Setiap agama memiliki aturan tersendiri di
dalam ajaran-ajarannya yang mesti diikuti oleh para pemeluknya. Termasuk dalam
hal pernikahan setiap agama memiliki aturan yang menentukan keabsahan
pernikahan yang dilakukan oleh masing-masing pemeluknya. Aturan pernikahan di
dalam Islam sudah barang tentu berbeda dengan aturan pernikahan di dalam agama
Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya.
Salah satu permasalahan yang terjadi dan
menjadi masalah di tengah masyarakat adalah ketika sepasang suami istri
non-Muslim menikah dengan aturan agamanya dan di kemudian hari pasangan suami
istri ini memeluk agam Islam (menjadi mualaf). Pertanyaannya, apakah pernikahan
yang telah dilakukan dengan aturan non-Islam sebelumnya itu dianggap tidak sah
dan batal sehingga keduanya harus mengulangi lagi akad nikah secara Islam?
Dalam hal ini para ulama fiqih mengulasnya dan
membedakan hukumnya dalam dua keadaan, yakni bila pasangan suami istri menjadi
mualaf secara bersamaan dan bila pasangan suami istri menjadi mualaf secara
tidak bersamaan.
Tulisan ini adalah bagian pertama dalam
membahas dua macam keadaan itu.
Suami-Istri Mualaf Secara Bersamaan
Di dalam berbagai literatur fiqih bisa kita
dapati banyak keterangan yang menyatakan bahwa pernikahan yang terjadi di
antara sesama orang non-Muslim adalah dianggap sebagai pernikahan yang sah di
dalam Islam. Karenanya, sepasang suami istri non-Muslim yang menikah dengan
tata cara agama mereka bila di kemudian hari keduanya sama-sama memeluk agama
Islam maka pernikahan yang dilakukan oleh keduanya pada saat sebelum memeluk
Islam itu tetap dianggap sah dan tidak perlu untuk melakukan pernikahan ulang
setelah memeluk Islam.
Imam Ibnu Rusyd di dalam kitabnya Bidâyatul
Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid menuliskan sebagai berikut:
وَأَمَّا الْأَنْكِحَةُ الَّتِي انْعَقَدَتْ
قَبْلَ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ، فَإِنَّهُمُ
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْإِسْلَامَ إِذَا كَانَ مِنْهُمَا مَعًا - أَعْنِي: مِنَ
الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ -، وَقَدْ كَانَ عَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى مَنْ يَصِحُّ
ابْتِدَاءً الْعَقْدُ عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ أَنَّ الْإِسْلَامَ يُصَحِّحُ
ذَلِكَ
“Adapun pernikahan yang terjadi sebelum Islam,
kemudian Islam datang pada pernikahan tersebut, para ulama bersepakat bahwa
apabila Islam ada pada keduanya, yakni suami istri (masuk Islam) secara
bersamaan, sedangkan akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah
akadnya menurut Islam, maka Islam membenarkan pernikahan yang demikian.” (Ibnu
Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, [Beirut: Darul Fikr,
1995], juz II, hal. 39)
Sementara di dalam kitab Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah disebutkan:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ -
الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ
عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ - إِلَى أَنَّ نِكَاحَ الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ
بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ
“Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah, ulama
Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah pendapat
dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan orang-orang kafir
selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, [Kuwait:
Kementerian Wakaf dan Islam, 1983], juz XXXXI, hal. 319)
Ditetapkannya pernikahan sebelum Islam sebagai
pernikahan yang sah didasarkan kepada berbagai dalil di antaranya firman Allah:
وَقَالَتِ امْرَأَتُ
فِرْعَوْنَ
“Dan istri Fir’aun berkata.” (QS.
Al-Qashash: 9)
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ
الْحَطَبِ
“Dan istri Abu Lahab, pembawa kayu bakar.” (QS.
Al-Lahab: 4)
Di dalam kedua ayat tersebut Allah menyebut
istri Fir’aun dan istri Abu Lahab sebagai “istri”. Bila pernikahan kedua
pasangan tersebut dianggap tidak sah maka tentunya kedua perempuan itu tidak
disebut sebagai “istri” dalam dua ayat tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa
pernikahan yang dilakukan sebelum Islam dianggap sah oleh Islam.
Juga bisa mengambil dalil dari sahabat Ghailan
dan lainnya yang ketika masuk Islam mereka memiliki istri lebih dari empat
orang. Maka kemudian Rasulullah memerintahkan untuk tetap memegang empat orang
istri dan menceraikan lainnya. Pada saat bersamaan Rasulullah juga tidak
menanyakan perihal persyaratan nikah yang dahulu dilakukan sebelum masuk Islam (Muhammad
Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz
III, hal. 247-248).
Ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui
keabsahan pernikahan yang telah terjadi sbelum masuk Islam.
Hanya saja yang dianggap sah oleh Islam adalah
apabila pernikahan tersebut dilakukan oleh orang (suami istri) yang oleh Islam
dianggap sah melakukan pernikahan itu. Umpamanya, sepasang pengantin non-Muslim
menikah dan di antara keduanya tidak ada hubungan mahram sebagaimana diatur di
dalam Islam, maka ketika keduanya masuk Islam pernikahannya itu dianggap sah
oleh Islam. Sebaliknya, bila seorang laki-laki non-Muslim menikah dengan
seorang perempuan non-Muslim yang notabene perempuan itu adalah keponakan atau
anak dari saudara kandungnya sendiri. Di dalam Islam hal ini dilarang dan
pernikahannya tidak sah. Maka apabila pasangan suami istri ini masuk Islam
pernikahannya yang telah lalu itu tetap dianggap tidak sah.
Kiranya inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan
kalimat “akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah akadnya
menurut Islam” sebagaimana kutipan di atas.
Maka jelaslah bahwa sepasang suami istri
non-Muslim yang masuk Islam secara bersamaan tidak perlu mengulang lagi
pernikahannya, karena Islam menganggap pernikahan yang telah dilakukan pada
saat sebelum masuk Islam sebagai pernikahan yang sah.
Wallâhu a’lam
Bersambung....
0 comments:
Post a Comment