Friday, May 8, 2020

Published May 08, 2020 by with 0 comment

Menjawab Vonis Bid'ah Kaum Salafi-Wahabi terhadap Qunut Subuh

Menurut madzhab Syafi’i membaca doa qunut dalam shalat Subuh hukumnya adalah sunnah ab’ad.[1] Orang yang mengerjakannya akan memperoleh pahala dari Allah SWT. Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III/ 504, Imam Nawawi  berkata, “Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Subuh, baik ada bala’ ataupun tidak. Inilah pendapat kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra bin Azib ra.”
 
Namun sayang, saat ini kaum Salafi-Wahabi dengan penuh percaya diri menjatuhkan vonis bid’ah terhadap doa qunut yang dibaca pada saat shalat Subuh. Tentu Anda bisa bayangkan apa yang terjadi di tengah umat Islam saat vonis itu dikeluarkan, yakni keresahan yang sangat berpotensi membuat umat Islam menjadi terpecah.
 
Dalil yang Membid’ahkan
Dalam sebuah situs beralamat di http://assunnah.arabblogs.com terdapat sebuah artikel dengan judul Qunut Subuh dalam Tinjauan Syariat. Di dalam artikel tersebut dinyatakan bahwa qunut Subuh adalah bid’ah. Berikut petikannya:
 
“…Kali ini kami akan manjelaskan salah satu bid’ah yang telah berkembang di Indonesia, yakni pelaksanaan qunut Subuh secara terus menerus. Bahkan sebagian masyarakat menganggap jika seseorang lupa melakukan qunut Subuh maka menggantinya dengan sujud sahwi pada akhir rakaat. Padahal kebid’ahan mereka bersumber pada hadits yang dhaif, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dalam Silsilah Hadits Adh Dhaifah wa Maudhu’ah no. 1238 halaman 384.  Anas bin Malik ra pernah berkata, “Rasulullah SAW melakukan senantiasa qunut Subuh sampai beliau menuinggal dunia.” Syaikh Hasan Mashur Salman mengomentari hadits ini bersumber dari Abu Ja’far al-Razi yang tercampur hafalannya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu al-Madini. Begitu pula Abu Jur’ah, beliau menyatakan Abu Ja’far al-Razi adalah seorang yang sering ragu (wahm) dan Ibnu Hibban berujar bahwa Abu Ja’far al-Razi bersendirian dalam meriwayatkan hadits-hadits mungkar yang masyhur. Sehingga derajat hadits ini tidak shahih. Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. (al-Qaulul Mubin fi Akhthaul Mushallin: 127). Selain itu para ulama juga menyatakan bid’ahnya qunut Subuh yang dilakukan secara terus-menerus dengan hadits : Dari Sa’ad bin Abi Thariq al-Asja’i ra, dia berkata, “Saya bertanya pada ayahku, “Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Usman, dan Ali. Apakah mereka melakukan qunut di shalat Subuh?” Ayahnya berkata, “Wahai anakku, itu perkara yang diada-adakan.” (Shahih Sunan Tirmidzi, 330)….”[2]
 
Jawabannya:
Hal pertama yang perlu dipahami dalam memperbincangkan persoalan qunut Subuh adalah bahwa hal ini telah menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang saleh. Di antara mereka ada yang menyunnahkan dan ada pula yang tidak. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, membaca qunut dalam shalat Subuh disunnahkan, sementara menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak.
 
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah ataupun tidak, sama-sama memiliki dalil yang bersumber dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Yang menjadi titik perbedaan bagi mereka adalah yang satu berkata bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat, sehingga mereka berpandangan bahwa qunut dalam shalat Subuh itu tidak sunnah. Sementara pendapat yang satunya lagi meyakini bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut justru yang lebih kuat, sehingga dengan tegas mereka mengatakan bahwa qunut Subuh adalah sunnah.
 
Namun kemudian muncul kelompok ketiga, yakni kaum Salafi-Wahabi. Mereka berpandangan bahwa membaca qunut Subuh itu menyelisihi Rasulullah SAW sehingga dengan tanpa sungkan mereka menjatuhkan vonis bid’ah kepada umat Islam yang senantiasa berqunut dalam shalat Subuh yang mereka tunaikan. Sesungguhnya fatwa kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar. Pada bagian ini kita akan mengkaji dalil-dalil tentang qunut dari perspektif ilmu hadits.
 
Tentunya Anda sudah mengetahui bahwa pandangan Imam Syafi’i yang menganjurkan membaca qunut dalam shalat Subuh telah diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits.  Mengapa? Karena agumentasinya lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Tentu saja pandangan Imam Syafi’i  dan para ulama yang mengikuti beliau perihal qunut Subuh ini bukan tanpa dasar kuat. Berikut akan dipaparkan sejumlah hadits yang menjadi dasar bagi Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca qunut dalam shalat Subuh.
 
Dalil Pertama:
 
عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا
 
“Dari Muhammad (bin Sirin), berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat Subuh?” Beliau menjawab, “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR Muslim).
 
Dalil Kedua:
 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
 
“Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat Fajar (Subuh) sampai meninggalkan dunia.” (HR Ahmad, ad-Daraquthni, al-Baihaqi dan lain-lain, dengan sanad yang shahih).
 
Hadits di atas juga di-shahih-kan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/504]. Beliau berkata, “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan ke-shahih-annya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.”
 
Sebagian kalangan ada yang men-dha’if-kan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya terdapat perawi yang dhaif,  yakni Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena Abu Ja’far al-Razi dinilai dhaif oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, dalam riwayat yang ia terima dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu Ja’far meriwayatkannya tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.
 
Dengan penjelasan ini, maka fatwa kaum Salafi-Wahabi yang membid’ahkan membaca qunut dalam shalat Subuh dengan alasan haditsnya dhaif telah terjawab. Tidak benar hadits itu dhaif, melainkan shahih sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Imam Nawawi di atas.
 
Dalil Ketiga:
 
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ
 
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari ruku’ dalam shalat Subuh pada rakaat terakhir, selalu membaca qunut.” (HR Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitab Qiyam al-Lail [137], dengan sanad yang shahih).
 
Demikianlah ketiga hadits di atas yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya.
 
Sementara sebagian ulama yang tidak menganjurkan qunut dalam shalat Subuh, berdalil dengan hadits berikut ini:
 
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
 
“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah SAW membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR Muslim).
 
Biasanya dengan hadits ini para ulama yang tidak menganjurkan qunut akan berkata bahwa dalam hadits shahih di atas, ternyata Rasulullah SAW membaca qunut hanya satu bulan, kemudian beliau meninggalkannya.
 
Menanggapi hadits tersebut, para ulama ahli hadits berpendapat bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat Subuh hingga beliau wafat. Karena yang dimaksud dengan hadits terakhir di atas adalah Rasulullah SAW melaknat atau mendoakan keburukan dalam qunut bagi beberapa suku Arab itu hanya satu bulan, setelah itu beliau tidak melaknat lagi, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW meninggalkan qunut. Beliau tetap membaca qunut dalam shalat Subuh sampai wafat sebagaimana beberapa riwayat sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penegasan al-Hafizh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.
 
Hal senada juga disampaikan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/505]:
 
“Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah ra dalam ucapannya dengan tsumma tarakahu (kemudian meninggalkannya), maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Penafsiran seperti ini mesti dilakukan karena hadits Anas di dalam ucapannya ‘senantiasa Nabi qunut di dalam shalat Subuh sehingga beliau wafat’ adalah shahih, maka wajiblah menggabungkan di antara keduanya.”
 
Oleh karena pendapat yang menetapkan qunut Subuh lebih kuat dari segi dalil, maka pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf.
 
Dalam konteks ini, Imam al-Hafizh al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibar fi Bayan al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, halaman 90:
 
وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوْتِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ: فَذَهَبَ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوْتِ ، فَمِمَّنْ رُوِّيْنَا ذَلِكَ عَنْهُ مِنَ الصَّحَابَةِ : الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُوْنَ: أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ؛ وَمِنَ الصَّحَابَةِ: عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَأَبُو مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ ، وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
 
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat Subuh. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya dari para ulama berbagai kota berpendapat menetapkan qunut. Di antara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca qunut adalah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Demikian pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abi Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, al-Bara’ bin Azib, Anas bin Malik ….”
 
Setelah memaparkan bahwa membaca qunut diikuti oleh mayoritas ulama, al-Hazimi kemudian menguraikan bahwa pandangan yang menafikan qunut dalam shalat Subuh diikuti oleh sekelompok ulama dengan alasan bahwa hukum membaca qunut dalam shalat Subuh telah di-mansukh (dihapus hukumnya). Selanjutnya al-Hazimi membantah dengan tegas pendapat yang menafikan qunut tersebut dari aspek ilmu hadits dan ushul fiqih.
 
Pada dasarnya, pendapat yang mengatakan sunnah maupun tidak sunnah membaca qunut dalam shalat Subuh sama-sama didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW. Hanya saja pendapat yang mengatakan sunnah lebih kuat dari aspek tinjauan ilmu hadits dan ushul fiqih, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf yang saleh dan ahli hadits.
 
Lalu bagaimana dengan riwayat berikut:
 
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي يَا أَبَةِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَا هُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
 
“Dari Abu Malik al-Asyja’i[3] ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah ini sekitar selama lima tahun, maka apakah mereka membaca qunut?” Ia menjawab, “Wahai anakku, itu adalah perkara baru (bid’ah).” (HR Tirmidzi dan beliau mengatakan hadist hasan shahih).
 
Bukankah di dalamnya dengan tegas dikatakan bahwa qunut Subuh itu perkara yang baru yang diada-adakan (bid’ah)?
 
Kalau benar Thariq berkata begitu maka sungguh mengherankan, karena hadits-hadits tentang Nabi dan para Khulafaur Rasyidin yang melakukan qunut sangat banyak dan ada di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasa’i dan al-Baihaqi. Oleh karena itu, ucapan Thariq tersebut tidak diakui dan tidak terpakai di dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Alasannya adalah beribu-ribu orang telah melihat Nabi SAW melakukan qunut, begitu pula sahabat Rasulullah SAW. Jika hanya Thariq seorang saja yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah, maka ucapannya layak untuk ditolak. Maka dalam kasus ini berlakulah kaidah ushul fiqh yaitu:
 
اَلْمُثْبَتُ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِى
 
“Orang yang menetapkan (mengatakan ada) lebih didahulukan atas orang yang menafikan (yang mengatakan tidak ada).”
 
Ditambah lagi dengan kenyataan yang tak terbantahkan bahwa orang yang mengatakan bahwa qunut Subuh itu ada jauh lebih banyak daripada orang yang mengatakan tidak ada.
 
Terhadap hadits Sa’ad bin Abi Thariq ini, Imam Nawawi di dalam al-Majmu’ (III/505) berkata, “Dan jawaban kita terhadap hadits Sa’ad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh karena itu wajiblah mendahulukan mereka.”
 
Pensyarah hadits Tirmidzi, yakni Ibnul ‘Arabi, juga memberikan komentar yang sama terhadap hadits Sa’ad bin Thariq itu. Beliau berkata, “Telah sah dan tetap bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam shalat Subuh, telah tetap pula bahwa Nabi melakukan qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’, telah tetap pula bahwa Nabi melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta  Umar bin Khathttab ra mengatakan bahwa qunut itu sunnah. Telah diamalkan pula (qunut ini) di Masjid Madinah. Oleh karena itu, janganlah engkau dengar dan jangan pula engkau perhatikan ucapan yang lain daripada itu.”
 
Dengan demikian dapatlah kita pahami ketegasan Imam Uqaili yang mengatakan bahwa Sa’ad bin Thariq itu jangan diikuti haditsnya dalam masalah qunut. (Mizan al-I’tidal, [II/122]).
 
Dari sejumlah keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa membaca qunut dalam shalat Subuh sesungguhnya merupakan persoalan khilaf di kalangan para ulama. Seseorang boleh saja memilih membaca qunut atau tidak di dalam shalat Subuh. Namun berdasarkan paparan di atas pendapat ulama yang mengatakan sunnah membaca doa qunut dalam shalat Subuh adalah lebih kuat daripada yang mengatakan tidak sunnah. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam satu persoalan —termasuk termasuk qunut Subuh, sebenarnya adalah hal yang biasa. Namun akan menjadi sebuah persoalan di tengah umat, manakala yang tidak mau melakukan qunut Subuh lalu memvonis bid’ah kepada orang-orang yang melakukannya, sebagaimana fatwa kaum Salafi-Wahabi. Seandainya kaum Salafi-Wahabi mau bersikap menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengan mereka, niscaya vonis bid’ah tidak akan keluar dari lisan mereka. Maka ketahuilah sungguh vonis bid’ah yang mereka lontarkan terhadap umat Islam yang berqunut tidak memiliki landasan dalam syariat Islam.


[1] Yakni suatu pekerjaan yang apabila ditinggalkan maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.
[2] Silakan baca di http://assunnah.arabblogs.com/qunut.htm
[3] Menurut Imam Tirmidzi Abu Malik al-Asyja’i ini adalah Sa’ad bin Thariq.
      edit

0 comments:

Post a Comment