Friday, July 26, 2019

Published July 26, 2019 by with 0 comment

Dalil-Dalil Takhsis Terhadap Hadist “Semua Bid’ah Adalah Sesat” (Bagian Pertama)

Berikut akan kami paparkan sejumlah hadits yang mengisyaratkan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, namun ada yang merupakan bid’ah hasanah. Dalil-dalil di bawah inilah yang kemudian menjadikan para ulama berkesimpulan untuk mengakui keberadaan bid’ah hasanah. Karena ternyata ada banyak hal baru dalam urusan agama yang dilakukan para sahabat, bahkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di tengah-tengah mereka, dan juga dilakukan oleh generasi setelah mereka.
 
Perhatikan dan renungkanlah, semoga Allah memberi pemahaman yang baik bagi kita.
 
1. Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu
 
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ اَبِيْ لَيْلَى قَالَ: كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلم اِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌُ مِنَ الصَّلاةِ اَشَارَ اِليْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًَا مُعَاذٌُ بْنُ جَبَلٍِ فَاَشَارُوْا اِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم [سَنَّ لكُمْ مُعَاذٌُ]. وَفِيْ رِوَايَةِ سيدنا مُعَاذ ْبنُ جَبَلٍِ: [اِنَّهُ قَدْ سَنَّ لكُمْ مُعَاذ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا].
 
Artinya: “Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa raka’at mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang raka’at yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan raka’at yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan padanya tentang jumlah raka’at shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk ke dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mu’adz telah membuat cara yang baik buat shalat kalian.’ Dalam riwayat Mu’adz bin Jabbal radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan.’” [1]
 
Perhatikanlah bagaimana sikap yang ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkara baru yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu itu. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada Mu’adz dan menuduhnya telah berbuat bid’ah yang tak pernah beliau ajarkan? Ternyata tidak. Karena memang cara shalat yang diperlihatkan oleh Mua’dz ini sesuai dengan kaidah shalat berjamaah, yakni makmum mengikuti imam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru memuji perbuatan Mu’adz dan meminta kepada para sahabat yang lain untuk mengikuti cara yang dilakukan oleh Mu’adz. Hadits ini menunjukkan kebolehan membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau ibadah lainnya, asalkan bersesuaian dengan tuntunan syara’.
 
2. Hadits Bilal radhiyallahu ‘anhu
 
وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَة رَضى الله عنهُ اَنَّ نَبِيَّ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ ِلبِلالٍ عِنْدَ صَلاةِ الفَجْرِ: [يَا بِلالُ حَدِّثنِيْ بِاَرْجَى عَمَلٍِ عَمِلْتَهُ فِي الاِسْلامِ فَاِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الجَنَّةِ] قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاًَ اَرْجَي عِنْدِيْ مِنْ اَنِّي لَمْ اَتَطَهَّرْ طَهُوْرًَا فِيْ سَاعَةٍِ مِنْ لَيْلٍِ اَوْ نَهَارٍِ اِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍِ: قَالَ لِبِلالٍٍ: [بِمَ سَبَقْتَنِيْ اِلَى الجَنَّةِ؟] قَالَ: مَا اَذَّنْتُ قَطُّ اِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا اَصَابَنِيْ حَدَثٌُ قَطُّ اِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَاَيْتُ اَنَّ الله عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم [بِهِمَا] اَيْ نِلْتَ تِلْكَ المَنْزِلَة.
 
Artinya: Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar, “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Ia menjawab, “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua raka’at yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal, “Dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga?” Ia menjawab, “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua raka’at setelahnya. Dan aku belum pernah hadast, kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua raka’at karena Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.”[2]
 
Hadits ini memberikan informasi kepada kita akan kebolehan melakukan ijtihad dalam menentukan waktu ibadah. Bilal radhiyallahu ‘anhu melakukan hal itu dan ia memperoleh derajat yang mulia di sisi Allah karena ijtihadnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkannya.[3] Apa yang dilakukan oleh Bilal radhiyallahu ‘anhu dengan menetapkan waktu untuk shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu’, baik siang maupun malam, merupakan amaliah yang belum pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya. Bilal radhiyallahu ‘anhu berijtihad sendiri dalam hal ini dan ia mengamalkan apa yang menjadi hasil ijtihadnya itu, meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarinya tentang amaliahnya itu. Meskipun sebelum mengamalkan ijtihadnya itu Bilal radhiyallahu ‘anhu tidak bertanya terlebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau membenarkannya. Bahkan beliau memberikan kabar gembira kepada Bilal, bahwa ia memperoleh derajat mulia di sisi Allah di dalam Surga karena amaliah yang dilakukannya itu.
 
Wallahu a’lam


[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ahmad (5/233), Imam Ibnu Abi Syaibah, Imam Ath-Tahbrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (20/271), dan lain-lain. Hadist ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibnu Daqiq al-‘Id (625-703 H/1235-1303 M) dan al-Hafizh Ibnu Hazam (384-456 H/994-1064 M).
[2] Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1149), Imam Muslim (6274), Imam Ahmad (9670), Imam al-Nasa’i dalam Fadhail asl Shahabah (132), Imam al-Baghawi (1011), Imam Ibnu Hibban (7085), Imam Abu Ya’la (6104), Imam Ibnu Khuzaimah (1208), dan Imam al-Hakim (1/313).
[3] Lihat: Fath al-Bari (3/34) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani.
      edit

0 comments:

Post a Comment