Berikut penjelasannya kami sampaikan secara ringkas.
Menggabungkan ibadah dalam satu niat oleh para ulama disebut dengan istilah “At-Tasyrik fin-Niyah” atau “Tadakhul an-Niyah” (menggabungkan niat). Dalam permasalahan ini terjadi khilafiyah yang tajam di kalangan para ulama madzhab, karena perbedaan penerapan kaidah fiqhiyyah berikut ini:
إِذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِف مَقْصُوْدَهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْأَخَرِ غَالِباً
“Apabila dua perkara yang sejenis dan maksud (tujuannya) tidak berbeda berkumpul jadi satu maka secara umum salah satunya masuk kepada yang lain.” (Al-Asybah Wan Nadhair, hal. 126).
Berangkat dari kaidah di atas, secara umum bab ini dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, menggabungkan ibadah wajib dengan yang wajib. Hukumnya tidak boleh. Semisal seseorang yang mengerjakan shalat Zhuhur sekaligus mengerjakan shalat Ashar. Terkecuali dalam beberapa kasus yang telah dikecualikan, semisal menggabung mandi wajib sekaligus niat berwudhu, dan pelaksanaan haji Qiran di mana dalam pelaksanaannya digabung ibadah haji dan umrah yang sama-sama wajib.
Kedua, menggabungkan ibadah wajib dengan yang sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang dibolehkan: Seseorang yang berniat shalat Zhuhur sekaligus niat shalat Tahiyatul Masjid menurut umumnnya ulama ia mendapatkan pahala keduanya. Sedangkan contoh yang tidak sah: Seseorang yang membayar zakat dengan berniat sekaligus untuk sedekah. Dalam pandangan madzhab Syafi’i pemberiannya terhitung bersedekah dan tidak sah zakatnya.
Ketiga: menggabungkan dua ibadah sunnah. Umumnya para ulama berpendapat boleh menggabungkan dua ibadah sunnah dengan satu niat. (Al Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab (4/52), Raudlatut Thalibin (1/332), al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (92/42).
Fatwa ulama :
Imam Ibnu Rajab al Hanbali berkata, “Jika dua ibadah dari jenis yang sama berkumpul dalam waktu yang sama, yang mana salah satunya tidak dilakukan sebagai qadha atau sebagai ibadah yang mengikuti ibadah lainnya, maka amalan-amalan keduanya saling berkaitan sehingga cukup melakukan keduanya dengan satu amalan saja.” (Al Qawaa’id fil Fiqh, hal.23.)
Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Jika dua perkara ibadah dari jenis yang sama berkumpul, sedangkan maksud dari keduanya tidaklah berbeda, maka kebanyakan amalan salah satunya masuk ke dalam amalan lainnya. Contohnya: puasa hari Senin dan puasa Asyura, yang mana jika Asyura tepat pada hari Senin maka waktu keduanya sama ,keduanya memiliki jenis yang sama yaitu puasa sunnah, juga sifat atau cara pelaksanaan sama yaitu dimulai dari sahur sebelum fajar, menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, hingga berbuka puasa di sore harinya. Maka dengan melaksanakan satu kali puasa di hari Senin ini, ia telah mendapatkan dua pahala sekaligus jika ia meniatkan puasanya untuk puasa Senin sekaligus Asyura.” (Al Asybaah Wa An-Nadzhair, 1/208).
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadhrami berkata, “Menggabungkan niat beberapa puasa sunnah seperti puasa Arafah dan puasa Senin/Kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya.” (Bughyah al-Mustarsyidiin hal 113).
Dalam kitab al Mausuah Fiqhiyah (12/24) disebutkan: “Seandainya seseorang melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat, maka apabila dua ibadah tersebut bisa saling menyatu seperti mandi Jumat dengan mandi junub atau salah satu ibadah tersebut bukan ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat Tahiyatul Masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, maka semua itu tidak mencederai ibadah tersebut. Namun apabila kedua ibadah itu adalah ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat Zhuhur dengan sunnah rawatibnya, maka tidak sah digabung dengan satu niat karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah independen yang tidak bisa saling menyatu.”
Hukum Menggabungkan Puasa Arafah dengan Puasa Senin/Kamis
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menggabung puasa sunnah Arafah dengan puasa Senin/Kamis adalah boleh, karena keduanya sama-sama ibadah sunnah yang sama secara zatnya.
Hukum Menggabung Puasa Syawal dengan Qadha Ramadhan
Menggabung ibadah wajib dengan ibadah sunnah ssebagaimana yang telah dijelaskan ada yang dibolehkan ada yang tidak. Karena itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hukum menggabung puasa Syawal yang hukumnya sunnah dengan Qadha Ramadhan yang hukumnya wajib, apakah ia masuk kategori yang dibolehkan atau yang tidak dibolehkan. Umumnya para ulama mengatakan tidak boleh menggabung qadha puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa Syawal. Sedangkan sebagian ulama dari dua madzhab ada yang membolehkan. Pendapat ini dipegang oleh Syaikh Syarbaini dari madzhab Hanbali dan Ibnu Hajar al-Haitami serta Imam Ramli dari kalangan Syafi’iyyah. (I’anah at Thalibin, 2/271, Fath al Mu’in, 2/271).
Hanya saja pendapat yang membolehkan menambahkan keterangan bahwa meskipun puasanya sah, pelakunya tidak mendapat fadhilah dari puasa Syawal, yakni seperti puasa setahun penuh. (Mughni al Muhtaj, 5/310).
Kesimpulan
Boleh menggabung niat puasa Arafah dengan puasa sunnah lainnya (dalam hal ini puasa di hari Kamis) dan tidak boleh bila dengan qadha Ramadhan menurut mayoritas ulama.
Wallahu a’lam.