Menurut madzhab
Syafi’i membaca doa qunut dalam shalat Subuh hukumnya adalah sunnah ab’ad.[1]
Orang yang mengerjakannya akan memperoleh pahala dari Allah SWT. Dalam al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III/ 504, Imam Nawawi berkata, “Dalam madzhab kita (madzhab
Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Subuh, baik ada bala’ ataupun
tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antaranya adalah
Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra
bin Azib ra.”
Namun sayang,
saat ini kaum Salafi-Wahabi dengan penuh percaya diri menjatuhkan vonis bid’ah
terhadap doa qunut yang dibaca pada saat shalat Subuh. Tentu Anda bisa
bayangkan apa yang terjadi di tengah umat Islam saat vonis itu dikeluarkan,
yakni keresahan yang sangat berpotensi membuat umat Islam menjadi terpecah.
Dalil
yang Membid’ahkan
Dalam sebuah
situs beralamat di http://assunnah.arabblogs.com
terdapat sebuah artikel dengan judul Qunut Subuh dalam Tinjauan Syariat. Di
dalam artikel tersebut dinyatakan bahwa qunut Subuh adalah bid’ah. Berikut
petikannya:
“…Kali ini kami akan manjelaskan salah satu bid’ah yang
telah berkembang di Indonesia, yakni pelaksanaan qunut Subuh secara terus
menerus. Bahkan sebagian masyarakat menganggap jika seseorang lupa melakukan
qunut Subuh maka menggantinya dengan sujud sahwi pada akhir rakaat. Padahal
kebid’ahan mereka bersumber pada hadits yang dhaif, sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam Silsilah Hadits
Adh Dhaifah wa Maudhu’ah no. 1238 halaman 384. Anas bin Malik ra pernah berkata, “Rasulullah
SAW melakukan senantiasa qunut Subuh sampai beliau menuinggal dunia.” Syaikh
Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini bersumber dari Abu Ja’far al-Razi
yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-Madini. Begitu
pula Abu Jur’ah, beliau menyatakan Abu Ja’far al-Razi adalah seorang yang
sering ragu (wahm) dan Ibnu Hibban berujar bahwa Abu Ja’far al-Razi
bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar yang masyhur. Sehingga
derajat hadits ini tidak shahih. Dengan demikian hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. (al-Qaulul
Mubin fi Akhthaul Mushallin: 127). Selain itu para ulama juga menyatakan
bid’ahnya qunut Subuh yang dilakukan secara terus-menerus dengan hadits : Dari
Sa’ad bin Abi Thariq al-Asja’i ra, dia berkata, “Saya bertanya pada ayahku,
“Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu
Bakar, Usman, dan Ali. Apakah mereka melakukan qunut di shalat Subuh?” Ayahnya
berkata, “Wahai anakku, itu perkara yang diada-adakan.” (Shahih Sunan
Tirmidzi, 330)….”[2]
Jawabannya:
Hal pertama yang
perlu dipahami dalam memperbincangkan persoalan qunut Subuh adalah bahwa hal
ini telah menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang
saleh. Di antara mereka ada yang menyunnahkan dan ada pula yang tidak. Menurut
Imam Malik dan Imam Syafi’i, membaca qunut dalam shalat Subuh disunnahkan,
sementara menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak.
Kedua pendapat
tersebut, baik yang mengatakan sunnah ataupun tidak, sama-sama memiliki dalil
yang bersumber dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Yang menjadi titik perbedaan
bagi mereka adalah yang satu berkata bahwa riwayat yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat, sehingga mereka berpandangan
bahwa qunut dalam shalat Subuh itu tidak sunnah. Sementara pendapat yang
satunya lagi meyakini bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca qunut justru yang lebih kuat, sehingga dengan tegas mereka mengatakan
bahwa qunut Subuh adalah sunnah.
Namun kemudian muncul kelompok ketiga,
yakni kaum Salafi-Wahabi. Mereka berpandangan bahwa membaca qunut Subuh itu
menyelisihi Rasulullah SAW sehingga dengan tanpa sungkan mereka menjatuhkan
vonis bid’ah kepada umat Islam yang senantiasa berqunut dalam shalat Subuh yang
mereka tunaikan. Sesungguhnya fatwa kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa
membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar.
Pada bagian ini kita akan mengkaji dalil-dalil tentang qunut dari perspektif
ilmu hadits.
Tentunya Anda
sudah mengetahui bahwa pandangan Imam Syafi’i yang menganjurkan membaca qunut
dalam shalat Subuh telah diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits. Mengapa? Karena agumentasinya lebih kuat dari
perspektif ilmu hadits. Tentu saja pandangan Imam Syafi’i dan para ulama yang mengikuti beliau perihal
qunut Subuh ini bukan tanpa dasar kuat. Berikut akan dipaparkan sejumlah hadits
yang menjadi dasar bagi Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca
qunut dalam shalat Subuh.
Dalil Pertama:
عَنْ
مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
“Dari
Muhammad (bin Sirin), berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah
Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat Subuh?” Beliau menjawab, “Ya, setelah
ruku’ sebentar.” (HR Muslim).
Dalil Kedua:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ
حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Dari Anas
bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat Fajar
(Subuh) sampai meninggalkan dunia.” (HR Ahmad, ad-Daraquthni, al-Baihaqi
dan lain-lain, dengan sanad yang shahih).
Hadits di atas
juga di-shahih-kan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab [3/504]. Beliau berkata, “Hadits tersebut shahih,
diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih.
Di antara yang memastikan ke-shahih-annya adalah al-Hafizh Abu Abdillah
Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam
kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
ad-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.”
Sebagian
kalangan ada yang men-dha’if-kan hadits di atas dengan alasan, di dalam
sanadnya terdapat perawi yang dhaif, yakni
Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena Abu Ja’far
al-Razi dinilai dhaif oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin
Ma’in, dalam riwayat yang ia terima dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits
di atas, Abu Ja’far meriwayatkannya tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi
melalui jalur al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini
dinilai shahih.
Dengan
penjelasan ini, maka fatwa kaum Salafi-Wahabi yang membid’ahkan membaca qunut
dalam shalat Subuh dengan alasan haditsnya dhaif telah terjawab. Tidak
benar hadits itu dhaif, melainkan shahih sebagaimana penjelasan
yang disampaikan oleh Imam Nawawi di atas.
Dalil Ketiga:
وَعَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آخِرِ
رَكْعَةٍ قَنَتَ
“Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari ruku’ dalam shalat Subuh
pada rakaat terakhir, selalu membaca qunut.” (HR Muhammad bin Nashr
al-Marwazi dalam kitab Qiyam al-Lail [137], dengan sanad yang shahih).
Demikianlah
ketiga hadits di atas yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya.
Sementara
sebagian ulama yang tidak menganjurkan qunut dalam shalat Subuh, berdalil
dengan hadits berikut ini:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا
يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
“Dari Anas,
sesungguhnya Rasulullah SAW membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya
mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR
Muslim).
Biasanya dengan
hadits ini para ulama yang tidak menganjurkan qunut akan berkata bahwa dalam
hadits shahih di atas, ternyata Rasulullah SAW membaca qunut hanya satu
bulan, kemudian beliau meninggalkannya.
Menanggapi
hadits tersebut, para ulama ahli hadits berpendapat bahwa hadits ini tidak
bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW membaca qunut dalam shalat Subuh hingga beliau wafat. Karena yang dimaksud
dengan hadits terakhir di atas adalah Rasulullah SAW melaknat atau mendoakan
keburukan dalam qunut bagi beberapa suku Arab itu hanya satu bulan, setelah itu
beliau tidak melaknat lagi, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW meninggalkan
qunut. Beliau tetap membaca qunut dalam shalat Subuh sampai wafat sebagaimana
beberapa riwayat sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penegasan al-Hafizh
al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.
Hal senada juga
disampaikan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
[3/505]:
“Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah ra dalam
ucapannya dengan tsumma tarakahu (kemudian meninggalkannya), maka
maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan
meninggalkan laknat terhadap mereka saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau
meninggalkan qunut pada selain subuh. Penafsiran seperti ini mesti dilakukan
karena hadits Anas di dalam ucapannya ‘senantiasa Nabi qunut di dalam shalat
Subuh sehingga beliau wafat’ adalah shahih, maka wajiblah
menggabungkan di antara keduanya.”
Oleh karena pendapat
yang menetapkan qunut Subuh lebih kuat dari segi dalil, maka pendapat ini
diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf.
Dalam konteks ini,
Imam al-Hafizh al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibar fi Bayan
al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, halaman 90:
وَقَدِ
اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوْتِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ: فَذَهَبَ أَكْثَرُ
النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ
الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوْتِ ، فَمِمَّنْ رُوِّيْنَا ذَلِكَ عَنْهُ
مِنَ الصَّحَابَةِ : الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ،
وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ؛ وَمِنَ الصَّحَابَةِ: عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، وَأُبَيُّ
بْنُ كَعْبٍ، وَأَبُو مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ ، وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ،
وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
“Para ulama
telah berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat Subuh. Mayoritas ulama dari
kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya dari para ulama berbagai kota berpendapat
menetapkan qunut. Di antara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca
qunut adalah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Demikian
pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abi
Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, al-Bara’ bin Azib, Anas bin Malik ….”
Setelah
memaparkan bahwa membaca qunut diikuti oleh mayoritas ulama, al-Hazimi kemudian
menguraikan bahwa pandangan yang menafikan qunut dalam shalat Subuh diikuti
oleh sekelompok ulama dengan alasan bahwa hukum membaca qunut dalam shalat
Subuh telah di-mansukh (dihapus hukumnya). Selanjutnya al-Hazimi
membantah dengan tegas pendapat yang menafikan qunut tersebut dari aspek ilmu
hadits dan ushul fiqih.
Pada dasarnya,
pendapat yang mengatakan sunnah maupun tidak sunnah membaca qunut dalam shalat
Subuh sama-sama didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW. Hanya saja pendapat
yang mengatakan sunnah lebih kuat dari aspek tinjauan ilmu hadits dan ushul
fiqih, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf yang saleh dan
ahli hadits.
Lalu bagaimana
dengan riwayat berikut:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي يَا أَبَةِ
إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَا هُنَا
بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ قَالَ أَيْ
بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Dari Abu Malik al-Asyja’i[3] ia berkata, “Aku pernah
bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang
Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah ini sekitar selama
lima tahun, maka apakah mereka membaca qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku, itu
adalah perkara baru (bid’ah).” (HR
Tirmidzi dan beliau mengatakan hadist hasan shahih).
Bukankah di
dalamnya dengan tegas dikatakan bahwa qunut Subuh itu perkara yang baru yang
diada-adakan (bid’ah)?
Kalau benar Thariq berkata begitu maka sungguh mengherankan,
karena hadits-hadits tentang Nabi dan para Khulafaur Rasyidin yang melakukan
qunut sangat banyak dan ada di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud,
Nasa’i dan al-Baihaqi. Oleh karena itu, ucapan Thariq tersebut tidak diakui dan
tidak terpakai di dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Alasannya
adalah beribu-ribu orang telah melihat Nabi SAW melakukan qunut, begitu pula
sahabat Rasulullah SAW. Jika hanya Thariq seorang saja yang mengatakan qunut
itu sebagai amalan bid’ah, maka ucapannya layak untuk ditolak. Maka dalam kasus
ini berlakulah kaidah ushul fiqh yaitu:
اَلْمُثْبَتُ
مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِى
“Orang yang menetapkan (mengatakan ada) lebih didahulukan
atas orang yang menafikan (yang mengatakan tidak ada).”
Ditambah lagi dengan kenyataan yang tak terbantahkan bahwa orang
yang mengatakan bahwa qunut Subuh itu ada jauh lebih banyak daripada orang yang
mengatakan tidak ada.
Terhadap hadits Sa’ad bin Abi Thariq ini, Imam Nawawi di dalam al-Majmu’ (III/505) berkata, “Dan
jawaban kita terhadap hadits Sa’ad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang yang
menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih
banyak. Oleh karena itu wajiblah mendahulukan mereka.”
Pensyarah hadits Tirmidzi, yakni Ibnul ‘Arabi, juga memberikan
komentar yang sama terhadap hadits Sa’ad bin Thariq itu. Beliau berkata, “Telah
sah dan tetap bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam shalat Subuh, telah
tetap pula bahwa Nabi melakukan qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’, telah
tetap pula bahwa Nabi melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun
melakukan qunut serta Umar bin Khathttab ra mengatakan bahwa qunut itu
sunnah. Telah diamalkan pula (qunut ini) di Masjid Madinah. Oleh karena itu,
janganlah engkau dengar dan jangan pula engkau perhatikan ucapan yang lain daripada
itu.”
Dengan demikian dapatlah kita pahami ketegasan Imam Uqaili yang mengatakan bahwa Sa’ad
bin Thariq itu jangan diikuti haditsnya dalam masalah qunut. (Mizan
al-I’tidal, [II/122]).
Dari sejumlah keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
membaca qunut dalam shalat Subuh sesungguhnya merupakan persoalan khilaf di
kalangan para ulama. Seseorang boleh saja memilih membaca qunut atau tidak di
dalam shalat Subuh. Namun berdasarkan paparan di atas pendapat ulama yang
mengatakan sunnah membaca doa qunut dalam shalat Subuh adalah lebih kuat
daripada yang mengatakan tidak sunnah. Perbedaan pendapat di kalangan para
ulama dalam satu persoalan —termasuk termasuk qunut Subuh, sebenarnya adalah
hal yang biasa. Namun akan menjadi sebuah persoalan di tengah umat, manakala
yang tidak mau melakukan qunut Subuh lalu memvonis bid’ah kepada orang-orang
yang melakukannya, sebagaimana fatwa kaum Salafi-Wahabi. Seandainya kaum
Salafi-Wahabi mau bersikap menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengan
mereka, niscaya vonis bid’ah tidak akan keluar dari lisan mereka. Maka
ketahuilah sungguh vonis bid’ah yang mereka lontarkan terhadap umat Islam yang
berqunut tidak memiliki landasan dalam syariat Islam.
0 comments:
Post a Comment