Thursday, January 30, 2020

Published January 30, 2020 by with 0 comment

Menjawab Tuduhan Haram Bershalawat Diiringi Rebana

Dalil yang Mengharamkan:
Nabi Saw dan para sahabat tidak pernah melakukan pembacaan shalawat dengan diiringi rebana sebagaimana yang banyak dilakukan orang saat ini. Perbuatan itu adalah bid’ah yang haram dilakukan dan pelakunya diancam masuk ke dalam neraka.
 
Jawaban:
Imam Syafi’i berkata:
 
كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تَرْكَهُمْ لِلْعَمَلِ بِهِ قَدْ يَكُوْنُ لِعُذْرٍِ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ لِمَا هُوَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيْعَهُمْ عِلْمٌ بِهِ -- الحافظ الغمار، إتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة، ص/٥
 
“Segala sesuatu yang memiliki dasar dari dalil-dalil syar’i, maka bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan pada masa salaf. Karena sikap mereka yang meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau barangkali hal itu belum terlintas di dalam pengetahuan mereka.”
 
Selain itu perlu dipahami bahwa dalam pembahasan hukum bershalawat dengan diiringi rebana ini tercakup di dalamnya dua hal, yakni bershalawat dan menabuh rebana. Kedua hal ini memiliki landasan di dalam syariat Islam.
 
a. Perintah Bershalawat
Allah Swt berfirman:
 
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab ayat 56)
 
b. Dalil Kebolehan Menabuh Rebana
 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ قَالَ، قَالَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ، فَقَالَ دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
 
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadhdhal, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata, “Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afra’ berkata, “Suatu ketika Nabi Saw datang dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda, “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.” (HR Bukhari)
 
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ قَال، سَمِعْتُ بُرَيْدَةَ يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا
 
“Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Husain bin Waqid, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Buraidah dia berkata, “Aku mendengar Buraidah berkata, “Rasulullah Saw berangkat menuju salah satu peperangan, ketika telah usai seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan engkau dalam keadaan baik, maka aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di dekatmu.” Maka Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau telah bernadzar demikian, silahkan lakukan. Namun jika tidak, maka engkau tidak perlu lakukan.” (HR Tirmidzi)
 
Kesimpulan
Membaca shalawat adalah amalan yang dianjurkan oleh syariat Islam, bahkan perintah bershalawat tersebut langsung disampaikan Allah di dalam Al-Qur’an. Sedangkan menabuh rebana hukumnya adalah boleh.
 
Dalil yang Mengharamkan:
Surat al-Ahzab ayat 56 dan dua hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi yang disebutkan di atas hanya menunjukkan perintah bershalawat dan kebolehan menabuh rebana, tapi sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bershalawat diiringi dengan pukulan rebana. Ini jelas dilarang dalam syariat Islam.
 
Shalat itu ada perintahnya, dan makan makanan yang halal itu dibolehkan. Tapi apakah dengan demikian shalat sambil makan itu dibolehkan syariat? Tentu saja tidak. Shalawat itu ibadah, menabuh rebana itu dibolehkan. Apakah bershalawat diiringi tabuhan rebana itu dibolehkan? Jika dianalogikan dengan shalat dan makan tadi, tentu saja hal itu tidak dibolehkan.
 
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa para fuqaha mengklasifikasikan ibadah itu menjadi dua: Ibadah mahdhah dan Ibadah ghairu mahdhah.
 
a. Ibadah Mahdhah
Prinsip ibadah mahdhah dirumuskan dengan KA (Karena Allah) + SS (Sesuai Syariat).
Ibadah mahdhah sebagaimana yang telah disyariatkan meliputi ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam menjalankan apa yang telah diwajibkanNya: yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
 
Ibadah mahdhah ada dua, yakni:
 
1. Ibadah menjalankan perintah Allah dan Rasulullah yang sudah jelas secara zahir, dan umumnya ada rukun atau syaratnya.
 
2. Ibadah menjauhi segala apa yang telah dilarang (diharamkan) oleh Allah dan Rasulullah yang sudah jelas pula secara zahir.
 
Contoh ibadah mahdhah adalah penerapan dari rukun Islam, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji. Contoh lainnya yang rukun atau syarat sudah jelas secara zahir seperti umrah, bersuci, dan lain lain.
 
Dalam ibadah mahdhah berlaku kaidah ushul fiqih: Al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim (hukum asal ibadah itu haram) atau Al-ashlu fil ibaadaati al-khatri illaa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya). Mengapa demikian? Karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits. Jadi, merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
 
b. Ibadah Ghairu Mahdhah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah diformulasikan dengan BB (Berbuat Baik) + KA (Karena Allah).
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat. Ada yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah Saw.
 
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan. Wal ashlu fii ‘aadaatinal ibaahati hattaa yajii-u shaariful ibaahah (Dan hukum asal dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, biasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya).
 
Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan dzikir, shalawat, ratib, membaca Al-Qur’an (keterangan masalah ini bisa dibaca dalam Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshari atau Fathul Mu’in karya al-Malabari).
 
Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus. Orang dapat berdzikir kapan pun dan di manapun. Demikian juga dengan membaca Al-Qur’an. Namun tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
 
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa bershalawat bukanlah termasuk ibadah mahdhah sebagaimana halnya shalat. Menganalogikan hukum shalat sambil makan dengan membaca shalawat sambil diiringi tabuhan rebana jelas merupakan sebuah analogi yang keliru, karena kedudukan keduanya dalam klasifikasi ibadah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas berbeda.
 
Membaca shalawat sambil diiringi rebana adalah hal yang dibolehkan. Membaca shalawat merupakan amal yang dianjurkan, sedangkan menabuh rebana merupakan perbuatan yang dibolehkan. Maka menggabungkan keduanya bukanlah sebuah hal yang diharamkan. Jika ada yang mengatakan bershalawat sambil diiringi tabuhan rebana sebagai sesuatu yang haram, maka ia harus mampu menunjukkan dalil pengharamannya. Jika tidak, maka pendapat yang demikian itu hanyalah berdasarkan nafsu belaka, dan tidak boleh diikuti.
      edit

0 comments:

Post a Comment