Pertanyaan :
Mengapa saat membaca doa qunut ketika sampai di lafal “fa
innaka taqdi…” sampai dengan lafal “astaghfiruka...” imam memelankan
suaranya? Dan apa
yang harus dilakukan
makmum dalam kondisi seperti itu? Mohon penjelasannya.
Jawaban :
Seperti yang sudah kita pahami bersama bahwa membaca doa qunut
dalam shalat Subuh adalah sunnah menurut madzhab Syafi’i. Adapun lafal doa qunut
yang masyhur adalah berikut ini:
اللَّهُمَّ اهْدِنَا
فيْمَنْ هَديْتَ، وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ،
وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَ قِنَا بِرَحْمَتِكَ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ
تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ
مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ،
نَسْتَغفِرُكَ ونَتُوْبُ اِلَيْكَ، وَصَلَّى الله عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍِ النَّبِيِّ
اْلأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
“Ya
Allah, berilah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri
petunjuk. Berilah
kami kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan.
Pimpinlah kami bersama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau
berikan kepada kami. Dan peliharalah kami dengan
rahmat-Mu
dari kejahatan yang Engkau pastikan. Karena, sesungguhnya Engkaulah yang
menentukan dan tidak ada yang menghukum (menentukan) atas Engkau. Sesungguhnya
tidaklah akan hina orang-orang yang telah Engaku beri kekuasaan. Dan tidaklah
akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha berkahlah Engkau dan Maha Luhurlah Engkau. Segala puji bagi-Mu atas
yang telah engkau pastikan. Kami mohon ampun dan bertaubat kepada Engkau. Semoga Allah
memberi rahmat, berkah dan salam atas Nabi Muhammad beserta seluruh
keluarganya dan sahabatnya.”
Dan
biasanya pada pertengahan bacaan doa qunut, yakni pada lafal
“fainnaka taqdi…dst” imam-imam shalat di Indonesia membacanya dengan sirr
(pelan). Kenapa demikian?
Ternyata
dalam madzhab
Syafi’i sendiri hal ini
diperselisihkan. Sebagian ulama Syafi’iyyah tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya
dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain cara membacanya
adalah dengan pelan. Berikut penjelasan masing-masing pendapat yang ada.
1. Pendapat yang mengatakan tetap
dibaca jahr (keras)
Sebagaian
ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bacaan doa qunut dibaca jahr (keras) dari awal sampai akhir
kalimat. Hal ini karena semua lafal doa qunut adalah bacaan yang sudah
selayaknya dibaca dari awal sampai akhir.[1]
Dalil pendapat ini adalah riwayat yang berbunyi: “Sesungguhnya
Rasulullah Saw ketika hendak mendoakan keburukan atas seseorang atau mendoakan
kebaikan, beliau berdoa setelah ruku’. Terkadang ketika beliau mengucapkan sami’allah liman hamidah
beliau berdoa ‘Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu segala puji. Ya Allah
selamatkanlah al-Walid ibnu al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah kuatkanlah siksaan-Mu atas Mudhar. Jadikanlah balasan-Mu itu bertahun-tahun seperti
tahun-tahun Yusuf.’ Dan beliau mengeraskan bacaan tersebut.” (HR Bukhari)
Menurut pendapat ini, ketika bacaan imam sampai dilafal “fainnaka
taqdi…dst” makmum boleh memilih satu di antara tiga hal berikut: (1) Turut
membacanya bersama imam. Atau (2) mengaminkannya. Atau (3) membaca asyhadu.
Atau yang (4) membaca shodaqta wabararta.[2]
Dari empat hal di atas, maka yang pertama yang dirajihkan oleh Imam an Nawawi.[3]
2. Pendapat yang mengatakan dibaca Sirr
Sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah lainnya, diantaranya
Imam Ramli dan Imam al Ghazali berpendapat bahwa pada lafal yang telah
disebutkan, bacaan imam hendaknya dipelankan (sirr).
Alasannya adalah karena lafal yang dipelankan tersebut
bukanlah doa, tapi berupa dzikir, pujian dan sanjungan kepada Allah Swt.[4]
Adapun bagi makmum, maka dalam kondisi sirr
tersebut, dia boleh membaca dengan suara sirr pula. Namun juga boleh membaca
dengan doa-doa yang lain yang ia hapal dan kehendaki.
Demikian
permasalahan tentang sirr
dan tidaknya sebagian bacaan doa qunut. Silahkan diamalkan sesuai keyakinan dan kesanggupan
masing-masing.
Wallahu
a’lam.
[1]
Fath al-Wahhab, (1/78), Busyr al-Karim (1/ 80).
[2] Mughni
al-Muhtaaj
( I/167), Fiqhul Islami wa Adillatuhu
(1/814).
[3] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (2/483).
0 comments:
Post a Comment