Shalat ghaib adalah shalat jenazah
yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tapi berada di tempat lain.
Bisa jadi berada di desa lain ataupun di negara lain ataupun sudah
dimakamkan. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pernah
melaksanakan shalat ghaib. Dikisahkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيٍّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ
فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا. (صحيح البخاري،
رقم ١١٦٨)
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, "Sesungguhnya
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan kepada kaum muslimin
tentang wafatnya Raja Najasyi pada hari meninggalnya Raja Habasyah
tersebut. Lalu beliau berangkat ke mushalla bersama orang-orang. Para
sahabat membuat shaf (di belakang beliau) dan Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pun bertakbir empat kali." (Shahih al-Bukhari, [1168])
Hadits di atas secara tegas menjelaskan bahwa shalat ghaib itu termasuk sunnah Rasul. Maka, tidak ada alasan untuk melarangnya, dan hendaknya kita sebagai umat beliau mengikuti jejaknya.
Syaikh Muhammad Bakr Ismail mengatakan:
تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَنَازَةِ عَنِ الْغَائِبِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ
وَكَثِيْرٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْحَنَابِلَةِ فَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَّاشِيِّ مَلِكِ الْحَبَشَةِ حِيْنَ عَلِمَ
بِمَوْتِهِ. وَصَلَّى عَلَى زَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرٍ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ عَلِمَ اسْتِشْهَادَهُمَا بِمُؤْتَهُ (وَهِيَ اِسْمُ مَكَانٍ
وَقَعَتْ فِيْهَا مَعْرَكَةٌ حَامِيَةٌ وَغَيْرُ مَتَكَافِئَةٍ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَالرُّوْم). (الفقه الواضح من الكتاب والسنة، ج١ ص٤١٧)
"Kalangan Syafi'iyyah dan banyak dari ulama Hanbali membolehkan
shalat ghaib. (Hal ini) Telah terbukti bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam melaksanakan shalat ghaib untuk Raja Najasy, penguasa
negeri Habasyah ketika beliau mendengar kabar tentang kematiannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga melakukan shalat ghaib
untuk Zaid bin Haritsah dan Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma
ketika beliau mendengar kabar bahwa keduanya telah gugur sebagai syahid
di Mu'tah (yakni nama daerah tempat berkecamuknya peperangan yang
dahsyat. Di mana jumlah kaum muslimin tidak seimbang dengan bala tentara
Romawi)." (Al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz I, hal. 417)
Namun demikian, shalat ghaib tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bolehnya shalat ghaib. Yakni
dengan syarat sulitnya untuk datang melakukan shalat jenazah.
Syaikh Nawawi dalam kitab Nihayah al-Zain mengatakan:
وَالْمُتَّجَهُ
أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا. فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ
فِي الْبَلَدِ لِكَبِيْرِهَا وَنَحْوِهَا صَحَّتْ. فَحَيْثُ لاَ وَلَّوْ خَارِجَ السُّوَرِ
لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامَلِّيْسِي عَنِ ابْنِ قَاسِمٍ، فَلَوْ كَانَ
الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوَرِ فَهُوَ قَرِيْبًا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ. وَالْمُرَادُ
بِالْقُرْبِ هُنَا حَدُّ الْغَوْثِ. (نهاية الزين في إرشاد المبتدئين، ١٦٠)
"Menurut pendapat yang muttajah (yang dianggap kuat), bahwa yang
diperhitungkan dalam kebolehan shalat ghaib adalah ada atau tidaknya
masyaqqah (kesulitan). Maka, ketika ada kesulitan untuk menghadiri
shalat jenazah, sekalipun dalam satu daerah, karena daerahnya terlalu
luas atau lainnya, maka sah melakukan shalat ghaib. Jika tidak ada
kesulitan, sekalipun di luar daerah, maka tidak sah. Sebagaimana yang
dikutip oleh al-Syabramallisi dan Ibn Qasim. Maka andaikata ada mayit
yang ada di luar daerah tapi masih dekat, maka dianggap masih di dalam
daerahnya. Yang dimaksud dengan dekat di sini adalah batas jangkauan
suara orang yang berteriak." (Nihayah al-Zain, 160).
Paparan di atas mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa shalat ghaib
hukumnya boleh selama mememuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan,
seperti mayit berada di daerah yang sulit dijangkau sebagaimana yang
dilaksanakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk Raja
Habasyah.
Wallahu a'lam
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment