Salah satu pertanyaan yang sering diajukan dalam masalah
shalat adalah tentang posisi tangan saat i’tidal, apakah diluruskan ke bawah
ataukah kembali bersedekap? Dalam praktiknya kita menemukan ada yang kembali
bersedekap dan ada pula yang meluruskan ke bawah.
Perlu diketahui bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur’an
maupun al-Hadits yang secara tegas menyebutkan tentang bagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangannya pada saat i'tidal: bersedekap
ataukah melepaskannya lurus ke bawah.
Terdapat sejumlah hadits yang menggambarkan posisi tangan
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat berdiri di dalam shalat. Di
antaranya adalah hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، -
وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ
يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ
يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا
قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ
بَيْنَ كَفَّيْهِ
“Wâil bin Hujr melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat kedua tangannya saat memasuki shalat sembari takbiratul ihram.
Hammam memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam (saat mengangkat kedua tangannya) adalah sejajar dengan kedua
telinganya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangan
ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan ruku’, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian
lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu beliau mengucapkan sami‘allaahu liman hamidah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam
mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, beliau sujud di antara kedua telapak tangannya.” (HR Muslim)
Dalam riwayat An-Nasa’i dan Ahmad yang juga bersumber
dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ
بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
“Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berdiri dalam
shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. An-Nasa'i dan Ahmad)
Kalangan yang kembali bersedekap saat i’tidal biasanya
berdalil dengan hadits-hadits di atas dan ditambah dengan hadits musi’
shalatuhu (orang yang jelek shalatnya), di dalamnya disebutkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:
ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى
رُكْبَتَيْهِ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ ثُمَّ رَفَعَ حَتَّى أَخَذَ
كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ
“Kemudian
ruku’ lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh
mengambil posisinya. Kemudian bangkit dari ruku’ dan setiap anggota tubuh mengambil
posisinya.” (HR Ahmad)
Jika kita cermati hadits-hadits di atas sebenarnya tidak
menyebutkan bagaimana posisi tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat i’tidal,
namun masing-masing konteksnya adalah saat beliau sedang berdiri (sebelum
ruku’). Sedangkan hadits yang disebut terakhir menerangkan tentang posisi berdiri
saat i’tidal dengan meluruskan tubuh sehingga tulang punggung kembali pada
posisi awalnya. Ini sesuai dengan hadits berikut:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ
صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
“Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka
luruskanlah tulang punggungmu hingga setiap tulang kembali pada posisinya.” (HR Ahmad)
Karena hadits-hadits yang ada secara tekstual tidak
menyebutkan secara tegas bagaimana posisi tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
saat i’tidal, maka perlu bagi kita untuk melihat bagaimana para ulama
menjelaskan tentang masalah ini.
Imam Ramli dalam karyanya Nihayatul Muhtaj
menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak
bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada,
sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar
dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya. Teks lengkapnya sebagai
berikut:
وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ
صَدْرِهِ: أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ
الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ
كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ
“Menaruh
kedua tangan di bawah dada, maksudnya kegiatan tersebut dilaksanakan pada semua
posisi berdirinya orang shalat sampai ia akan ruku’. (Jika akan ruku’ maka
dilepas). Teks tersebut tidak berlaku pada saat berdiri i'tidal. Pada waktu
i'tidal, janganlah menaruh kedua tangannya di bawah dadanya, namun lepaskan
keduanya. Baik saat membaca dzikirnya i'tidal, atau bahkan setelah selesai qunut.” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Dârul Fikr, Beirut, 1984), juz 1, halaman 549)
Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I‘anatut
Thalibin juga mengatakan hal yang senada. Hal ini bisa disimak dalam
tulisannya berikut:
وَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ ابْتِدَاءُ
رَفْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ، وَيَسْتَمِرُّ إِلَى
انْتِهَائِهِ ثُمَّ يُرْسِلُهُمَا
“Yang
paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan
dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang
selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan
dilepaskan.”
(Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, [Dârul Fikr, 1997], juz 1, halaman
158)
Dengan
demikian Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha menganjurkan agar melepaskan tangan pada saat i’tidal, bukan kembali
bersedekap dengan menaruh
di bawah dada.
Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berikut:
عَنْ عَلِيِّ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
وَضَعَ يَمِيْنَهُ عَلَى رُسْغِهِ فَلاَ يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يَرْكَعَ إِلاَّ أَنْ
يُصْلِحَ ثَوْبًا وَلِحَكِّ جَسَدِهِ - رواه ابن ابي شيبة في المصنف
"Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ketika beliau melaksanakan
shalat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu terus
dilakukan hingga beliau ruku' atau untuk memperbaiki pakaian serta menggaruk badannya."
(Mushannaf
Ibn Abi Syaibah, Juz II, halaman 255).
Kata-kata “hingga beliau
ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah
bersedekap yang dianjurkan di dalam shalat. Sedangkan pada saat i'tidal tidak
disunnahkan lagi untuk bersedekap.
Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada saat i’tidal
yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan (tidak
bersedekap). Namun jika ada
yang bersedekap maka hal itu tidak sampai membatalkan shalat.
Wallahu a’lam...
0 comments:
Post a Comment