يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ
إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ (١٧٢)
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah.
Kata thayyibaat merupakan bentuk jamak dari thayyibah, Kata
dasarnya adalah thaaba, yang secara harfiah diartikan kepada
"baik". Al-Isfihani mengatakan, "Pada dasarnya kata thayyib
bermakna sesuatu yang dirasakan lezat oleh indra dan jiwa." Akan tetapi,
makanan yang baik (ath-tha'aam ath-thayyib) menurut syara' berarti
sesuatu yang boleh dimakan, baik dari zat, ukuran, maupun tempat. Hijazi
mengartikan kata thayyibaat dalam ayat ini kepada "sesuatu yang
suci dari syubhat".
Ayat ini mengajarkan kepada orang-orang mukmin agar memakan makanan yang thayyibat, yaitu halal, suci dan disenangi. Sebaliknya, Alquran melarang orang mukmin memakan makanan yang tidak halal walaupun suci dan menyenangkan, atau sesuatu yang halal dan suci tetapi dapat mendatangkan mudarat kepada orang-orang yang memakannya. Ayat 168 surat Al-Baqarah (2) juga menegaskan:
Kemudian Allah Swt berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 173:
Ayat ini mengajarkan kepada orang-orang mukmin agar memakan makanan yang thayyibat, yaitu halal, suci dan disenangi. Sebaliknya, Alquran melarang orang mukmin memakan makanan yang tidak halal walaupun suci dan menyenangkan, atau sesuatu yang halal dan suci tetapi dapat mendatangkan mudarat kepada orang-orang yang memakannya. Ayat 168 surat Al-Baqarah (2) juga menegaskan:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ (١٦٨)
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Makanan yang halal itu merupakan nikmat Allah. Oleh karena itu, orang-orang mukmin diperintahkan mensyukuri nikmat tersebut. Mensyukuri nikmat merupakan bukti kemapanan iman dan ketauhidan kepada Allah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa memakan makanan yang halal merupakan syarat terkabulnya doa dan diterimanya ibadah. Demikian pula sebaliknya, memakan makanan yang haram menjadi sebab ditolaknya doa dan ibadah.
Memakan makanan yang haram bukan hanya perbuatan dosa, tetapi ia dapat pula berdampak terhadap anak atau keturunan pemakannya. Sebab, makanan yang dimakan seseorang akan diproses menjadi bibit keturunannya, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Mu'minuun (23) ayat 13 dan 14, yaitu:
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (١٣) ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ... (١٤)
Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging...
Sperma yang menjadi bibit manusia itu berasal dari makanan yang dimakan orang tua calon bayi. Jika makanan itu haram, dan ia menjadi sperma kemudian sperma menjadi janin, maka berarti dalam diri janin itu terdapat
unsur yang haram. Hal itu tentu tidak mustahil akan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku anak, terlebih lagi jika selanjutnya ia
dibesarkan juga dengan makanan yang haram dan tumbuh besar di lingkungan
yang kurang menghiraukan norma agama.
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (١٧٣)
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pada bagian pertama ayat ini, yakni kalimat: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Di sini Allah menjelaskan bahwa ada empat hal yang haram dikonsumsi orang-orang mukmin, yaitu sebagai berikut:
1. Bangkai,
yaitu binatang yang mati bukan dengan sembelihan syara'. Yang dimaksud
dengan sembelihan syara' adalah sembelihan yang memenuhi aturan
penyembelihan di dalam Islam.
2. Darah. Terdapat
banyak jenis darah dalam tubuh seekor binatang, di antaranya darah yang
terdapat dalam daging dan dalam tulang. Bahkan hati dan limpa juga
termasuk darah. Alquran hanya mengharamkan darah yang mengalir (damun masfuuh), sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-An'am (6) ayat 145:
قُلْ لاَ
أَجِدُ فِيْ مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ
يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ... (١٤٥)
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena
sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah.
Berdasarkan
ayat ini, maka darah yang ada dalam tulang dan darah yang menyatu
dengan daging yang tidak mungkin dihilangkan tidaklah diharamkan, karena
ia tidak termasuk dalam darah yang mengalir.
Itulah
ketentuan mengenai bangkai dan darah. Nabi dalam sabdanya dengan tegas
menjelaskan, ada dua jenis darah dan bangkai yang tidak termasuk dalam
kategori yang diharamkan, yaitu bangkai ikan, bangkai belalang, hati dan
limpa. Hadits itu adalah:
أُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا
الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah: bangkai ikan, bangkai belalang, hati dan limpa. (HR Ahmad)
3. Daging Babi. Dalam ayat di atas disebut daging babi (lahm al-khinzir), tetapi yang dimaksud tidak hanya daging saja. Larangan tersebut mencakup seluruh bagian tubuh babi.
4. Binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.
Firman Allah: Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penggalan ayat ini menyatakan pengecualian dari larangan sebelumnya. Awal ayat ini menegaskan bahwa Allah mengharamkan bangkai, darah, dan babi serta binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Akan tetapi, jika ada orang dalam keadaan sulit, makanan halal tidak ada dan apabila ia tidak makan akan berakibat mati kelaparan, maka ia boleh memakan bangkai sekedar untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. Hal inilah yang diisyaratkan oleh ayat "ghaira baaghin walaa 'aadin" (tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas).
Wallahu a'lam
3. Daging Babi. Dalam ayat di atas disebut daging babi (lahm al-khinzir), tetapi yang dimaksud tidak hanya daging saja. Larangan tersebut mencakup seluruh bagian tubuh babi.
4. Binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.
Firman Allah: Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penggalan ayat ini menyatakan pengecualian dari larangan sebelumnya. Awal ayat ini menegaskan bahwa Allah mengharamkan bangkai, darah, dan babi serta binatang yang disembelih bukan atas nama Allah. Akan tetapi, jika ada orang dalam keadaan sulit, makanan halal tidak ada dan apabila ia tidak makan akan berakibat mati kelaparan, maka ia boleh memakan bangkai sekedar untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. Hal inilah yang diisyaratkan oleh ayat "ghaira baaghin walaa 'aadin" (tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas).
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment