Riba
secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah, Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya
salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan
ini”. Misalnya, menukarkan 10 kg beras ketan dengan 12 kg beras ketan, atau si A bersedia
meminjamkan uang sebesar Rp 500.000 kepada si B, asalkan si B bersedia
mengembalikannya sebesar Rp 525.000.
Para
ulama seluruhnya
sepakat bahwa riba adalah haram. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank sekalipun juga sepakat akan
haramnya riba.[1]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum
keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga
bank menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama yang
membolehkannya meyakini bahwa bunga bank tidak termasuk riba.
Perlu diketahui, dalam bank konvensional terdapat dua
macam bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan
oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan
uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan
merupakan harga beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang
dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam
kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan
harga jual.
Bunga
simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan
merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak bank.[2]
Para
ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Pertama,
yang
berpendapat bahwa bunga bank itu haram. Para ulama yang termasuk dalam kelompok
ini adalah Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad
al-Ghazali. Haramnya bunga bank ini juga termasuk pendapat dari forum ulama Islam, meliputi: Majma’
al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Adapun
dalil diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. al-Baqarah: 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dalil lainnya
adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari
Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang
memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang
menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim)[3]
Kedua, yang
berpendapat bahwa bunga bank itu tidak termasuk riba dan hukumnya adalah boleh.
Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh
Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syaikh Abdul Wahab Khallaf,
dan Syaikh Mahmud Syaltut. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan
Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah, tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal
28 November 2002 M.
Adapun dalil para ulama yang membolehkan bunga bank dan
menyatakannya tidak termasuk riba adalah
firman Allah subhanahu wata’ala dalam QS. an-Nisa’: 29:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu.”
Pada
ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang
lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, meng-ghasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya,
Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan
dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi
untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank,
dibenarkan dalam Islam.
Di
samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika
bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram,
sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan
dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda
antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
Di
dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
إِنَّ اسْتِثْمَارَ
الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا
حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ
“Sesungguhnya
menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan atau bunga di
depan,
hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa.”[4]
Dari
paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah
khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama
yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka
semua sepakat bahwa riba hukumnya haram.
Karenanya,
seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan
hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh, maka ia bisa mengikuti pendapat
ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti
pendapat ulama yang mengharamkannya. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
البِرُّ مَا اطْمَأَنَّ
إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتُوْكَ
“Kebaikan
adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa saja yang menyebabkan hati bimbang dan
cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad)
Wallahu a’lam
[1] Lihat:
Al-Mabsut, Juz 14 hal.36; Al-Syarh
al-Kabir, Juz 3 hal. 226; Nihayatul
Muhtaj, Juz 4 hal. 230; Al-Mughni,
Juz 4 hal. 240; dan Al-Tafsir
al-Wasit, Juz 1, hal. 513.
[3] Lihat:
Yusuf Qaradhawi,
Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-11;
Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga.
0 comments:
Post a Comment