Tuesday, October 29, 2019

Published October 29, 2019 by with 0 comment

Dalil-dalil Tawassul (1)

Berikut akan kami kemukakan beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan ber-tawassul dengan para nabi dan wali. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk memahaminya.
 
1. Hadits Sayyidina Umar ra ketika melakukan shalat istiqa'
 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ فَيُسْقَوْنَ

"Dari Anas bin Malik ra, belia berkata, "Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin Khaththab ra bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa, "Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi Saw, maka Engkau turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Saw, maka turunkanlah hujan." Anas ra berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami." (Shahih al-Bukhari [954])
 
Menyikapi tawassul Sayyidina Umar ra ini, Sayyidina Abbas ra kemudian berdoa:
 
اَللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ، وَلاَ يُكْشَفُ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ، قَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِيْ إِلَيْكَ لِمَكَانِيْ مِنْ نَبِيِّكَ ... إلخ

"Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum Muslimin bertawassul denganku untuk memohon kepada-Mu, karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu..." Diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar. (al-Tahdzir min al-Ightirar, 125)
 
Hadist di atas menunjukkan disunnahkannya ber-tawassul dengan orang-orang saleh dan keluarga Nabi Saw sebagaimana dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (II/497).Pada hakikatnya tawassul yang dilakukan Sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas tersebut merupakan tawassul dengan Nabi Saw (yang pada saat itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi Saw dan kedudukannya di sisi Nabi Saw.
 
2. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Nabi Saw
 
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى
 
“Dari Utsman bin Hunayf bahwa seorang laki-laki yang buta matanya datang kepada Nabi Saw seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku.” Beliau bersabda, “Jika engkau mau maka aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau maka bersabarlah, karena hal itu lebih baik bagimu.” Laki-laki itu berkata, “Berdoalah kepada Allah untukku.” Utsman bin Hunayf berkata, “Lalu Nabi Saw memerintahkannya untuk berwudhu, kemudian ia pun membaguskan wudhunya dan berdoa dengan doa berikut ini, “Ya Allah, aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku denganmu berkait dengan hajatku ini...”
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502), dan menilainya hasan shahih, al-Nasa'i dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah (h. 417), Ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibnu Majah (I/441), al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du'a (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da'awat al-Kabir dan ulama-ulama lain.
 
Dari kalangan ahli hadits muta'akhkhirin, hadits ini disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, dan lain-lain.
 
Jika ada yang mengatakan bahwa makna:
 
للَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى
 
adalah:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
 
dengan dalil perkataan Nabi Saw di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ

"Jika engkau mau maka aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau maka bersabarlah..."
 
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi Saw ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal itu tidak diperbolehkan!
 
Pernyataan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas tidak disebutan Nabi Saw benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu, Rasulullah Saw kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana yang disebutkan oleh perawi hadits di atas:
 
فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ

"Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah Saw, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majelis Rasulullah Saw, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali."
 
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi Saw di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:
  
وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْبِهِ
 
"Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya." 
 
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, doa yang diajarkan oleh Nabi Saw kepada orang buta ini juga diajarkan oleh Utsman bin Hunayf, sang perawi hadits tersebut, kepada seseorang yang punya hajat untuk bertemu dengan Khalifah Utsman bin Affan.
 
Silakan simak riwayat berikut:
 
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ  أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فِيْ حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِيْ حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيْضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ (رواه الطبرانى فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة)

Diriwayatkan dari Utsman bin Hunayf bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun Sayyidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunayf (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunayf berkata: Ambillah air wudhu' kemudian masuklah ke masjid, shalatlah dua rakaat dan bacalah: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunayf dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memenuhi hajatnya..” (HR Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)
 
Riwayat ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal dunia.

Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani berkata:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِي الْمَانِعُ، مَاشَاءَ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

"Hadits ini menjadi dalil bolehnya bertawassul dengan Rasulullah Saw kepada Allah Swt dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak scara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi." (al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180)

Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali juga dibolehkan.

Bersambung...
Read More
      edit

Monday, October 28, 2019

Published October 28, 2019 by with 0 comment

Memahami Hakikat Tawassul

Hakikat Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa', istighatsah, isti'anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakikat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul --dan istilah-istilah lain yang sama-- dengan definisi sebagai berikut:
 
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوِ انْدِفَاعِ مُضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ

“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan keduanya.” (Lihat: al-Hafizh al-‘Abdari, al-Syarh al-Qawim, h. 378)
 
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali utuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir dan musyrik. Padahal hakikat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.
 
Ide Dasar Tawassul
Allah Swt telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum sebab - akibat (kausalitas). Sebagai contoh: Allah sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sedikitpun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
 
Allah Swt berfirman:
 
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
 
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu..." (QS. al-Baqarah: 45)  
 
Allah Swt juga berfirman:

وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
 
"Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah)." (QS. al-Maidah: 35) 
 
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah Swt telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah Swt.
 
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi syara' sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah Swt. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri.
 
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah, sedangan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sabab 'adi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar'i (sebab-sebab yang diperkenankan syara'). 
 
Seandainya tawassul bukan sabab syar'i, maka Rasulullah Saw tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar ber-tawassul dengannya. Dalam hadits disebutkan Rasulullah Saw mengajarkan kepada orang buta untuk berdoa dengan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ... إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ فَتَقْضِي لِي

"Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, aku menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu, Muhammad, Nabi yang penyayang, Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawajjuh dengan perantaramu kepada Rabbku pada kebutuhanku ini, maka putuskanlah kepadaku. Ya Allah, sembuhkanlah bagiku."
 
Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah Saw ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika ia tidak berada di hadapan Nabi Saw (tidak di majelis Rasulullah Saw) dan kembali ke majelis Rasul Saw dalam keadaan sembuh dan bisa melihat.
 
Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dialkukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasulullah Saw. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi.
 
Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa'i dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah, Ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibnu Majah, al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir, al-Mu'jam al-Shaghir, dan al-Du'a dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail -al-Nubuwwah dan al-Da'awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits muta'akhkhirin hadits di atas disebutkan oleh Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.
 
Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dengan Nabi Saw pada saat Nabi Saw masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi Saw setelah beliau wafat seperti diajarakan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayyidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Saw hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.
 
Wallahu a'lam  
Read More
      edit
Published October 28, 2019 by with 0 comment

Karena Amalan Ini Rasulullah Saw Mencium Kening Asy-Syibli

Di dalam dunia tasawuf kita mengenal banyak tokoh sufi yang memiliki perjalanan hidup dan pengalaman rohani yang luar biasa. Salah satu di antara tokoh-tokoh sufi itu adalah Syekh Abu Bakr As-Syibli. Wali yang memiliki nama asli Dulaf bin Jahdar ini lahir dan hidup di Kota Baghdad selama 87 tahun. Meninggal dan dikuburkan di kota yang sama pada tahun 334 H.

Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd menuturkan sebuah cerita menarik tentang wali yang akrab dipanggil As-Syibli ini.

Satu ketika As-Syibli datang menemui Ibnu Mujahid. Melihat ada seorang ulama besar yang datang Ibnu Mujahid segera bangun dan menyambut hangat kedatangan As-Syibli. Ia rangkul dan peluk sang tamu sembari mencium kening di antara kedua matanya. Melihat perlakuan yang dilakukan Ibnu Mujahid kepada As-Syibli ini seseorang bertanya, “Mengapa engkau lakukan ini pada As-Syibli, wahai Ibnu Mujahid?” Atas pertanyaan ini Ibnu Mujahid menjawab, “Kulakukan itu karena aku melihat di dalam mimpi Rasulullah melakukan hal serupa kepada As-Syibli.”

Kemudian Ibnu Mujahid bercerita, bahwa ia pernah bermimpi melihat As-Syibli datang menemui Rasulullah. Melihat kedatangan As-Syibli, Rasulullah segera menyambut dengan memeluknya seraya mencium kening di antara kedua matanya. Melihat pemandangan itu Ibnu Mujahid—di dalam mimpinya—bertanya kepada Rasul, “Mengapa engkau lakukan ini kepada As-Syibli wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, aku lakukan itu kepada As-Syibli karena ia tidak melakukan shalat fardhu kecuali setelahnya ia selalu membaca ayat: Laqad jâakum Rasûlun min anfusikum... (yakni dua ayat terakhir dari surat At-Taubah). Kemudian setelah itu As-Syibli bershalawat dengan mengatakan: Shallallâhu ‘alaika yâ Muhammad.”

Setelah mimpi itu Ibnu Mujahid bertemu dengan As-Syibli dan menanyakan bacaan apa yang selalu dibaca ketika selesai melakukan shalat fardhu. Dan ternyata As-Syibli menjawab bahwa ia selalu membaca ayat dan shalawat tersebut di atas setiap kali selesai shalat fardhu.

Wallahu a’lam

Sumber: NU Online
Read More
      edit

Sunday, October 27, 2019

Published October 27, 2019 by with 0 comment

Hal-hal Sunnah Dilakukan untuk Orang yang Sakaratul Maut

Beberapa hal yang sunnah dilakukan terhadap muhtadhar (orang yang sakit parah yang membawa pada kematian) pada saat detik-detik sakaratul mautnya:
 
1. Mengahdapkannya ke arah kiblat
Hal ini bisa dilakukan dengan cara membaringkannya pada lambung sebelah kanan (kepala di bagian utara). Jika tidak mampu maka dengan membaringkan pada lambung kirinya (kepala di selatan). Dan bila hal ini tidak mampu juga maka dengan posisi menelentang dan memberi sejenis bantal di kepalanya agar bisa menghadap kiblat.
 
2. Membacakan surat Yasin dengan keras dan surat Ar-Ra’du dengan lirih
Ini dilakukan jika keduanya mungkin dibaca. Namun jika hanya mungkin membaca salah satunya saja, maka bacakan surat Yasin untuk mengingatkannya pada urusan akhirat. Jika muhtadhar  sudah tidak mempunyai perasaan, maka yang lebih utama dibacakan adalah surat Ar-Ra’du, untuk mempermudah keluarnya ruh.
 
Terdapat keterangan dalam kitab Raudhatut Thalibin (II/97) sebagai berikut:
 
ويستحب أن يقرأ عند سورة ( يس ) واستحب بعض التابعين سورة ( الرعد ) أيضا
 
Dan disunnahkan membacakan surat Yasin pada orang yang sakit keras (sakaratul maut), dan  sebagian tabi’in juga mensunnahkan untuk dibacakan padanya surat Ar-Ra’du.
 
وفي رباعيات أبي بكر الشافعي: ما من مريض يقرأ عند يس إلا مات ريانا، وأدخل قبره ريانا، وحشر يوم القيامة ريانا. قال الجاربردي: ولعل الحكمة في قراءتها أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عليه تجدد له ذكر تلك الاحوال. (وقوله: والرعد) أي ويسن أن يقرأ عنده الرعد أي لقول جابر بن زيد: فإنها تهون عليه خروج الروح.
 
Dalam seperempat bahasan milik Abu Bakar Asy-Syafi’i dijelaskan: “Tidak seorang pun yang sakit (keras) yang dibacakan padanya surat Yasin kecuali ia akan meninggal dunia dalam keadaan lega, saat memasuki kuburnya juga lega, saat digiring pada hari kiamat juga lega.” Imam Al-Jarbardi berkata, “Hikmah membacakan Yasin adalah sesungguhnya keadaan hari kiamat dan kebangkitan disebut dalam surat tersebut, maka saat dibacakan dapat memperbaharui ingatannya kembali tentangnya.” Disunnahkan juga membacakan surat Ar-Ra’du berdasarkan riwayat dari Jabir bin Zaid, Sesungguhnya surat Ar-Ra’du dapat memudahkan keluarnya ruh.”
 
Juga terdapat penjelasan sebagai berikut:
 
وروي. ما من ميت يقرأ عنده يس إلا هون الله عليه. ويستحب - إذا احتضر الميت - أن يقرأ عنده أيضا سورة الرعد فإن ذلك يخفف عن الميت سكرة الموت، وإنه أهون لقبضه، وأيسر لشأنه.
 
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, “Tidaklah seorang yang (hendak) meninggal dunia saat dibacakan Yasin kecuali Allah memudahkannya”. Disunnahkan juga saat menjemput kematian dibacakan surat Ar-Ra’du karena yang demikian dapat meringankannya dari sakaratul maut, mempermudah tercabutnya ruh, dan meringankan keadaannya. (Lihat: Hasyiyah Ianah At-Thalibiin, II/107,164)
 
3. Menalqinnya dengan kalimat “Laa ilaaha illallaah
Nabi Saw bersabda:
 
« مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ »(رواه الحاكم)
 
Barangsiapa yang akhir hayatnya membaca لا اله الاالله maka ia akan masuk surga.” (HR al-Hakim)
 
Terdapat keterangan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami (I/449) sebagai berikut:
 
Tetapi ada juga yang menyarankan cukup membisikkan terus kalimat Allah, Allah, Allah, Allah Allah... Ketika mendampingi seseorang yang sedang sakaratul maut, karena itu lebih mudah bagi mereka. Cukup kalimat pendek tersebut sebagai ganti talqin, karena dikhawatirkan bacaan La ilaha illallah terputus di tengah jalan menjadi Laa Ilaaha”, sebab kondisi mereka yang sudah kepayahan mendekati ajal.
 
Menurut qaul sahih penalkinan dilakukan satu kali (tidak perlu diulangi), kecuali bila muhtadhar setelah ditalkin berbicara lagi, sekalipun yang dibicarakan itu masalah ukhrawi. Pada saat yang semacam itu  maka talkin sunnah untuk diulang kembali. Menurut Imam As-Shamiri talkin tidak sunnah diulangi selama muhtadhar tidak membicarakan urusan duniawi. Talkin untuk seorang muslim tidak memakai lafal tasbih dan ashadu, kedua lafadz tersebut digunakan untuk mentalkin orang kafir yang diharapkan masuk Islam.
 
Orang yang melakukan talkin disunnahkan bukan ahli waris, bukan musuhnya, atau orang yang hasud/iri kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghindari dugaan bahwa mereka mengharapkan kematian muhtadhar. (Lihat: Nihayatuz Zain, 147)
 
Jika yang ada hanya ahli waris, maka hendaknya yang menalkin adalah ahli waris yang paling sayang kepadanya. (Lihat: Qulyubi, juz 1, 321)
 
4. Memberi minum kepada muhtadhar
Hal ini disunnahkan, terutama bila ada tanda bahwa ia meminta minum. Sebab pada waktu itu setan menawarkan minum yang akan ditukar dengan keimanan.
 
Wallahu a’lam
Read More
      edit