Kesadaran umat Islam untuk menjalankan
kewajiban agamanya dewasa ini dirasakan semakin meningkat. Hal ini antara lain
ditandai dengan syiar agama yang kian semarak dan membludaknya masjid-masjid dalam
shalat Jum’at. Penyelenggaraan shalat Jum’at tidak hanya di pemukiman, tapi
juga di perkantoran, pertokoan dan kawasan industri. Namun hal ini belum
sepenuhnya diimbangi oleh penyediaan sarana dan prasarana ibadah yang cukup
memadai, serta masih terdapatnya faktor-faktor kondisional yang menyebabkan
tidak terpenuhinya hasrat untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya.
Para karyawan pabrik kaca, misalnya, tidak
dapat secara bersama-sama melaksanakan shalat Jum’at karena ada proses yang
tidak dapat ditinggal sama sekali. Ada pula pertokoan yang tetap buka saat
shalat Jum’at, sehingga tidak memungkinkan pramuniaga prianya secara serentak
meninggalkan tugasnya. Hal ini bisa diatasi dengan menyelenggarakan shalat
Jum’at secara bergantian, bertahap, atau shalat Jum’at dalam dua shift (angkatan).
Pertanyaan:
Bolehkah menyelenggarakan shalat Jum’at kedua
dan seterusnya oleh orang-orang yang bekerja di tempat yang tidak mungkin
ditinggalkan sama sekali pada hari Jum’at itu karena menjaga produksi dari
kerusakan.
Jawab:
Ta’addud Jum’at berbeda dengan Jum’atan dua shift/angkatan atau lebih (insya al-
jum’ah ba’da al-jum’ah). Ta’addud Jum’at ialah
berbilangnya penyelenggaraan jamaah Jum’at dalam satu masa di suatu tempat, dan
hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana keputusan Muktamar NU
di Situbondo, Nopember 1984, dalam masalah nomor 359. Adapun Jum’atan dua shift/angkatan atau
lebih (insya al- jum’ah ba’da al-jum’ah) yang artinya penyelenggaraan shalat Jum’at
lebih dari satu di suatu tempat, maka hukumnya tidak sah.
Jalan Keluar:
- Karyawan seperti itu wajib berikhtiar seoptimal mungkin agar dapat menunaikan shalat Jum’at shift pertama.
- Sebaiknya ditugaskan kepada karyawati untuk menjaga produksi agar karyawan dapat menunaikan shalat Jum’at.
- Dalam hal ikhtiar tersebut bila tidak berhasil maka kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur dan wajib menunaikan shalat Zhuhur dan dianjurkan berjamaah. Jika ada udzur syar’i di dalam meninggalkan shalat Jum’at demikian ini dengan mengganti shalat Zhuhur hukumnya tidak berdosa. Tetapi jika tidak ada udzur syar’i, hukumnya berdosa.
Rekomendasi :
Kepada Pemerintah dan para produsen/pengusaha
agar memberikan jaminan kebebasan kepada para karyawan untuk menjalankan
agamanya, dan melaksanakan shalat Jum’at.
Keterangan, dari kitab:
1. Al-Minhaj al-Qawim[1]
أَمَّا
غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فَلاَ يَجُوْزُ اسْتِخْلاَفُهُ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ إِنْشَاءَ
جُمْعَةٍ بَعْدَ أُخْرَى وَهُوَ مُمْتَنِعٌ
Adapun selain makmum, maka tidak boleh mengganti imam shalat Jum’at (ketika
si imam hadats di tengah-tengah shalat), karena serupa dengan membentuk shalat
Jum’at setelah shalat Jum’at yang lain (dalam satu masa secara serentak di
tempat yang sama). Dan hal
tersebut tidak tidak diperbolehkan.
2. Tanwir
al-Qulub[2]
...حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ
لَمْ يُقِمْهَا إِلاَّ فِيْ مَسْجِدِهِ وَلَمْ
يُرَخِّصْ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَعَ فَرَطِ حُبِّهِ لِلتَّيْسِيْرِ عَلَى
أُمَّتِهِ فِيْ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّيَ بِمَنْ
يَتَيَسَّرُ لَهُ الْحُضُوْرُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِيْ أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ
جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِيْ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَطِيْعُ
أَنْ يَحْضُرُوْا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَانَ
...sehingga jika sudah datang hari Jum’at, maka beliau Saw tidak
melaksanakan salat Jum’at kecuali di masjidnya Saw, dan beliau Saw meskipun
sangat ingin memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberi dispensasi untuk
mendirikan shalat Jum’at di banyak masjid, atau shalat bersama orang yang bisa
datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat Jum’at kedua, ketiga dan
seterusnya bagi mereka yang tidak bisa datang (di awal waktu). Padahal cara itu lebih mudah bagi mereka
seandainya memang diperkenankan.
3. Hasyiyah
al-Syarwani[3]
وَأَمَّا
مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ إِحْضَارِ الْخُبْزِ لِمَنْ يُخْبِزُهُ
وَيُعْطِيْ مَا جَرَتْ لَهُ الْعَادَةُ مِنَ اْلأُجْرَةِ فَلَيْسَ اشْتِغَالُهُ
بِالْخُبْزِ عُذْرًا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُوْرُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ أَدَّى
إِلَى تَلَفِهِ مَا لَمْ يُكْرِهْهُ صَاحِبُ الْخُبْزِ عَلَى عَدَمِ الْحُضُوْرِ
فَلاَ يَعْصِ
Adapun kebiasaan yang berlaku, yaitu menghidangkan roti bagi bagi orang
yang menyuruhnya membuat roti dan memberikan upah seperti biasanya, maka
kesibukannya dengan roti itu tidak menjadi udzur (meninggalkan shalat Jum’at),
namun ia wajib mengikuti shalat Jum’at walaupun dapat menyebabkan kerusakan
roti itu selama pemilik roti tidak memaksanya untuk tidak mengikuti. Maka dalam hal ini ia tidak berdosa.
4. Al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah[4]
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا مَنْ فَاتَهُ صَلاَةُ
الْجُمْعَةِ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِهِ سُنَّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ فِيْ
جَمَاعَةٍ
Para ulama Syafi’i
berpendapat, barangsiapa yang ketinggalan shalat Jum’at karena sesuatu udzur
atau lainnya, maka disunatkan untuk shalat Zhuhur berjamaah.
Sumber: Ahkamul Fuqaha No. 407 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA
NAHDLATUL ULAMA TENTANG MASAIL DINIYAH WAQI’IYYAH 16-20 Rajab 1418 H/17-20
Nopember 1997 M Di Ponpes QOMARUL HUDA Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa
Tenggara Barat.
[1] Ibn
Hajar al-Haitami, Minhaj al-Qawim pada al-Hawasyi al-Madaniyah,
(Mesir: Musthafa al-Halabi, 1340 H), Juz II, h. 50.
[2]
Muhammad Ain al-Irbili, Tanwir
al-Qulub, (Surabaya: Syirkah Bugkul Indah, t. th.), h. 189.
[3] Abdul
Hamid al-Syirwani, Hawasyi al-Syirwani pada Hawasyai al-Syirwani wa
al-‘Abbadi, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid II, h. 406.
0 comments:
Post a Comment