Para ulama berpendapat bahwa hukum
menyiramkan air dan bunga di atas kuburan adalah sunnah. Pernyataan ini bisa
kita dapatkan, misalnya, di dalam kitab Nihayah al-Zain. Di sana Imam Nawawi
al-Bantani berkata:
وَيُنْدَبُ
رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ، تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجَعِ، وَلاَ
بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَاءِ الْوَرْدِ، لِأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ
الرَّائِحَةَ الطَّيِّبَةَ
“Disunnahkan
untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai
pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa
menyiram kuburan dengan sedikit air mawar, karena malaikat senang pada aroma
yang harum.” (Nihayah al-Zain, hal. 145).
Tentu saja
pendapat Imam Nawawi al-Bantani di atas bukan tanpa dasar. Beliau berfatwa
demikian dengan bersandarkan pada hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ
يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى كَانَ
أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي
بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ فَوَضَعَ عَلَى
كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً فَقِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ
هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا أَوْ إِلَى
أَنْ يَيْبَسَا
“Dari Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati
perkebunan penduduk Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang
yang sedang di siksa dalam kubur mereka. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah
keduanya disiksa disebabkan dosa besar.” Lalu beliau menerangkan, “Yang satu
disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya lagi
disiksa karena suka mengadu domba.” Beliau kemudian minta diambilkan sebatang
dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelah menjadi dua bagian, kemudian
beliau menancapkan setiap bagian pada dua kuburan tersebut. Maka beliau pun
ditanya, “Kenapa Tuan melakukan ini?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan siksanya
diringankan selama dahan itu masih basah.” (HR Bukhari).
Lebih ditegaskan
lagi dalam I’anah al-Thalibin:
يُسَنُّ
وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ
يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ
طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
“Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang
masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan dapat meringankan beban si mayat karena barakah bacaan tasbihnya dan hal
ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum
dan basah atau yang masih segar.” (I’anah al-Thalibin, Juz II, halaman 119).
Penjelasan disertai dalil-dalil di atas
sesungguhnya sudah cukup untuk dijadikan dasar menyiramkan air dan bunga di
atas pusara seseorang yang diziarahi pada saat kita melakukan ziarah kubur.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment