Ini merupakan objek perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Bukan hanya saat ini, bahkan sejak masa lalu sudah diperbincangkan.
Duduk persoalannya adalah perbedaan para ulama dalam memahami hadits Rasulullah Saw yang bersumber dari Ummu Salamah ra yang banyak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits. Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
"Apabila sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah telah masuk dan salah seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, hingga selesai berkurban." (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain)
Terhadap hadits ini ada dua arus utama pendapat para ulama dalam memahaminya. Pertama yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw melarang shahibul qurban untuk memotong rambut dan kukunya hingga kurban selesai disembelih. Sedangkan pendapat kedua menegaskan bahwa yang dilarang untuk memotong rambut dan kuku bukanlah shahibul qurban, melainkan hewan kurban (al-mudhahha) itu sendiri.
Argumentasi Pendapat Pertama
Kelompok ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw melarang orang yang hendak berkuban untuk memotong rambut dan kukunya sejak masuk malam 1 Dzulhijjah hingga kurbannya disembelih. Namun demikian, meskipun mereka sepakat bahwa yang dilarang untuk memotong rambut dan kuku itu adalah shahibul qurban, tapi mereka tidak sepakat mengenai konsekuensi hukumnya: haram, makruh atau mubah saja?
Dalam kitab Mirqatul Mafatih karya Mula al-Qari disebutkan:
الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه
"Alhasil, ini adalah masalah khilafiyah. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i disunnahkan bagi shahibul qurban untuk tidak memotong rambut dan kukunya hingga selesai penyembelihan. Jika dia melakukan hal itu, maka dihukumi makruh. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa hukumnya mubah, tidak makruh dan tidak sunnah. Sementara Imam Ahmad menetapkan akan keharamannya."
Dari penjelasan di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa persoalan memotong rambut dan kuku bagi shahibul qurban merupakan masalah khilafiyah. ada yang mengatakan sunnah untuk tidak memotong rambut dan kuku hingga selesai penyembelihan, dan jika ia melakukannya sebelum penyembelihan maka dihukumi makruh; ini pendapat Imam Malik dan Syafi'i. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hukumnya mubah, tidak sunnah jika tidak dipotong dan tidak pula makruh bila dipotong. Sementara Imam Ahmad menetapkan haram bila dipotong sebelum kurban selesai disembelih.
Terkait hikmah dari kesunnahan untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi shahibul qurban, Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' mengatakan agar seluruh tubuh di akhirat diselamatkan dari siksa neraka. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa ibadah kurban bisa menyelamatkan pelakunya dari siksa neraka. Beliau juga membantah terkait pendapat ulama yang menyatakan kesunnahan untuk tidak memotong rambut dan kuku itu karena kesamaannya dengan orang yang ihram.
Imam Nawawi berkata:
قال أصحابنا الحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم قال أصحابنا وهذا غلط لأنه لا يعتزل النساء ولا يترك الطيب واللباس وغير ذلك مما يتركه المحرم
"Ulama dari kalangan madzhab kami menyatakan bahwa hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada (sempurna) dan terbebas dari api neraka. Ada pula pendapat yang menyatakan karena disamakan dengan orang yang sedang ihram. Menurut ashhab kami pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, tidak meninggalkan memakai wewangian, pakaian dan berbagai tindakan lain yang diharamkan bagi orang yang ihram.
Argumentasi Pendapat Kedua
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa yang terlarang memotong rambut dan kuku itu bukanlah rambut dan kuku shahibul qurban, melainkan rambut dan kuku hewan kurban itu sendiri. Alasannya, karena rambut, kuku, tanduk dan apapun dari hewan kurban itu kelak di akhirat akan menjadi saksi.
Mula al-Qari di dalam Mirqatul Mafatih menyebutkan bahwa pendapat ini termasuk gharib atau aneh. Beliau berkata:
وأغرب ابن الملك حيث قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف
"Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil atau memotong bulu dan kuku hewan yang dikurbankan."
Namun demikian pendapat gharib yang dikatakan oleh Mula al-Qari ini mendapat dukungan dan penguatan dari Prof. KH Ali Mustafa Yaqub. Pakar hadits Indonesia ini menyatakan dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyyah bahwa hadits tersebut harus dikomparasikan dengan hadits lain. Pemahaman akan matan hadits tidak akan sempurna bila hanya dilihat dari satu hadits. Beliau sering mengatakan bahwa hadits saling menafsirkan antara yang satu dengan lainnya (al-hadits yufassiru ba'dhuhu ba'dhan).
Menurut beliau, hadits Ummu Salamah ra di atas perlu dikomparasikan dengan hadits lain yang berumber dari Aisyah ra, di mana Rasulullah Saw bersabda:
ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا
"Tidak ada amalan anak Adam pada hari nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah kecuali mengucurkan darah (berkurban). Karena ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduknya, bulunya dan kukunya. Saking cepatnya, pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkuban." (HR Ibnu Majah)
Demikian pula dengan hadits berikut ini:
لصاحبها بكل شعرة حسنة
"Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan."(HR Tirmidzi)
Dengan mempertimbangkan dua hadits inilah, Prof.KH Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa yang dilarang Nabi Saw bukanlah memotong rambut atau kuku shahibul qurban, melainkan hewan kurban itu sendiri. Karena tanduk, kuku dan rambut hewan kurban inilah yang akan menjadi saksi kelak di akhirat.
Kesimpulan
Kedua bentuk pendapat yang berbeda dari para ulama ini merupakan usaha dari masing-masing mereka untuk memahami dalil. Yang penting untuk diingatkan di sini adalah konteks hadits tersebut tertuju kepada shahibul qurban, bukan kepada semua orang, Bagi orang yang tidak berkurban maka tidak ada konsekuensi hukum fiqih bagi mereka. Mereka bebas jika hendak memotong rambut dan kuku yang ada pada dirinya.
Menurut kami, kedua pandangan di atas sama-sama bisa diamalkan. Sebaiknya bagi orang yang hendak berkuban untuk menahan dirinya dari memotong rambut dan kukunya hingga proses penyembelihannya selesai dilakukan. Sedangkan bagi yang rambutnya sudah panjang disertai adanya kutu, kuku tangan dan kaki pun sudah menghitam, maka silakan untuk dipotong dan kurbannya tetap disembelih. Karena keabsahan suatu kurban tidak tergantung kepada sikap shahibul qurban yang memotong atau tidak rambut dan kukunya. Demikian halnya juga dengan tanduk, kuku dan bulu hewan kurban. Seyogyanya tidak dipotong sebelum proses penyembelihan usai dilakukan, karena semuanya akan menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat.
Demikianlah. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam