalat di Masjid Nabawi di Madinah. Berdoa menghadap makam Nabi juga dilarang.
- Berdoa dengan tawassul dilarang.
- Ada usaha hendak memindahkan batu makam Nabi Ibrahim di depan Ka’bah dan Telaga Zamzam ke belakang kira-kira 20 mater. Bahkan sempat penggalian sudah dilakukan.
- Amalan-amalan thariqah dilarang keras, seperti Thariqah Naqsabandi, Qadiri, Shathari dan lain-lain.
- Membaca zikir tahlil bersama-sama sesudah shalat dilarang. Demikian halnya dengan membaca doa qunut dalam shalat subuh, namun shalat tarawihnya 20 rakaat.
- Dilarang ziarah ke makam atau kuburan para wali Allah.
- Membaca manaqib seorang yang berjasa di bidang spiritual dan menegakkan kebenaran akhlak dan tauhid kepada Allah, seperti manaqib Syeikh abdul Qadir al-Jilani, dilarang.
C. Ciri Khas Ulama Wahabi
a. Kata kunci dan tema
sentral dari fatwa para ulama Wahabi berkisar pada bid'ah, syirik, kufur, syiah
rafidhah kepada kelompok Islam atau Muslim lain yang tidak searah dengan
mereka. Kita akan
sering menemukan salah satu dari empat kata itu dalam
setiap fatwa mereka.
b. Dalam memberi
fatwa, ulama Wahabi akan
langsung berijtihad sendiri dengan mengutip ayat dan hadits yang mendukung.
Atau, kalau pun mengutip fatwa
ulama, mereka akan cenderung mengutip fatwa dari Ibnu Taimiyah atau Ibnul
Qayyim. Selanjutnya, mereka akan membuat fatwa sendiri yang kemudian akan
menjadi dalil para pengikut Wahabi. Dengan kata lain, pengikut Wahabi
hanya mau bertaklid buta pada ulama Wahabi.
c. Kalangan ulama atau
tokoh Wahabi tidak suka atau sangat jarang mengutip pendapat ulama salaf
seperti ulama mazhab yang empat dan yang lain, kecuali mazhab Hanbali yang
merupakan tempat rujukan asal mereka dalam bidang fiqih walaupun tidak mereka
akui secara jelas. Hanya pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim saja yang
sering dikutip untuk pendapat ulama yang berada di atas Muhammad bin Abdul
Wahhab, terutama dalam bidang aqidah.
d. Di mata ulama
Wahabi, perayaan
keislaman yang boleh dilakukan hanyalah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan
perayaan yang lain seperti Maulid Nabi
Muhammad, peringatan Isra' Mi'raj dan perayaan tahun baru Islam dianggap haram
dan bid'ah.
e. Gerakan atau
organisasi Islam yang di luar Wahabi atau yang tidak segaris dengan manhaj Wahabi
akan mendapat label syirik, kufur atau bid’ah.
f. Semua lulusan Universitas Arab
Saudi dan afiliasinya adalah kader Wahabi, sampai terbukti
sebaliknya.
g. Pengikut (aktivis)
Wahabi tidak mau taklid (mengikuti pendapat) ulama Salaf (klasik) dan khalaf
(kontemporer). Tapi dengan senang hati taklid kepada pendapat dan fatwa
ulama-ulama Wahabi atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah
ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta' dan juga ulama yang menjadi anggota Hai'ah
Kibaril Ulama.
h. Pengikut (aktivis)
sangat menghormati ulama-ulama mereka dan selalu menyebut para ulama Wahabi
dengan awalan Syeikh dan kadang diakhiri dengan rahimahullah atau hafidzahullah.
Tapi, menyebut
ulama-ulama lain cukup dengan memanggil namanya saja.
i. Ulama Wahabi utama
(kecuali Nashiruddin al-Albani yang asli
Albania) mayoritas berasal dari Arab Saudi dan bertempat tinggal di Arab Saudi.
Oleh karena itu, mereka umumnya memakai baju tradisional khas Arab Saudi, yaitu gamis (jubah) warna putih, surban merah, surban putih, maslah yaitu
jubah luar tanpa kancing warna hitam atau coklat yang biasa dipakai raja.
D. Tokoh Ulama
Wahabi
Tokoh ulama
Wahabi pada level pertama, pendapatnya aka menjadi rujukan para ulama Wahabi yang berada di level
kedua dan seterusnya ke bawah.
1. Muhammad bin
Abdul Wahhab (1115 H - 1206 H/1701 - 1793 M).
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
·
Pendiri dan pelopor gerakan Wahabi/Salafi
·
Mufti Kerajaan Arab Saudi
2. Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz (1330 H - 1420 H / 1910 M - 1999 M).
Jabatan penting di
Kerajaan Arab Saudi:
·
Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H
·
Rektor Universitas Islam Madinah tahun 1390 H - 1395 H
·
Mufti Umum Kerajaan tahun 1414 H
3. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
(1347 H - 1421 H).
Al-Utsaimin adalah
pakar fiqihnya kalangan Wahabi. Banyak persoalan hukum baru yang difatwakan
olehnya. Seperti haramnya mengucapkan selamat natal dan lain-lain.
Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi:
·
Imam Masjid Jami’ al Kabir
Unaizaih
·
Mengajar di Perpustakaan Nasional Unaizah
·
Dosen Fakultas Syariah dan Fakultas Ushuluddin
cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Qasim
4. Muhammad Nashiruddin al-Albani (1333
H - 1420 H/1914 M - 1999 M).
Jabatan penting di Kerajaan Arab
Saudi:
·
Dosen Hadits Universitas Islam Madinah tahun 1381 - 1383 H
5. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah al-Fauzan (1345 H - ).
Jabatan penting di
Kerajaan Arab Saudi:
·
Dosen Institut Pendidikan Riyad
·
Dosen Fakultas Syari'ah, Fakultas Ushuluddin, Mahkamah Syariah
·
Anggota Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta' (Komite Tetap Riset
Ilmiah dan Fatwa)
6. Abdullah bin
Abdurrahman bin Jibrin (1353 - 1430 H).
Jabatan penting di
Kerajaan Arab Saudi:
·
Asisten Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
·
Anggota Tetap Majlis Riset dan Fatwa Arab Saudi
·
Dosen Syariah dan Ushuluddin di Arab Saudi
[1] Ahmad,Hanafi. Pengantar Teologi Islam,
cet. III, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
[2] Nasir,
Sahilun, Pemikiran Kalam Teologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
0 comments:
Post a Comment