Ia memiliki
julukan sebagai Pedang Allah. Khalid bin al-Walid dikenal lantaran kecerdasan dan ketangguhannya sebagai pemimpin pasukan kuda Quraisy. Tanpa kehadiran
Islam di relung hatinya, sosok jenius ini semata-mata jagoan Kota Makkah yang
berperang demi memperebutkan harta atau sekadar fanatisme kesukuan.
Khalid awalnya
termasuk musuh Islam yang paling keras. Dalam Perang Uhud, ia memimpin pasukan
kuda Quraisy yang berhasil memukul balik pertahanan kaum Muslimin. Saat itu,
pada mulanya kaum kafir Quraisy terdesak sehingga berlarian menyingkir dari
tebasan pedang pasukan Muslim.
Mereka
meninggalkan harta benda di belakang. Melihat musuhnya tunggang- langgang,
pasukan Muslim yang bertugas mengawasi dengan senjata panah dari bukit justru
turun merebut harta rampasan perang. Di sinilah Khalid melihat peluang.
Khalid bergegas
menyerang pasukan Muslim dari arah belakang. Dalam situasi terkejut, cukup
banyak pasukan Muslim yang terkena serangan anak buah Khalid. Akan tetapi, Khalid
tidak mampu menembus benteng kokoh yang terdiri atas tubuh-tubuh kelelahan para
sahabat yang setia menjadi tameng hidup untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, dalam diri mereka terdapat keimanan yang kuat,
sedangkan dalam pasukan Quraisy hanya ada nafsu dendam.
Masuk Islamnya
Khalid tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang.
Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah.
Di sisi lain, kondisi di Makkah kian melemah. Enam tahun setelah peristiwa
hijrah, perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pemimpin Quraisy.
Dalam pada itu,
kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya. Lantaran perjanjian
ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan
seluruh pengikutnya berhak melakukan perjalanan ibadah haji ke Makkah dalam
situasi kondusif.
Khalid mengamati langsung bagaimana umat Islam berbondong-bondong bergerak
bersama-sama dari Madinah ke Makkah hanya untuk satu tujuan, yakni menuntaskan
kerinduan pada kampung halaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjalani
ibadah haji.
Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad
bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih
luhur, yakni keimanan pada Allah subhanhu wata’ala. Dengan kata lain, Nabi tidak menyimpan dendam pada orang-orang
Quraisy yang telah menyingkirkannya dari Makkah.
Seperti ditulis
dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat, pada
suatu hari Khalid merenungkan agama Islam yang ia saksikan sendiri semakin
besar pengikut dan maruahnya. Khalid pun berkata, Demi Allah, sungguh jalan
kebenaran telah tampak. Orang itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) benar-benar utusan Allah. Lalu, sampai kapan aku memeranginya?
Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam.
Keinginan
Khalid ini mendapat kecaman dari tokoh Quraisy, Abu Sufyan. Namun, Khalid tidak
menyerah. Ia pun menemui Utsman bin Thalhah dan selanjutnya berpapasan dengan
Amr bin al-Ash. Ketiganya pergi ke Madinah menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di hari pertama bulan Shafar
tahun delapan Hijriyah.
Ketika berjumpa
dengan Nabi, Khalid mengucapkan salam pujian. Wajah Rasulullah berseri-seri
dengan menjawab salam Khalid dan dua temannya itu. Sesudah mengucapkan dua
kalimat syahadat, Khalid memohon ampunan kepada Allah dan meminta pengertian
dari Nabi akan perangainya dahulu sebagai pemimpin pasukan kafir Quraisy. Rasul
pun bersabda, Sesungguhnya Islam menghancurkan dosa-dosa yang dilakukan
sebelumnya (orang masuk Islam).
Membela Islam
Sebagai pemuka
pasukan Muslimin, perang pertama yang dijalani Khalid adalah Perang Mu'tah. Dalam
kecamuk peperangan itu, pembawa panji Islam telah gugur sebagai syahid.
Kemudian, Tsabit bin Aqram merebut panji Islam dan mengangkatnya tinggi-tinggi
sambil berseru, Wahai sekalian kaum Anshar!
Maka, pasukan
Muslimin segera mendatanginya. Di hadapan mereka, Khalid menerima panji dari
tangan Tsabit. Demi Allah, aku Tsabit bin Aqram tidaklah mengambil bendera ini
melainkan untuk aku serahkan kepadamu (Khalid).
Dengan semangat
yang menyala- nyala, Khalid memimpin serangan balasan terhadap pasukan kafir
Quraisy. Sejak Perang Mu'tah ini, tidak ada peperangan berikutnya dalam sejarah
jihad Islam yang tidak disertai Khalid.
Sesudah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
sejumlah golongan mengumumkan murtad dari agama Islam. Jazirah Arab kembali
bergolak. Khalid memimpin pasukan Muslim untuk menghadapi kaum yang menolak
membayar zakat serta memecah- belah persatuan umat Islam itu.
Setelah situasi
Jazirah Arab cukup kondusif, kekuasaan Islam mencakup hingga Irak dan
perbatasan Syam (Suriah). Di Irak, pasukan Muslim bertemu dengan bala tentara
Persia di bawah komando Raja Kisra yang lalim.
Khalid memimpin
pasukan Muslim sehingga memenangi pertempuran melawan pasukan Kisra. Usai itu,
Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq kemudian memerintahkan pasukan Khalid kembali ke
negeri Syam. Di sana, sudah menunggu pasukan Romawi yang angkuh.
Khalid membawa
10 ribu personel dari Irak melintasi padang pasir ke arah Syam. Mereka
menerobos gersangnya gurun dengan perbekalan seadanya. Namun, semua dilalui
dengan kepatuhan, keimanan yang teguh, dan kesabaran.
Sesampainya di
tujuan, Khalid melihat pasukan Romawi yang begitu besar jumlahnya. Ia tidak
gentar dan segera mempersiapkan perlengkapan perangnya. Pertempuran antara
pasukan Muslim dan pasukan Romawi terjadi di Ajnadin. Kemenangan berada pada
pihak Khalid . Setelah itu, pasukan Muslim bergerak menuju medan Yarmuk, di
mana pasukan Romawi lainnya sudah menunggu.
Saat itu, jumlah pasukan Muslim tak lebih dari 45 ribu personel, sedangkan pasukan Romawi terdiri atas 200 ribu prajurit dengan perlengkapan perang yang lebih unggul. Akan tetapi, Khalid tak gentar dan berusaha mempelajari strategi musuh untuk kemudian menemukan kelemahan-kelemahan mereka. Baik perang di Ajnadin maupun Yarmuk berakhir dengan kekalahan di pihak Romawi. Sejak saat itu, negeri Syam bersih dari kekuasaan Romawi.
0 comments:
Post a Comment