Monday, January 20, 2020

Published January 20, 2020 by with 0 comment

Tanda Orang yang Bergantung kepada Amal

مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Di antara tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.”

KH. Sholeh Darat berkata:
Ketahuilah wahai sālik,[1] bahwasanya wajib bagi orang mu’min yang shādiq[2] untuk berpegang teguh pada Allah subhanahu wata’ala semata. Yakni, jangan sekali-kali kamu bersandar diri pada selain Allah. Ilmu dan amal ibadahmu itu tidak bisa dijadikan pengharapan. Jangan pernah sekali-kali membuat keyakinan di dalam hatimu bahwa amal ibadahmu bisa memasukkanmu ke dalam surga, menyelamatkan dari api neraka, serta menjadikan wushūl (sampai) kepada Allah. Hal itu tidak bisa, benar-benar tidak bisa.

Apakah kamu tidak mengetahui kisah Pendeta Bal‘am bin Ba‘ura dan Qārūn yang keduanya adalah ahli ibadah? Qārūn merupakan ulama Bani Isrā’īl, tetapi saat menghadapi ajal keduanya mati dalam keadaan kafir. Apakah kamu tidak mengetahui kisah Sayyidah ‘Āsiyah binti Muzāhim, walaupun beliau menjadi istri Fir‘aun, beliau adalah kekasih Allah subhanahu wata’ala, bahkan beliau akan menjadi istri Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam besok di surga.

Akhirnya, baik iman ataupun kufur, masuk surga atau masuk neraka, itu semua adalah berkat fadhal (karunia) dan keadilan dari Allah subhanahu wata’ala semata. Sama sekali bukan dikarenakan ketaatan dan kemaksiatan setiap insan. Yang benar adalah, ketaatan dan kemaksiatan itu menjadi sebab dan menjadi tanda bagi orang yang akan masuk surga atau masuk neraka, tetapi kesemuanya tidak dapat memberi akibat atau dampak.

Wahai murīd[3], ambillah ibarat dari kisah putra Nabi Nuh ‘alaihissalam dan kisah istri Nabi Lūth ‘alaihissalam yang keduanya mati dalam keadaan kafir. Tegasnya, orangtua tidak bisa menjamin anaknya, suami tidak bisa menolong istrinya dari siksa Allah subhanahu wata’ala walaupun keduanya adalah seorang nabi. Bahkan, wajib baginya berpegang teguh kepada Allah subhanahu wata’ala, bukan kepada yang lain.

Saat kamu, hai orang yang berakal, sudah mengetahuinya, maka bersandarlah kamu pada Allah subhanahu wata’ala semata dalam segala keadaan, bahkan dalam urusan rezeki sekali pun. Jangan sekali-kali hatimu merasa ada sesuatu selain Dia yang dapat memberi manfaat atau memberi bahaya kepadamu, dan tentu ini tidak akan terjadi.

Dari sini, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan tanda-tanda orang yang menyandarkan diri kepada selain Allah subhanahu wata’ala melalui perkataan beliau berikut ini:

مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Di antara tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.”

Di antara tanda bahwa seseorang itu bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah kurangnya pengharapan terhadap rahmat anugerah Allah ketika terjadi padanya suatu kesalahan atau dosa.

Misalnya, maksiat atau lupa dari mengingat Allah subhanahu wata’ala, yaitu ketika hati seseorang berkata setelah melakukan kesalahan:  “Aku pasti akan masuk neraka sebab dosaku ini, dan Allah tidak akan mengampuni dosaku ini”. Akan tetapi, seharusnya orang yang jatuh dalam sebuah dosa harus mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wata’ala dan merasa bahwa ia melakukan dosa itu karena sifat Qahhār (Maha Pemaksa) Allah subhanahu wata’ala. Takutlah kamu jika Allah subhanahu wata’ala menempatkanmu dalam posisi yang selalu melakukan maksiat dan selalu berharaplah pada sifat Maha Pengampun Allah subhanahu wata’ala berikut anugerah-Nya.

Demikian halnya, wajib bagi orang yang memiliki sifat[4], jangan sekali-kali kamu merasa bahwa kamu ahli berbuat ketaatan dan jangan sekali-kali kamu merasa ketaatanmu bisa mendekatkan pada Allah subhanahu wata’ala atau bisa memasukkanmu ke dalam surga. Akan tetapi, merasalah bahwa ketaatan yang kamu perbuat itu lantaran anugerah Allah subhanahu wata’ala kepadamu dan kamu sudah dikeluarkan dari perbuatan maksiat dan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala. Jika tidak ada anugerah Allah, niscaya kamu tidak akan mau berbuat ketaatan, dan sesungguhnya anugerah Allah yang diberikan pada kamu itu karena fadhal Allah semata, bukan karena amal yang menyertaimu.

Jika sudah begitu, maka tidak patut bagimu untuk memohon pahala kepada Allah atas amal perbuatan yang kamu lakukan, karena kamu bukanlah orang yang ahli dalam amal-ibadah. Akan tetapi, Allah-lah yang memberi amal pada kamu dan hendaklah kamu bersyukur atas pemberian yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Banyak dari kamu yang dikasihi Allah ialah diberi ketaatan dan iman, dan tanda murkanya Allah adalah diberikannya maksiat dan kufur.


[1] Perambah jalan kebenaran spiritual dengan berbagai riyādhah.
[2] stilah shādiq diberikan kepada orang yang ahli dalam melakukan kebenaran dan selalu dikaitkan dengan kebenaran. Di atasnya terdapat shiddīq, yaitu kebenaran yang lebih banyak lagi daripada yang dilakukan shādiq. Maksudnya, baik shādiq maupun shiddīq sama-sama didominasi oleh kebenaran, bedanya dominasi kebenaran yang menguasai shiddīq lebih banyak.
[3] Orang yang menghendaki sampai kepada Allah subhanahu wata’ala.
[4] Barang kali yang dimaksud adalah hal dalam istilah kaum sufi.
      edit

0 comments:

Post a Comment