Tuesday, July 14, 2020

Published July 14, 2020 by with 0 comment

Waktu-waktu Terlarang untuk Shalat

Di dalam kitab Safinah an-Naja Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami berkata:
 
(فصل) تحرم الصلاة التي ليس لها سبب متقدم ولا مقارن في خمسة أوقات: عند طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح، وعند الإستواء في غير يوم الجمعة حتى تزول، وعند الإصفرار حتى تغرب، وبعد صلاة الصبح تطلع الشمس، و بعد صلاة العصر حتى تغرب
 
(Fasal) Diharamkan melakukan shalat yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang menyertai pada lima waktu: (1) ketika terbit matahari hingga meninggi seukuran satu tombak; (2) ketika waktu istiwa’ di selain hari Jumat hingga matahari tergelincir; (3) ketika –matahari— menguning hingga terbenam; (4) setelah shalat Subuh hingga matahari terbit; dan (5) setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.
 
Keterangan:[1]
Kalimat: [Diharamkan melakukan shalat yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang menyertai]. Hal ini berlaku di selain tanah haram Mekah. Jika pada waktu-waktu terlarang itu ada yang melaksanakan shalat sebagaimana yang dimaksud, maka shalatnya tidak sah, namun hal itu tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Adapun shalat yang terlarang dilakukan pada lima waktu itu adalah shalat yang tidak memiliki sebab sama sekali, seperti shalat sunnah mutlak; atau shalat yang memiliki sebab yang terjadi setelah shalatnya dilakukan, seperti shalat sunnah safar, dan lainnya.
 
Kalimat: [(1) ketika terbit matahari hingga meninggi seukuran satu tombak]. Yang dimaksud adalah sejak permulaan terbit matahari hingga meninggi seukuran satu tombak. Ini adalah waktu terlarang. Namun jika matahari sudah naik setinggi satu tombak, maka sah pelaksanaan shalat secara mutlak. Yang dimaksud ukuran satu tombak adalah 7 dzira’ menurut pandangan mata secara langsung. Dalam kitab al-Fiqh al-Muyassar dan juga kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh disebutkan,  jika dikonversi ke waktu, maka satu tumbak itu kira-kira selama 1/4 hingga 1/3 jam atau 15-20 menit (sejak matahari terbit).
 
Kalimat: [(2) ketika waktu istiwa’ di selain hari Jumat hingga matahari tergelincir]. Waktu istiwa’ ini sangatlah sebentar. Hampir-hampir kita tidak mengetahuinya hingga kemudian matahari itu tergelincir. Keharaman melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jumat. Artinya, shalat yang dilakukan pada hari Jumat dan bertepatan dengan waktu istiwa’ diperbolehkan dan sah shalatnya.
 
Kalimat: [(3) ketika –matahari— menguning hingga terbenam]. Syaikh al-Hasan al-Baghawi di dalam kitab al-Mashabih menyebutkan bahwa Sayidina Uqbah bin Amir berkata:
 
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
 
“Ada tiga waktu di mana Rasulullah Saw melarang kita shalat dan mengubur jenazah di dalamnya: ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu tengah hari) sampai matahari condong, dan ketika matahari condong menuju terbenam hingga terbenam.” (HR Muslim).
 
Kalimat: [(4) setelah shalat Subuh hingga matahari terbit]. Keharaman shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara adâ-an atau pada waktunya. Misalnya, anggaplah waktu shalat Subuh dimulai dari pukul 4 pagi, dan pada pukul 5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu Subuh. Ketika seseorang melakukan shalat Subuh pada pukul  4.15 menit umpamanya, maka setelah selesai shalat Subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunnah hingga terbitnya matahari, bahkan hingga matahari meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari sampai dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu pukul 4 sampai pukul 5 pagi selagi ia belum melakukan shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun. 
 
Adapun bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara qadhâ-an pada waktu shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat lain setelahnya. Umpamanya seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan belum melakukan shalat Subuh, lalu mengqadhanya pada waktu Subuh hari ini. Maka setelah ia melakukan shalat Subuh qadha tersebut ia tidak dilarang melakukan shalat lainnya.
 
Kalimat: [(5) setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam]. Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat Subuh, juga diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat Ashar secara adâ-an atau pada waktunya. Seperti contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu shalat Ashar melakukan shalat Ashar qadha sebagai pengganti shalat Ashar yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat lainnya. Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat Ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari. 
 
Rasulullah Saw bersabda:
 
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
 
“Tak ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR Imam Bukhari).
 
 
والله أعلم بالصواب

[1] Diringkas dari kitab Kasyifah as-Saja fi Syarh Safinah an-Naja karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani.
      edit

0 comments:

Post a Comment