Monday, October 28, 2019

Published October 28, 2019 by with 0 comment

Memahami Hakikat Tawassul

Hakikat Tawassul
Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa', istighatsah, isti'anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakikat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul --dan istilah-istilah lain yang sama-- dengan definisi sebagai berikut:
 
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوِ انْدِفَاعِ مُضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا لِلْمُتَوَسَّلِ بِهِ

“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan keduanya.” (Lihat: al-Hafizh al-‘Abdari, al-Syarh al-Qawim, h. 378)
 
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali utuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir dan musyrik. Padahal hakikat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.
 
Ide Dasar Tawassul
Allah Swt telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum sebab - akibat (kausalitas). Sebagai contoh: Allah sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sedikitpun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya.
 
Allah Swt berfirman:
 
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
 
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu..." (QS. al-Baqarah: 45)  
 
Allah Swt juga berfirman:

وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
 
"Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah)." (QS. al-Maidah: 35) 
 
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah Swt telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah Swt.
 
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi syara' sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah Swt. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri.
 
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah, sedangan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sabab 'adi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar'i (sebab-sebab yang diperkenankan syara'). 
 
Seandainya tawassul bukan sabab syar'i, maka Rasulullah Saw tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar ber-tawassul dengannya. Dalam hadits disebutkan Rasulullah Saw mengajarkan kepada orang buta untuk berdoa dengan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ... إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ فَتَقْضِي لِي

"Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, aku menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu, Muhammad, Nabi yang penyayang, Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawajjuh dengan perantaramu kepada Rabbku pada kebutuhanku ini, maka putuskanlah kepadaku. Ya Allah, sembuhkanlah bagiku."
 
Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah Saw ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika ia tidak berada di hadapan Nabi Saw (tidak di majelis Rasulullah Saw) dan kembali ke majelis Rasul Saw dalam keadaan sembuh dan bisa melihat.
 
Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dialkukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasulullah Saw. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi.
 
Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa'i dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah, Ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibnu Majah, al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir, al-Mu'jam al-Shaghir, dan al-Du'a dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail -al-Nubuwwah dan al-Da'awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits muta'akhkhirin hadits di atas disebutkan oleh Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.
 
Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dengan Nabi Saw pada saat Nabi Saw masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi Saw setelah beliau wafat seperti diajarakan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayyidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Saw hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.
 
Wallahu a'lam  
      edit

0 comments:

Post a Comment