Puluhan tahun yang lalu, puluhan rektor universitas yang ada di Amerika
berkumpul di Universitas Michigan. Mereka semua tersentak, tatkala Dr.
Benjamin E. Mays, Rektor Universitas Morehouse College, Georgia,
berkata, "Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak
sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi
yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang
berpenyakit... Bukan pengetahuan yang kita butuhkan; kita sudah punya
pengetahuan. Kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual."
Mereka tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi
telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh; manusia bernalar tinggi
tapi berhati kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik tapi masih
merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan
tetapi kebingunan untuk menikmati kehidupan.
Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sekaligus juga makhluk ruhaniah.
Karena itu dalam dirinya memiliki potensi untuk berhubungan dengan dunia
material dan spiritual. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa
sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia menjadi makhluk bermata
satu.
Seorang pejabat akan melihat kumpulan rakyat kecil sebagai angka yang
dapat dikalikan dengan satuan biaya dan menghasilkan proyek bernilai
milyaran rupiah. Tetapi ia tidak mampu memandang butir-butir air mata
kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di
sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana akan mampu melihat
keteraturan di alam semesta, tetapi tidak mampu menyimak kehadiran Sang
Pencipta di balik keteraturan itu. Seorang dokter segera dapat melihat
gejala-gejala penyakit pasiennya, tetapi tidak mampu melihat sentuhan
kemanusiaan di dalamnya; sehingga ia hanya memandang pasien sebagai
sebongkah tubuh yang dapat dikalikan dengan puluhan atau ratusan ribu
rupiah biaya periksa. Seorang ahli hukum cepat mengetahui pasal mana
yang dapat dipakai untuk memenangkan perkara, tetapi buta dengan
isyarat-isyarat keadilan; sehingga klien berubah menjadi sapi perahan.
Kebahagiaan, ketentraman, keindahan, kesucian, keadilan, keharuan,
adalah gejala-gejala ruhaniah. Gejala-gejala ini tak mungkin dimiliki
bila potensi ruhaniah dimatikan. Karena itu, tumpukan uang tidak
melahirkan kebahagiaan. Rumah megah tidak menyiramkan ketenangan.
Barang-barang mewah tidak memancarkan keindahan.
Sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia
intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniah untuk menghasilkan
manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah itu adalah shaum (puasa). Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana yang
diwajibkan atas umat sebelum kamu supaya kamu semua menjadi orang-orang
takwa. (QS. 2: 183)
Pelajaran apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama shaum itu? Sebagian di antaranya adalah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah.
Ikhlas
Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap keridhaan Allah. Shaum adalah latihan ikhlas, sebab shaum tidak terlihat orang. Kelelahan fisik, kelesuan, mata yang cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan shaum saja. Shau hanya
bisa dijalankan dengan ikhlas. Karena itu orang melakukan puasa tidak
karena mengharap pujian manusia, tidak karena mendambakan kekayaan,
tidak pula ditujukan untuk mempertahankan kedudukan. Dalam puasa orang
dididik bahwa keridhaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala
isinya. Wa ridhwanum minallahi akbar! (QS. 9: 72).
Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya
manusia dari perbudakan dunia. Karena itu, bila puasanya berhasil,
manusia tidak lagi membabi buta mengejar kekayaan, bila kekayaan itu
mengundang murka Allah; ia tidak lagi mempertahankan kekuasaan, bila
kekuasaan itu menghalanginya menggapai ridha Allah; ia tidak lagi
bersikeras mempertahankan harga diri, bila harga diri itu justru
manjauhkan dia dari rahman rahim-Nya Allah. Puasa menegaskan kembali pandangan hidup seorang Muslim: wa ridhwanum minallahi akbar (dan keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya).
Pembersihan Diri
Dalam puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan
yang tercela. Ia mengendalikan lidahnya untuk tidak mengucapkan kata
keji, kata yang tajam dan menyinggung perasaan orang lain. Bahkan bila
ia dicemooh orang sekalipun, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjawab
sederhana, "Inni shaim" (aku sedang berpuasa). Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya.
Takwa tidak akan dapat dicapai tanpa melakukan pembersihan diri. Cahaya
ruhaniah tidak akan dapat menembus hati yang dipenuhi oleh dosa dan
maksiat. Nur rabbani tidak akan memancar dari jiwa yang kotor.
Ihsan dan Ibadah
Dalam puasa, seorang Muslim diajarkan untuk membiasakan diri berbuat
baik. Berbuat baik kepada makhluk Allah dan berbuat baik dalam menyembah
Allah. Dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain,
menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat. Pada saat
yang sama digerakkannya bibir dan lidahnya untuk berdzikir dan membaca
Al-Qur'an, ditegakkannya kaki untuk shalat malam, dipenuhinya waktu
sahur dengan istighfar. Matanya sayu karena kurang tidur.
Bibirnya kering karena menahan lapar dan dahaga. Tubuhnya lemah karena
kehabisan energi. Tetapi pandangan kalbunya cemerlang dengan sinar rabbani.
Andaikan empat pelajaran shaum ini dilanjutkan oleh kaum Muslim,
dunia tidak akan kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan
sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual,
timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih sayang
pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani pada kemanusiaan yang bercacat.
Rabbana taqabbal du'a innaka antas sami'ud du'a.
0 comments:
Post a Comment