Untuk memahami
apa yang dimaksud dengan kekayaan yang bersifat batin, simaklah kisah berikut
ini. Semoga Allah memberikan pencerahan kepada Anda untuk bisa mengambil hikmah
darinya.
Tersebutlah
seorang sufi bernama Buhlul. Nama aslinya Buhlul bin Amr Ash ash-Shairafi,
dengan julukan Abu Wuhaib. Ia tinggal di Kufah dan hidup semasa dengan Khalifah
Harun al-Rasyid. Menurut Abu Qasim al-Naisabury, Buhlul termasuk kelompok sufi majnun
yang banyak akal sekaligus seorang penyair.
Suatu ketika
Khalifah Harun al-Rasyid pergi menunaikan ibadah haji. Tatkala berada di luar kota Kufah, tiba-tiba ia
melihat Buhlul berjalan membawa tongkat dengan diikuti anak-anak di
belakangnya. Lalu Buhlul lari menghindar. Melihat hal itu, Sang Khalifah
bertanya kepada anak-anak tersebut, “Siapa orang itu?” Anak-anak itu menjawab, “Dia Buhlul, si majnun (si
gila).” Lantas, Khalifah Harun al-Rasyid berkata, “Aku ingin menemuinya,
panggillah dia, jangan ditakut-takuti!” Anak-anak itu pun berlari menghampiri
Buhlul, membujuknya seraya berkata, “Penuhilah panggilan Amirul Mukminin.”
Lalu, Buhlul berlari ke arah Khalifah Harun al-Rasyid sambil membawa tongkatnya. Begitu melihat Buhlul ada di hadapannya, Sang Khalifah mengucapkan salam padanya, kemudian berkata, “Telah lama aku merindukanmu, wahai Buhlul.” Dengan enteng Buhlul menjawab, “Tapi aku tidak merindukanmu, wahai Khalifah!” Khalifah kemudian berkata, “Wahai Buhlul, berilah aku nasihat.” Buhlul menjawab, “Dengan apa aku memberikan nasihat padamu, wahai Khalifah?” Namun, Khalifah Harun al-Rasyid terus mendesak Buhlul agar memberinya nasihat.
Beberapa saat kemudian, Buhlul berkata, “Wahai Amirul Mukminin, barangsiapa yang diberi Allah ketampanan dan rezeki harta, lalu ia tidak berbuat kejahatan dengan ketampanannya, serta berbelas kasih kepada yang lain dengan hartanya, maka ia dicatat dalam kitab amal sebagai orang baik.” Mendengar jawaban itu, Khalifah Harun al-Rasyid mengira Buhlul menghendaki sesuatu di balik ucapannya itu. Khalifah berkata, “Aku telah memerintahkan agar semua hutangmu dilunasi.”
Mendengar itu, Buhlul menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mukminin! Hutang dibayar dengan hutang, tetapi kembalikan hak kepada yang punya dan bayarlah hutangmu sendiri!” Khalifah kemudian berkata, “Aku telah memerintahkan agar engkau diberi gaji tetap.” Mendengar ucapan Sang Khalifah, Buhlul menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau berpendapat bahwa Allah telah memberimu (rezeki), tetapi Dia lupa padaku?” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Buhlul kemudian berlari menjauhi Khalifah Harun al-Rasyid.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa Buhlul pernah berkata kepada Khalifah Harun al-Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimanakah bila Allah menempatkanmu di sisi-Nya, lalu engkau ditanya tentang perahu kecil, sumbu lampu, dan kulit?” Cecaran pertanyaan yang diajukan Buhlul membuat Khalifah Harun al-Rasyid tercekik, sehingga pengawal menegur Buhlul. “Engkau telah melukai hati Amirul Mukminin!” Bentak mereka. Ternyata, tidak demikian dengan sikap Khalifah Harun al-Rasyid. Ia berkata, “Biarkan dia.” Buhlul melanjutkan perkataannya sambil menuding para pengawal, “Sebenarnya al-Rasyid ini rusak karena ulah kalian dan orang-orang seperti kalian.”
Khalifah kemudian berkata, “Aku ingin memberikan tali kasih (hadiah) untukmu.” Buhlul menjawab, “Tidak, kembalikan saja semua itu kepada orang-orang yang hartanya telah kau ambil.” Khalifah Harun al-Rasyid kemudian bertanya, “Lantas, apa keperluanmu datang ke sini?” Buhlul menjawab, “Aku ingin agar engkau tidak melihatku dan aku tidak melihatmu.” Lalu, ia berlari sambil membawa tongkatnya diiringi dengan ucapan, “Sungguh, engkau termasuk orang yang ternama di muka bumi ini. Para hamba telah mendekat kepadamu. Kemudian, apakah gerangan yang terjadi? Bukankah engkau akan mati dan dikubur di dalam tanah? Kemudian peninggalanmu akan dibagi-bagi di antara ahli warismu.”
Tentunya Anda telah menyimak kisah Khalifah Harun al-Rasyid dan Buhlul di atas. Apakah Anda telah mendapatkan hikmah di balik kisah itu? Ya, pasti. Saya yakin Anda telah mendapatkan pelajaran penting dari kisah di atas. Setiap pembaca boleh jadi menangkap nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun satu hal yang pasti, bahwa kisah di atas menegaskan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, yakni, bahwa kekayaan yang paling hakiki adalah ketika seseorang tidak pernah bergantung kepada harta atau materi yang ia miliki. Tumpukan harta atau materi hanya sebaga sarana baginya untuk meraih kekayaan batin yang tidak mudah digapai oleh setiap orang, yakni cinta dan keridhaan Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda: “Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya akan jiwa.”[1]
Buhlul, dalam kisah di atas, adalah orang kaya sebagaimana yang dimaksud dalam sabda Rasulullah ini. Ia tidak pernah menggantungkan hidupnya pada tumpukan materi. Relung jiwanya telah dipenuhi Allah dengan kekayaan batin berupa cinta dan keridhaan-Nya, sehingga ia lepas dari belenggu hal-hal yang bersifat materi. Seseorang yang memiliki kekayaan batin, maka imannya menjadi sangat kokoh, Islam menjadi ruh kehidupannya, ihsan perilakunya, murni tauhidnya, banyak amal salehnya, selalu hidup dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hatinya lepas dari ketergantungan kepada sesama makhluk. Orang yang memiliki sifat-sifat ini akan menjalani hidup tanpa beban. Batinnya memiliki kesadaran yang sangat kuat bahwa hidup yang ia jalani hakikatnya adalah arus takdir yang telah ditetapkan Allah untuknya, dan ia hanya mengalir sesuai dengan arus takdir itu.
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment