Berikut
akan kami paparkan sejumlah hadits yang mengisyaratkan bahwa tidak semua bid’ah
itu sesat, namun ada yang merupakan bid’ah hasanah. Dalil-dalil di bawah inilah
yang kemudian menjadikan para ulama berkesimpulan untuk mengakui keberadaan bid’ah
hasanah. Karena ternyata ada banyak hal baru dalam urusan agama yang
dilakukan para sahabat, bahkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di tengah-tengah mereka, dan juga dilakukan
oleh generasi setelah mereka.
Perhatikan dan renungkanlah,
semoga Allah memberi pemahaman yang baik bagi kita.
1. Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ اَبِيْ لَيْلَى
قَالَ: كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلم
اِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌُ مِنَ الصَّلاةِ اَشَارَ اِليْهِ
النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًَا
مُعَاذٌُ بْنُ جَبَلٍِ فَاَشَارُوْا اِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا
قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ
فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم [سَنَّ لكُمْ مُعَاذٌُ]. وَفِيْ
رِوَايَةِ سيدنا مُعَاذ ْبنُ جَبَلٍِ: [اِنَّهُ قَدْ سَنَّ لكُمْ مُعَاذ فَهَكَذَا
فَاصْنَعُوْا].
Artinya: “Abdurrahman bin
Abi Laila berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa raka’at
mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan
memberi isyarat kepadanya tentang raka’at yang telah dijalani, sehingga orang
itu akan mengerjakan raka’at yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian
masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan
padanya tentang jumlah raka’at shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi
Mu’adz langsung masuk ke dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat
mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang
tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mu’adz telah
membuat cara yang baik buat shalat kalian.’ Dalam riwayat Mu’adz bin Jabbal radhiyallahu
‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus
kalian kerjakan.’”
[1]
Perhatikanlah bagaimana sikap
yang ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkara baru yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu itu. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada Mu’adz dan menuduhnya telah berbuat bid’ah
yang tak pernah beliau ajarkan? Ternyata tidak. Karena memang cara shalat yang
diperlihatkan oleh Mua’dz ini sesuai dengan kaidah shalat berjamaah, yakni
makmum mengikuti imam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memuji perbuatan Mu’adz dan meminta kepada para
sahabat yang lain untuk mengikuti cara yang dilakukan oleh Mu’adz. Hadits ini
menunjukkan kebolehan membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau
ibadah lainnya, asalkan bersesuaian dengan tuntunan syara’.
2. Hadits Bilal radhiyallahu
‘anhu
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَة رَضى الله عنهُ اَنَّ
نَبِيَّ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ ِلبِلالٍ عِنْدَ صَلاةِ الفَجْرِ: [يَا
بِلالُ حَدِّثنِيْ بِاَرْجَى عَمَلٍِ عَمِلْتَهُ فِي الاِسْلامِ فَاِنِّيْ
سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الجَنَّةِ] قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاًَ اَرْجَي
عِنْدِيْ مِنْ اَنِّي لَمْ اَتَطَهَّرْ طَهُوْرًَا فِيْ سَاعَةٍِ مِنْ لَيْلٍِ
اَوْ نَهَارٍِ اِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ
رِوَايَةٍِ: قَالَ لِبِلالٍٍ: [بِمَ سَبَقْتَنِيْ اِلَى الجَنَّةِ؟] قَالَ: مَا
اَذَّنْتُ قَطُّ اِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا اَصَابَنِيْ حَدَثٌُ قَطُّ
اِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَاَيْتُ اَنَّ الله عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم [بِهِمَا] اَيْ نِلْتَ تِلْكَ المَنْزِلَة.
Artinya: Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar, “Hai Bilal,
kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku
telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Ia menjawab, “Kebaikan yang paling
aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun
malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua raka’at yang aku
tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal, “Dengan apa engkau mendahuluiku ke
Surga?” Ia menjawab, “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua raka’at
setelahnya. Dan aku belum pernah hadast, kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan
harus aku teruskan dengan shalat sunat dua raka’at karena Allah.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Dengan dua
kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.”[2]
Hadits ini memberikan
informasi kepada kita akan kebolehan melakukan ijtihad dalam menentukan waktu
ibadah. Bilal radhiyallahu ‘anhu melakukan hal itu dan ia memperoleh
derajat yang mulia di sisi Allah karena ijtihadnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya.[3]
Apa yang dilakukan oleh Bilal radhiyallahu ‘anhu dengan menetapkan waktu
untuk shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu’, baik siang maupun malam, merupakan
amaliah yang belum pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya. Bilal radhiyallahu ‘anhu berijtihad
sendiri dalam hal ini dan ia mengamalkan apa yang menjadi hasil ijtihadnya itu,
meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarinya
tentang amaliahnya itu. Meskipun sebelum mengamalkan ijtihadnya itu Bilal radhiyallahu
‘anhu tidak bertanya terlebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau membenarkannya. Bahkan beliau memberikan
kabar gembira kepada Bilal, bahwa ia memperoleh derajat mulia di sisi Allah di
dalam Surga karena amaliah yang dilakukannya itu.
Wallahu a’lam
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam
Ahmad (5/233), Imam Ibnu Abi Syaibah, Imam Ath-Tahbrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir (20/271), dan lain-lain. Hadist ini dinilai shahih oleh
al-Hafizh Ibnu Daqiq al-‘Id (625-703 H/1235-1303 M) dan al-Hafizh Ibnu Hazam
(384-456 H/994-1064 M).
[2] Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1149),
Imam Muslim (6274), Imam Ahmad (9670), Imam al-Nasa’i dalam Fadhail asl
Shahabah (132), Imam al-Baghawi (1011), Imam Ibnu Hibban (7085), Imam Abu
Ya’la (6104), Imam Ibnu Khuzaimah (1208), dan Imam al-Hakim (1/313).
[3]
Lihat: Fath al-Bari (3/34) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.
0 comments:
Post a Comment