Di dalam kitab Hikayatus Shalihin karya al-Alim Ahmad
Yasin bin Asymuni, dikisahkan tentang sikap salah satu nabi yang mempertanyakan
keadilan Allah. Berikut kisah lengkapnya.
Dikisahkan
ada seorang nabi yang sedang beribadah di gunung yang sangat tinggi. Di gunung
tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dengan air yang sangat jernih.
Setiap pagi hingga menjelang malam, sang nabi duduk bersila di puncak gunung
untuk berdzikir kepada Allah.
Pemilihan
tempat di puncak gunung memiliki tujuan untuk menghindari penglihatan dan
pujian manusia. Dari puncak tersebut, sang nabi juga bisa melihat siapapun yang
beristirahat di dekat sumber mata air untuk melepas lelah dan mengambil
air.
Suatu
hari ketika sang nabi sedang duduk berzikir kepada Allah, Ia melihat seorang
penunggang kuda yang sedang berjalan menuju sumber mata air. Setelah berada
dekat dengan sumber mata air, penunggang kuda turun dari kudanya sambil melepas sebuah bungkusan dari leher
kudanya. Setelah itu, penunggang kuda beristirahat dan meletakkan bungkusan di
sebelahnya. Setelah beristirahat, meminum air, dan mengambil air secukupnya
sebagai bekal; penunggang kuda melanjutkan perjalanannya dan melupakan
bungkusannya di dekat sumber mata air. Bungkusan tersebut berisi beberapa
keping dinar.
Selang
beberapa saat, datang seorang laki-laki mendekati sumber mata air dan melihat
bungkusan yang berisi beberapa keping dinar yang tergeletak tanpa ada
pemiliknya (sebenarnya milik penunggang kuda). Tanpa bertele-tele, lelaki
tersebut mengambil bungkusan uang milik penunggang kuda. Setelah menyelesaikan
rasa hausnya, lelaki tersebut pergi meninggalkan sumber mata air dengan
bungkusan uang di pundaknya.
Selanjutnya,
datang seorang pemanggul kayu bakar yang juga ingin beristirahat dan meminum
air di sumber mata air. Ia memanggul kayu bakar dengan tertatih-tatih dan ingin
melepas letih dengan air yang sangat jernih dari sumber mata air.
Tiba
tiba, datanglah penunggang kuda yang hendak mengambil bungkusannya yang
tertinggal. Penunggang kuda menyapu pandangannya ke segala arah di sumber mata
air dan hasilnya nihil. Penunggang kuda tidak menemukan bungkusannya. Akhirnya, penunggang kuda
bertanya kepada pemanggul kayu.
“Hei,
Kau! Di mana bungkusanku yang kuletakkan di sini?” penunggang kuda bertanya
dengan nada marah.
“Sungguh aku baru tiba di sini dan aku
tidak melihat apa pun di sini,” jawab pemanggul kayu.
Jawaban yang disampaikan pemanggul kayu
ternyata dibalas oleh penunggang kuda dengan tebasan pedang dan akhirnya
pemanggul kayu meninggal dunia. Setelah memeriksa pakaian pemanggul kayu
dan tidak menemukan apapun, penunggang kuda memutuskan lari dan melanjutkan
perjalanannya.
Sang
nabi yang melihat nasib tiga laki-laki tersebut, mulai mempertanyakan keadilan
Allah. Sang nabi berkata: “Ya Allah, seorang lelaki mengambil sesuatu yang
bukan miliknya dan penunggang kuda membunuh pemanggul kayu dengan salah sangka.
Bukankah ini semua adalah kezaliman?”
Kemudian
Allah menurunkan wahyu kepada sang nabi: “Fokuslah terhadap ibadahmu, jangan
mengatur perkara yang bukan urusanmu! Ketahuilah sesungguhnya orangtua si
penunggang kuda telah mencuri 1000 keping dinar milik orangtua si laki-laki
yang mengambil bungkusan penunggang kuda. Bukankah urusannya menjadi selesai,
sebab si anak menjadi ahli waris orang tuanya? Dan sesungguhnya si pemanggul
kayu pernah membunuh orangtua si penunggang
kuda. Bukankah urusannya juga menjadi adil, sebab si pemanggul kayu telah
mendapatkan qishash?”
***
Kesalahan
terbesar manusia adalah merasa tahu atas segala sesuatu. Padahal
yang diketahui itu hanyalah sekedar sesuatu yang belum diketahui hakikatnya. Hal yang disangka baik bisa jadi ternyata buruk. Dan
sebaliknya, sesuatu
yang dikira buruk boleh jadi pada hakikatnya adalah baik. Satu-satunya
hal yang bisa kita lakukan adalah selalu berprasangka baik (husnuzhan)
kepada Allah Ta’ala terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment