Telah menjadi sebuah kebiasaan, tatkala pembacaan maulid, orang-orang yang hadir kemudian berdiri. Inilah yang disebut dengan mahal al-qiyam. Sejak masa lalu hal itu telah biasa dilakukan dan tak seorang pun mempermasalahkannya. Namun saat ini, sebagian orang yang anti maulid, menjadikan mahal al-qiyam sebagai sesuatu yang menambahkan kebid’ahan dalam maulid Nabi Muhammad SAW.
a. Dalil yang Membid'ahkan
Sebagaimana dalam pembid’ahan maulid, kaum Salafi-Wahabi pun sebenarnya tak memiliki dalil untuk membid’ahkan mahal al-qiyam. Mereka hanya berpedoman pada keyakinan mereka bahwa setiap yang tak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah bid’ah dhalalah yang menyebabkan pelakunya akan mengenyam siksa neraka. Karena mahal al-qiyam ada dalam maulid, maka ia pun termasuk bid’ah karena maulid sendiri itu bid’ah.
b. Jawabannya
Pada bagian ini tentu penulis tidak ingin mengemukakan dalil-dalil kebolehan, bahkan kesunnahan melaksanakan maulid Nabi SAW, karena semua itu telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Di sini penulis akan fokus pada dalil-dalil yang dijadikan landasan kebolehan berdiri saat pembacaan maulid (mahal al-qiyam).
As-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Haulal Ihtifal Bidzikri Al Maulidin Nabawi Asy Syarif memaparkan setidaknya lima alasan diperbolehkannya mahal al-qiyam:
1. Perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang di seluruh penjuru dunia, di negeri-negeri, dan di kota-kota, juga dianggap baik oleh seluruh ulama di Timur dan di Barat (di seantero dunia Islam). Tujuannya adalah mengagungkan orang yang kita peringati kelahirannya, yakni Nabi Muhammad SAW. Dan segala sesuatu yang dianggap baik oleh kaum Muslimin maka di sisi Allah itu adalah baik. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang dianggap buruk oleh kaum Muslimin maka buruk pula dalam pandangan Allah.
2. Berdiri untuk orang yang dihormati adalah sesuatu yang disyariatkan dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang banyak jumlahnya. Imam Nawawi telah menyusun sebuah karya tersendiri tentang hal itu dan karyanya itu didukung oleh Ibnu Hajar yang mana ia membantah orang yang mengeritik An-Nawawi dalam sebuah karyanya yang ia beri judul Raf’ul Malam, ‘ainil Qail bistihsanil Qiyam.
3. Ada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, yakni sabda Nabi yang ditujukan kepada orang-orang Anshar:
قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah kalian untuk (menyambut) pemimpin kalian.”Perintah untuk berdiri ini sebagai penghormatan kepada Sa’ad ra (pemimpin kaum Anshar) dan bukan karena ia dalam keadaan sakit. Sebab kalau memang demikian, tentulah Rasulullah SAW akan berkata:
قُومُوا إِلَى مَرِيْضِكُمْ
“Berdirilah kalian kepada orang yang sakit di antara kalian.”Dan pastilah beliau tidak akan mengatakan: “….untuk pemimpin kalian.” Ketika itu Rasulullah SAW tidak memerintahkan semua orang yang hadir di situ, tetapi kepada sebagian saja (yakni orang-orang Anshar).
4. Di antara ajaran Nabi SAW adalah berdiri untuk menyambut orang yang datang kepada beliau, untuk memuliakan orang dan menyenangkan hatinya. Sebagaimana beliau juga berdiri untuk menyambut putri beliau, Fatimah ra, dan tidak melarang putrinya untuk memuliakan ayahnya dengan cara yang sama. Dan Rasul menyuruh orang-orang Anshar agar berdiri untuk pemimpin mereka. Itu semuanya menunjukkan bahwa perbuatan berdiri itu disyariatkan. Dan Nabi SAW adalah orang yang paling berhak mendapatkan kehormatan itu.
5. Ada yang mengatakan bahwa itu terjadi pada saat Nabi SAW masih hidup dan hadir. Sedangkan dalam maulid beliau tidak hadir. Jawaban atas pernyataan ini adalah bahwa si pembaca maulid yang mulia berusaha menghadirkan Nabi SAW dalam benak atau pikirannya dengan membayangkan dzat beliau yang mulia (melalui sifat-sifat beliau yang kita ketahui melalui berbagai riwayat). Sedangkan membayangkan pribadi beliau adalah hal yang terpuji dan dianjurkan. Bahkan sudah seharusnya bayangan itu selalu tertanam dalam benak seorang Muslim yang benar dalam setiap waktunya, agar ia dapat mengikuti Nabi SAW dengan sempurna serta bertambah kecintaannya terhadap beliau dan supaya hawa nafsunya selalu tunduk kepada ajaran yang beliau bawa. Oleh karena itu, orang-orang tersebut berdiri untuk menghormati dan memuliakan bayangan yang tertanam dalam benak mereka tentang pribadi Rasul yang mulia, sekaligus merasakan keagungan suasana dan kesyahduan majelis maulid tersebut. Selain itu, penggambaran yang dilakukan oleh orang-orang yang mengingat atau menyebut Rasulullah SAW itu pastilah dapat menambah rasa hormat kepada beliau SAW.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka mahal al-qiyam bukanlah sebuah perbuatan bid’ah yang menyebabkan pelakunya akan disiksa di dalam neraka. Justru berdiri menyambut kedatangan seseorang yang memiliki keutamaan sangatlah dianjurkan. Untuk mempertegas kesimpulan bahwa mahal al-qiyam adalah sesuatu yang diperbolehkan, simaklah ungkapan Imam Nawawi berikut ini:
الْقِيَامُ لِلْقَادِمِ مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ مُسْتَحَبٌّ وَقَدْ جَاءَ فِيْهِ أَحَادِيْثُ وَلَمْ يَصِحَّ فِي النَّهْيِ عَنْهُ شَيْءٌ صَرِيْحٌ
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk penghormatan, berdiri menyambut kedatangan orang yang terhormat itu dianjurkan. Maka berdiri untuk menghormat Nabi Muhammad SAW ketika membaca shalawat tentu lebih dianjurkan.
Wallahu a'lam bish-showab
0 comments:
Post a Comment