Friday, April 24, 2020

Published April 24, 2020 by with 0 comment

Shaum: Madrasah Ruhaniah

Puluhan tahun yang lalu, puluhan rektor universitas yang ada di Amerika berkumpul di Universitas Michigan. Mereka semua tersentak, tatkala Dr. Benjamin E. Mays, Rektor Universitas Morehouse College, Georgia, berkata, "Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit... Bukan pengetahuan yang kita butuhkan; kita sudah punya pengetahuan. Kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual."
 
Mereka tersentak, karena menyadari bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh; manusia bernalar tinggi tapi berhati kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik tapi masih merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingunan untuk menikmati kehidupan.
 
Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sekaligus juga makhluk ruhaniah. Karena itu dalam dirinya memiliki potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan spiritual. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, maka manusia menjadi makhluk bermata satu.
 
Seorang pejabat akan melihat kumpulan rakyat kecil sebagai angka yang dapat dikalikan dengan satuan biaya dan menghasilkan proyek bernilai milyaran rupiah. Tetapi ia tidak mampu memandang butir-butir air mata kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana akan mampu melihat keteraturan di alam semesta, tetapi tidak mampu menyimak kehadiran Sang Pencipta di balik keteraturan itu. Seorang dokter segera dapat melihat gejala-gejala penyakit pasiennya, tetapi tidak mampu melihat sentuhan kemanusiaan di dalamnya; sehingga ia hanya memandang pasien sebagai sebongkah tubuh yang dapat dikalikan dengan puluhan atau ratusan ribu rupiah biaya periksa. Seorang ahli hukum cepat mengetahui pasal mana yang dapat dipakai untuk memenangkan perkara, tetapi buta dengan isyarat-isyarat keadilan; sehingga klien berubah menjadi sapi perahan.
 
Kebahagiaan, ketentraman, keindahan, kesucian, keadilan, keharuan, adalah gejala-gejala ruhaniah. Gejala-gejala ini tak mungkin dimiliki bila potensi ruhaniah dimatikan. Karena itu, tumpukan uang tidak melahirkan kebahagiaan. Rumah megah tidak menyiramkan ketenangan. Barang-barang mewah tidak memancarkan keindahan. 
 
Sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah itu adalah shaum (puasa). Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana yang diwajibkan atas umat sebelum kamu supaya kamu semua menjadi orang-orang takwa. (QS. 2: 183)
 
Pelajaran apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama shaum itu? Sebagian di antaranya adalah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah. 

Ikhlas
Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap keridhaan Allah. Shaum adalah latihan ikhlas, sebab shaum tidak terlihat orang. Kelelahan fisik, kelesuan, mata yang cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan shaum saja. Shau hanya bisa dijalankan dengan ikhlas. Karena itu orang melakukan puasa tidak karena mengharap pujian manusia, tidak karena mendambakan kekayaan, tidak pula ditujukan untuk mempertahankan kedudukan. Dalam puasa orang dididik bahwa keridhaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Wa ridhwanum minallahi akbar! (QS. 9: 72). 
 
Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia. Karena itu, bila puasanya berhasil, manusia tidak lagi membabi buta mengejar kekayaan, bila kekayaan itu mengundang murka Allah; ia tidak lagi mempertahankan kekuasaan, bila kekuasaan itu menghalanginya menggapai ridha Allah; ia tidak lagi bersikeras mempertahankan harga diri, bila harga diri itu justru manjauhkan dia dari rahman rahim-Nya Allah. Puasa menegaskan kembali pandangan hidup seorang Muslim: wa ridhwanum minallahi akbar (dan keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya). 
 
Pembersihan Diri
Dalam puasa seorang Muslim dididik untuk menghindari segala perbuatan yang tercela. Ia mengendalikan lidahnya untuk tidak mengucapkan kata keji, kata yang tajam dan menyinggung perasaan orang lain. Bahkan bila ia dicemooh orang sekalipun, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjawab sederhana, "Inni shaim" (aku sedang berpuasa). Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya. 
 
Takwa tidak akan dapat dicapai tanpa melakukan pembersihan diri. Cahaya ruhaniah tidak akan dapat menembus hati yang dipenuhi oleh dosa dan maksiat. Nur rabbani tidak akan memancar dari jiwa yang kotor.
 
Ihsan dan Ibadah
Dalam puasa, seorang Muslim diajarkan untuk membiasakan diri berbuat baik. Berbuat baik kepada makhluk Allah dan berbuat baik dalam menyembah Allah. Dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat. Pada saat yang sama digerakkannya bibir dan lidahnya untuk berdzikir dan membaca Al-Qur'an, ditegakkannya kaki untuk shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar. Matanya sayu karena kurang tidur. Bibirnya kering karena menahan lapar dan dahaga. Tubuhnya lemah karena kehabisan energi. Tetapi pandangan kalbunya cemerlang dengan sinar rabbani.       
 
Andaikan empat pelajaran shaum ini dilanjutkan oleh kaum Muslim, dunia tidak akan kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih sayang pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani pada kemanusiaan yang bercacat. Rabbana taqabbal du'a innaka antas sami'ud du'a.
      edit

0 comments:

Post a Comment