Di dalam kitab Safinah an-Naja Syaikh Salim bin
Sumair al-Hadhrami berkata:
(فصل) تحرم الصلاة التي ليس لها سبب متقدم ولا مقارن في خمسة أوقات:
عند طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح، وعند الإستواء في غير يوم الجمعة حتى تزول، وعند
الإصفرار حتى تغرب، وبعد صلاة الصبح تطلع الشمس، و بعد صلاة العصر حتى تغرب
(Fasal) Diharamkan melakukan shalat
yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang
menyertai pada lima waktu: (1) ketika terbit matahari hingga meninggi seukuran
satu tombak; (2) ketika waktu istiwa’ di selain hari Jumat hingga
matahari tergelincir; (3) ketika –matahari— menguning hingga terbenam; (4)
setelah shalat Subuh hingga matahari terbit; dan (5) setelah shalat Ashar
hingga matahari terbenam.
Keterangan:[1]
Kalimat: [Diharamkan melakukan shalat yang tidak memiliki sebab yang
mendahului dan tidak memiliki sebab yang menyertai]. Hal ini berlaku di
selain tanah haram Mekah. Jika pada waktu-waktu terlarang itu ada yang
melaksanakan shalat sebagaimana yang dimaksud, maka shalatnya tidak sah, namun
hal itu tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Adapun shalat yang terlarang
dilakukan pada lima waktu itu adalah shalat yang tidak memiliki sebab sama
sekali, seperti shalat sunnah mutlak; atau shalat yang memiliki sebab yang
terjadi setelah shalatnya dilakukan, seperti shalat sunnah safar, dan lainnya.
Kalimat: [(1) ketika terbit matahari hingga meninggi seukuran satu
tombak]. Yang dimaksud adalah sejak permulaan terbit matahari hingga
meninggi seukuran satu tombak. Ini adalah waktu terlarang. Namun jika matahari
sudah naik setinggi satu tombak, maka sah pelaksanaan shalat secara mutlak.
Yang dimaksud ukuran satu tombak adalah 7 dzira’ menurut pandangan mata
secara langsung. Dalam kitab al-Fiqh al-Muyassar dan juga kitab
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh disebutkan, jika dikonversi ke waktu, maka satu tumbak itu
kira-kira selama 1/4 hingga 1/3 jam atau 15-20 menit (sejak matahari terbit).
Kalimat: [(2) ketika waktu istiwa’ di selain hari Jumat
hingga matahari tergelincir]. Waktu istiwa’ ini sangatlah sebentar.
Hampir-hampir kita tidak mengetahuinya hingga kemudian matahari itu tergelincir.
Keharaman melakukan shalat di waktu
ini tidak berlaku untuk hari Jumat. Artinya, shalat yang dilakukan pada hari Jumat
dan bertepatan dengan waktu istiwa’ diperbolehkan dan sah shalatnya.
Kalimat: [(3) ketika –matahari— menguning hingga terbenam]. Syaikh
al-Hasan al-Baghawi di dalam kitab al-Mashabih menyebutkan bahwa
Sayidina Uqbah bin Amir berkata:
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا:
حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ
حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Rasulullah Saw melarang kita
shalat dan mengubur jenazah di dalamnya: ketika matahari terbit sampai
meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu
tengah hari) sampai matahari condong, dan ketika matahari condong menuju
terbenam hingga terbenam.” (HR Muslim).
Kalimat: [(4) setelah shalat Subuh hingga matahari
terbit]. Keharaman
shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara adâ-an atau pada waktunya. Misalnya, anggaplah waktu shalat Subuh dimulai dari pukul 4 pagi, dan pada pukul 5 matahari telah terbit yang juga
berarti habisnya waktu Subuh.
Ketika seseorang melakukan shalat Subuh pada pukul 4.15 menit umpamanya,
maka setelah selesai shalat Subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunnah hingga terbitnya matahari, bahkan hingga matahari meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari
sampai dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk
melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam
rentang waktu pukul 4
sampai pukul
5 pagi selagi ia belum melakukan shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun.
Adapun bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara qadhâ-an
pada waktu shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat lain setelahnya.
Umpamanya seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan belum melakukan
shalat Subuh, lalu mengqadhanya pada waktu Subuh hari ini. Maka setelah ia melakukan shalat Subuh qadha tersebut ia tidak dilarang
melakukan shalat lainnya.
Kalimat: [(5) setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam]. Sebagaimana
diharamkan melakukan shalat setelah shalat Subuh, juga diharamkan melakukan
shalat bagi orang yang telah melakukan shalat Ashar secara adâ-an atau
pada waktunya. Seperti contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu
shalat Ashar melakukan shalat Ashar qadha sebagai pengganti shalat Ashar
yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan
shalat lainnya. Keharaman melakukan shalat setelah melakukan
shalat Ashar
ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.
Rasulullah
Saw bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ
الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
“Tak
ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah
shalat Ashar
sampai matahari tenggelam.” (HR Imam Bukhari).
والله أعلم بالصواب
[1]
Diringkas dari kitab Kasyifah
as-Saja fi Syarh Safinah an-Naja karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar
al-Bantani.
0 comments:
Post a Comment