Sunday, January 26, 2020

Published January 26, 2020 by with 0 comment

Bunga Bank: Riba?

Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah, Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini”. Misalnya, menukarkan 10 kg beras ketan dengan 12 kg beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp 500.000 kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp 525.000.
 
Para ulama seluruhnya sepakat bahwa riba adalah haram. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank sekalipun juga sepakat akan haramnya riba.[1]
 
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa bunga bank tidak termasuk riba.
 
Perlu diketahui, dalam bank konvensional terdapat dua macam bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan harga beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual.
 
Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak bank.[2]
 
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Pertama, yang berpendapat bahwa bunga bank itu haram. Para ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali. Haramnya bunga bank ini juga termasuk pendapat dari forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 
Adapun dalil diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. al-Baqarah: 275:
  
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
 
Dalil lainnya adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
 
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
 
Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim)[3]
 
Kedua, yang berpendapat bahwa bunga bank itu tidak termasuk riba dan hukumnya adalah boleh. Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Syaikh Abdul Wahab Khallaf, dan Syaikh Mahmud Syaltut. Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah, tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.
 
Adapun dalil para ulama yang membolehkan bunga bank dan menyatakannya tidak termasuk riba  adalah firman Allah subhanahu wata’ala dalam QS. an-Nisa’: 29:
 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
 
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, meng-ghasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam.
 
Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
 
Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:
 
إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ
 
Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan atau bunga di depan, hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa.[4]
 
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka semua sepakat bahwa riba hukumnya haram.
 
Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh, maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
البِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتُوْكَ
 
Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa saja yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan. (HR. Ahmad)
 
Wallahu a’lam


[1] Lihat: Al-Mabsut, Juz 14 hal.36; Al-Syarh al-Kabir, Juz 3 hal. 226; Nihayatul Muhtaj, Juz 4 hal. 230; Al-Mughni, Juz 4 hal. 240; dan Al-Tafsir al-Wasit, Juz 1, hal. 513.
[2] Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, hal. 503-504.
[3] Lihat: Yusuf Qaradhawi, Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-11; Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga.
[4] Lihat: Ali Ahmad Mar’i, Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-Azhar Press, halaman 134-158; Asmaul Ulama al-ladzina Ajazu Fawaidal Bunuk; Fatwa Majma' Buhuts al-Islam bi Ibahati Fawaidil Masharif.
      edit

0 comments:

Post a Comment