Tuesday, October 29, 2019

Published October 29, 2019 by with 0 comment

Dalil-dalil Tawassul (1)

Berikut akan kami kemukakan beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan ber-tawassul dengan para nabi dan wali. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk memahaminya.
 
1. Hadits Sayyidina Umar ra ketika melakukan shalat istiqa'
 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا، قَالَ فَيُسْقَوْنَ

"Dari Anas bin Malik ra, belia berkata, "Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin Khaththab ra bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa, "Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi Saw, maka Engkau turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Saw, maka turunkanlah hujan." Anas ra berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami." (Shahih al-Bukhari [954])
 
Menyikapi tawassul Sayyidina Umar ra ini, Sayyidina Abbas ra kemudian berdoa:
 
اَللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ، وَلاَ يُكْشَفُ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ، قَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِيْ إِلَيْكَ لِمَكَانِيْ مِنْ نَبِيِّكَ ... إلخ

"Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum Muslimin bertawassul denganku untuk memohon kepada-Mu, karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu..." Diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar. (al-Tahdzir min al-Ightirar, 125)
 
Hadist di atas menunjukkan disunnahkannya ber-tawassul dengan orang-orang saleh dan keluarga Nabi Saw sebagaimana dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (II/497).Pada hakikatnya tawassul yang dilakukan Sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas tersebut merupakan tawassul dengan Nabi Saw (yang pada saat itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi Saw dan kedudukannya di sisi Nabi Saw.
 
2. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Nabi Saw
 
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى
 
“Dari Utsman bin Hunayf bahwa seorang laki-laki yang buta matanya datang kepada Nabi Saw seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku.” Beliau bersabda, “Jika engkau mau maka aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau maka bersabarlah, karena hal itu lebih baik bagimu.” Laki-laki itu berkata, “Berdoalah kepada Allah untukku.” Utsman bin Hunayf berkata, “Lalu Nabi Saw memerintahkannya untuk berwudhu, kemudian ia pun membaguskan wudhunya dan berdoa dengan doa berikut ini, “Ya Allah, aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku denganmu berkait dengan hajatku ini...”
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502), dan menilainya hasan shahih, al-Nasa'i dalam 'Amal al-Yaum wa al-Laylah (h. 417), Ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibnu Majah (I/441), al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du'a (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da'awat al-Kabir dan ulama-ulama lain.
 
Dari kalangan ahli hadits muta'akhkhirin, hadits ini disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, dan lain-lain.
 
Jika ada yang mengatakan bahwa makna:
 
للَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى
 
adalah:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
 
dengan dalil perkataan Nabi Saw di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ

"Jika engkau mau maka aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau maka bersabarlah..."
 
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi Saw ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal itu tidak diperbolehkan!
 
Pernyataan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas tidak disebutan Nabi Saw benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu, Rasulullah Saw kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana yang disebutkan oleh perawi hadits di atas:
 
فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ

"Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah Saw, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majelis Rasulullah Saw, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali."
 
Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi Saw di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:
  
وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْبِهِ
 
"Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya." 
 
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, doa yang diajarkan oleh Nabi Saw kepada orang buta ini juga diajarkan oleh Utsman bin Hunayf, sang perawi hadits tersebut, kepada seseorang yang punya hajat untuk bertemu dengan Khalifah Utsman bin Affan.
 
Silakan simak riwayat berikut:
 
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ  أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فِيْ حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِيْ حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيْضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ (رواه الطبرانى فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة)

Diriwayatkan dari Utsman bin Hunayf bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun Sayyidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunayf (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunayf berkata: Ambillah air wudhu' kemudian masuklah ke masjid, shalatlah dua rakaat dan bacalah: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunayf dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memenuhi hajatnya..” (HR Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)
 
Riwayat ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal dunia.

Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani berkata:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ أَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِي الْمَانِعُ، مَاشَاءَ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

"Hadits ini menjadi dalil bolehnya bertawassul dengan Rasulullah Saw kepada Allah Swt dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak scara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi." (al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180)

Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali juga dibolehkan.

Bersambung...
      edit

0 comments:

Post a Comment