Wednesday, July 29, 2020

Published July 29, 2020 by with 0 comment

Menggabungkan Dua Puasa dalam Satu Niat: Bolehkah?

Hari ini adalah hari Arafah (9 Dzulhijjah) bertepatan dengan hari Kamis. Seseorang yang menunaikan puasa Arafah pada hari ini, bolehkah ia menggabungkan niatnya sekaligus juga niat puasa sunnah di hari Kamis?

Berikut penjelasannya kami sampaikan secara ringkas.

Menggabungkan ibadah dalam satu niat oleh para ulama disebut dengan istilah At-Tasyrik fin-Niyah” atau Tadakhul an-Niyah (menggabungkan niat). Dalam permasalahan ini terjadi khilafiyah yang tajam di kalangan para ulama madzhab, karena perbedaan penerapan kaidah fiqhiyyah berikut ini:

إِذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِف مَقْصُوْدَهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْأَخَرِ غَالِباً

“Apabila dua perkara yang sejenis dan maksud (tujuannya) tidak berbeda berkumpul jadi satu maka secara umum salah satunya masuk kepada yang lain.” (Al-Asybah Wan Nadhair, hal.  126).

Berangkat dari kaidah di atas, secara umum bab ini dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, menggabungkan ibadah wajib dengan yang wajib. Hukumnya tidak boleh. Semisal seseorang yang mengerjakan shalat Zhuhur sekaligus mengerjakan shalat Ashar. Terkecuali dalam beberapa kasus yang telah dikecualikan, semisal menggabung mandi wajib sekaligus niat berwudhu, dan pelaksanaan haji Qiran di mana dalam pelaksanaannya digabung ibadah haji dan umrah yang sama-sama wajib.

Kedua, menggabungkan ibadah wajib dengan yang sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang dibolehkan: Seseorang yang berniat shalat Zhuhur sekaligus niat shalat Tahiyatul Masjid menurut umumnnya ulama ia mendapatkan pahala keduanya. Sedangkan contoh yang tidak sah: Seseorang yang membayar zakat dengan berniat sekaligus untuk sedekah. Dalam pandangan madzhab Syafi’i pemberiannya terhitung bersedekah dan tidak sah zakatnya.

Ketiga: menggabungkan dua ibadah sunnah. Umumnya para ulama berpendapat boleh menggabungkan dua ibadah sunnah dengan satu niat. (Al Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab (4/52), Raudlatut Thalibin (1/332), al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (92/42).

Fatwa ulama :

Imam Ibnu Rajab al Hanbali berkata, “Jika dua ibadah dari jenis yang sama berkumpul dalam waktu yang sama, yang mana salah satunya tidak dilakukan sebagai qadha atau sebagai ibadah yang mengikuti ibadah lainnya, maka amalan-amalan keduanya saling berkaitan sehingga cukup melakukan keduanya dengan satu amalan saja.” (Al Qawaa’id fil Fiqh, hal.23.)

Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Jika dua perkara ibadah dari jenis yang sama berkumpul, sedangkan maksud dari keduanya tidaklah berbeda, maka kebanyakan amalan salah satunya masuk ke dalam amalan lainnya. Contohnya: puasa hari Senin dan puasa Asyura, yang mana jika Asyura tepat pada hari Senin maka waktu keduanya sama ,keduanya memiliki jenis yang sama yaitu puasa sunnah, juga sifat atau cara pelaksanaan sama yaitu dimulai dari sahur sebelum fajar, menahan diri dari pembatal-pembatal puasa, hingga berbuka puasa di sore harinya. Maka dengan melaksanakan satu kali puasa di hari Senin ini, ia telah mendapatkan dua pahala sekaligus jika ia meniatkan puasanya untuk puasa Senin sekaligus Asyura.” (Al Asybaah Wa An-Nadzhair, 1/208).

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadhrami berkata, “Menggabungkan niat beberapa puasa sunnah seperti puasa Arafah dan puasa Senin/Kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya.” (Bughyah al-Mustarsyidiin hal 113).

Dalam kitab al Mausuah Fiqhiyah (12/24) disebutkan: “Seandainya seseorang melakukan dua ibadah sekaligus dengan satu niat, maka apabila dua ibadah tersebut bisa saling menyatu seperti mandi Jumat dengan mandi junub atau salah satu ibadah tersebut bukan ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat Tahiyatul Masjid dengan shalat fardhu atau shalat sunnah lainnya, maka semua itu tidak mencederai ibadah tersebut. Namun apabila kedua ibadah itu adalah ibadah ‘maqshudah’ seperti shalat Zhuhur dengan sunnah rawatibnya, maka tidak sah digabung dengan satu niat karena masing-masing dari keduanya adalah ibadah independen yang tidak bisa saling menyatu.”

Hukum Menggabungkan Puasa Arafah dengan Puasa Senin/Kamis

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menggabung puasa sunnah Arafah dengan puasa Senin/Kamis adalah boleh, karena keduanya sama-sama ibadah sunnah yang sama secara zatnya.

Hukum Menggabung Puasa Syawal dengan Qadha Ramadhan

Menggabung ibadah wajib dengan ibadah sunnah ssebagaimana yang telah dijelaskan ada yang dibolehkan ada yang tidak. Karena itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hukum menggabung puasa Syawal yang hukumnya sunnah dengan Qadha Ramadhan yang hukumnya wajib, apakah ia masuk kategori yang dibolehkan atau yang tidak dibolehkan. Umumnya para ulama mengatakan tidak boleh menggabung qadha puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa Syawal. Sedangkan sebagian ulama dari dua madzhab ada yang membolehkan. Pendapat ini  dipegang oleh Syaikh  Syarbaini dari madzhab Hanbali dan Ibnu Hajar al-Haitami serta Imam Ramli dari kalangan Syafi’iyyah. (I’anah at Thalibin, 2/271, Fath al Mu’in, 2/271).

Hanya saja pendapat yang membolehkan menambahkan keterangan bahwa meskipun puasanya sah, pelakunya tidak mendapat fadhilah dari puasa Syawal, yakni seperti puasa setahun penuh. (Mughni al Muhtaj, 5/310).

Kesimpulan

Boleh menggabung niat puasa Arafah dengan puasa sunnah lainnya (dalam hal ini puasa di hari Kamis) dan tidak boleh bila dengan qadha Ramadhan menurut mayoritas ulama.

Wallahu a’lam.

Read More
      edit
Published July 29, 2020 by with 0 comment

Menjawab Vonis Bid’ah Kaum Salafi-Wahabi terhadap Dzikir Jahar (Bagian Kedua)

Sedangkan untuk dalil kedua, berikut jawabannya:

Alasan ini pun tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang, membid’ahkan atau mengharamkan semua bentuk dzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar). Mengapa? Karena perintah irba’uu dalam hadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar (nyaring). Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka.

Berdasarkan inilah maka Syaikh Ad-Dahlawi dalam al-Lama’aat Syarh al-Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat di mana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan. Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara saat berdzikir di  jalan (di perjalanan). Hal ini berbeda dengan dzikir nyaring (jahar) setelah shalat yang benar-benar disunnahkan karena terdapat banyak hadits shahih yang menegaskannya.[1] 

Kalau sekiranya Rasulallah SAW tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras (nyaring/jahar) di jalanan, apalagi waktu itu dalam suasana peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir secara berlebihan sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan oleh Rasulullah SAW. Padahal perbuatan seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau SAW. Peristiwa yang dikisahkan dalam hadits di atas terjadi saat para sahabat bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan perang menuju Khaibar. Tentu saja melakukan dzikir dengan suara keras dalam keadaan seperti itu tidak akan membawa kebaikan, bahkan bisa jadi akan menimbulkan bencana bila kemudian didengar oleh musuh, yakni orang-orang kafir.

Selain itu, Rasulullah SAW melarang para sahabat melakukan hal itu agar mereka nantinya tidak merasa bertambah lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Bukankah keletihan akan semakin berlipat ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh ditambah rasa letih akibat berdzikir dengan suara keras? Itulah alasan lain pelarangan berdzikir keras dalam hadits di atas.

Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Dawud mengatakan bahwa kata-kata rafa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menegaskan terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak. Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebih-lebihan.

Bila hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar (nyaring), maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shahih  yang berkaitan dengan dzikir secara jahar. Berikut akan kami sampaikan dalil shahih yang menjelaskan tentang kesunnahan berdzikir dengan suara nyaring (jahar) setelah shalat berjamaah.

Dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata:

 أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW.” Ibnu Abbas menambahkan, “Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.

Masih dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:

 كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

Aku megetahui selesainya shalat Nabi SAW dari suara takbir. (HR Bukhari).

Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang melarang dan membid’ahkannya. Ibnu Daqiqil Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah ra berkata, “Aku mendengar Nabi SAW membaca apabila telah selesai shalat:

لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tentu saja al-Mughirah ra tidak akan mendengar dzikir ini kalau bukan karena Rasulullah SAW mengeraskan suaranya saat membacanya. Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah di atas. Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana mungkin sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi SAW disebut bid’ah?

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nabi SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi berkomentar, “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahar.”

Ada banyak hadits yang memperlihatkan bahwa melakukan dzikir jahar bukanlah sesuatu yang terlarang. Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi  telah mengumpulkan 25 hadits yang menunjukkan dalil disyariatkannya dzikir secara berjamaah dan dengan suara nyaring (dzikir jahar). Oleh karena itu, tidaklah benar vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap dzikir jahar yang dilakukan seusai shalat berjamaah atau pada momen-momen lain di luar shalat berjamaah.

Bila kemudian ada dalil yang juga shahih yang menganjurkan untuk melakukan dzikir secara sirr (pelan) atau bahkan di dalam hati, namun tidak berarti bahwa dalil itu bisa dijadikan landasan untuk membid’ahkan umat Islam yang berdzikir secara jahar. Sikap yang demikian tentu bukan sikap yang bijaksana. Terkait dengan hal ini, Imam Nawawi memberikan penjelasan:

  بِأَنَّ اْلإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى بِهِ الْمُصَلُّوْنَ أَوْ نِيَامٌ وَالْجَهْرُ فِيْ غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَّ فَائِدَتَهُ تَتَأَدَّى اِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ اِلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ اِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيْدُ فِي النَّشَاطِ

“Membaca dzikir dengan pelan itu lebih utama jika dapat menimbulkan sifat riya’ dan mengganggu orang yang sedang shalat atau tidur. Pada selain dua keadaan ini mengeraskan dzikir lebih utama karena pekerjaan yang dilakukan lebih banyak, manfaat dari dzikir itu mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati dzikir yang dibaca, mengonsentrasikan pendengarannya, menghilangkan rasa kantuk dan menambah semangat.” (Al-Hawi li al-Fatawi, Juz II, halaman 133).

Kesimpulan

Kesimpulannya, bahwa dzikir jahar (dengan suara nyaring) setelah shalat berjamaah adalah disyariatkan di dalam Islam dan bukanlah perkara bid’ah. Dengan demikian tuduhan dan vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap amalan dzikir jahar tidaklah memiliki dasar, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan dalil-dalil shahih yang ada.



[1] Insya Allah segera akan kami sebutkan hadit-hadits tersebut.

Read More
      edit
Published July 29, 2020 by with 0 comment

Menjawab Vonis Bid’ah Kaum Salafi-Wahabi terhadap Dzikir Jahar (Bagian Pertama)

Berdzikir secara berjamaah dengan suara nyaring seusai shalat berjamaah telah biasa dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sejak masa lalu mengajarkan hal itu hingga kemudian diamalkan umat Islam hingga saat ini. Namun kemudian muncul fatwa dari kalangan Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa berdzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar) adalah bid’ah yang tak pernah dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

Dalil yang Membid’ahkan

Biasanya yang dijadikan dalil untuk membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring adalah:

a. Firman Allah SWT:

 وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 205).

Dengan ayat ini, mereka mengatakan bahwa Allah SWT melarang untuk melakukan dzikir dengan suara nyaring.

 b. Hadits dari Abu Musa al-Asy’ari ra:

 عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ فَذَكَرَ مِنْ هَوْلِهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ وَيُهَلِّلُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ

“Dari Abu Musa ia berkata, “Suatu saat kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdoa dan bertakbir.” Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, maka beliau pun bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada Tuhan yang tuli, tidak pula gaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.” (HR Ahmad, Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan hadits ini mereka berkata, “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir? Padahal hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas jelas-jelas memperlihatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk  merendahkan suara ketika berdzikir.”

 Jawabannya

Untuk menjawab dalil pertama, simaklah uraian yang disampaikan oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi halaman 293-294 berikut:

“Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.” Aku (Imam Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban: Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah SAW mengeraskan bacaan al-Qur’an dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka mencaci-maki ayat-ayat al-Qur’an dan yang menurunkannya (yakni Allah Ta’ala). Lalu Allah Ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan jahar untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.

Kedua: “Sebagian mufassir, di antaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan al-Qur’an, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati al-Qur’an, agar suara dzikir tidak dikeraskan di sisinya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah sebelumnya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seakan-akan ada kekhawatiran mengarah kepada (sikap) menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, namun perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan: “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’ala).”

Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan hanya untuk Nabi SAW yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran buruk, dianjurkan mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya seluruh jin Mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.

Kalau engkau bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, sekaligus men-shahih-kannya, dari Abu Nu’amah ra, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.

Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berdzikir. Secara khusus doa memang lebih utama disirrkan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’ala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunnahkan mensirrkan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.”

 Nah, dari uraian al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi di atas dapat disimpulkan bahwa QS. al-A’raf ayat 205 di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang dan membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring, karena ayat tersebut memang tidak berbicara tentang pelarangan itu.

Bersambung...
Read More
      edit

Sunday, July 26, 2020

Published July 26, 2020 by with 0 comment

Kurban Atas Nama Orang Lain: Bolehkah?

Jika ada seorang muslim yang memiliki kelapangan harta kemudian hendak berbuat baik kepada orang lain dengan cara berkurban untuknya atau atas namanya, maka dalam hal ini terdapat dua ketentuan:

Pertama, jika orang tersebut masih termasuk anggota keluarga, misalnya istri, maka berkurban atas nama anggota keluarga tersebut diperbolehkan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Saw ketika beliau berkurban atas nama istri-istrinya tanpa meminta izin terlebih dahulu.


Disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Sayidah Aisyah ra, dia berkisah:


أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ : مَا لَكِ أَنَفِسْتِ . قَالَتْ نَعَمْ قَالَ : إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ . فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ


“Nabi Saw pernah  menemui Sayidah Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekah dan ketika itu Sayidah Aisyah sedang menangis. Kemudian Nabi Saw bertanya: ‘Kenapa? Apakah engkau sedang haid?’ Sayidah Aisyah menjawab: ‘Iya’. Beliau pun bersabda: ‘Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji namun jangan thawaf di Ka’bah.Tatkala kami di Mina, didatangkan kepadaku daging sapi. Aku pun berkata: ‘Apa ini?’ Mereka (para sahabat) menjawab: Rasulullah Saw melakukan udhiyah (berkurban) atas nama istri-istrinya dengan sapi.”


Kedua, jika orang tersebut bukan anggota keluarga, maka harus meminta izin terlebih dahulu. Jika dia mengizinkan, maka boleh berkurban untuknya atau atas namanya. Sebaliknya jika dia tidak mengizinkan, maka tidak boleh. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Alfiqhul Islami wa Adillatuhu:


قال الشافعية: لا يضحي عن الغير بغير اذنه


“Ulama Syafiiyyah berkata: ‘Tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa seizin dari orang tersebut.”


والله أعلم بالصواب
Read More
      edit

Friday, July 24, 2020

Published July 24, 2020 by with 0 comment

Saat Id Jatuh Pada Hari Jumat: Wajibkah Shalat Jumat?

A. Dalil yang Tetap Mewajibkan Shalat Jumat

Dari Al-Quran

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ - الجمعة: ٩

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. al-Jumu’ah: 9)

Dari Hadits

عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ - رواه النسائي

“Dari Hafshah (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Mendatangi shalat Jumat hukumnya wajib bagi setiap (Muslim) yang sudah baligh (dewasa)." (HR. Nasa’i)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ - رواه مسلم

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jumat menghentikan perbuatannya, ataukah mereka ingin Allah mengecap (membutakan) hati mereka, dan sesudah itu mereka benar-benar menjadi orang yang lalai.” (HR. Muslim)

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ - رواه أبو داود

“Dari Thariq bin Syihab dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Jumat itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit." (HR Abu Dawud)

B. Dalil yang Mengatakan Tidak Wajib Shalat Jumat dan Bantahannya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ - رواه أبو داود

“Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Pada hari ini telah berkumpul bagi kalian dua hari raya (yakni ‘Id dan Jumat). Maka barangsiapa yang mau, cukuplah shalat ini untuknya (tidak perlu shalat Jumat lagi), namun kami akan tetap melaksanakan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud)

Bantahannya:

Hadits di atas termasuk hadits dhaif yang tidak dapat dipakai sebagai landasan hukum. Dalam Nailul Awthar disebutkan bahwa Imam Ahmad dan Imam Daruquthni mengatakan bahwa hadits tersebut mursal (termasuk kategori hadits dhaif). Ada hadits senada yang tidak mursal diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, namun sanadnya tetap dhaif. Imam Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab (IV/492) juga mengatakan bahwa hadits ini dhaif.

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا قَالَ نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ - رواه أحمد

“Dari Iyas bin Abu Ramlah Asy Syami ia berkata: “Aku menyaksikan Mu'awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata: “Aku mengikuti shalat dua hari raya yang berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shalat ‘Id pada awal hari, kemudian beliau memberi keringanan terhadap shalat Jumat seraya bersabda: "Siapa yang ingin mengumpulkan (keduanya, yakni shalat ‘Id dan Jumat), silahkan." (HR. Ahmad)

Bantahannya:

Dalam Nailul Awthar (III/347) disebutkan bahwa hadits ini juga dhaif, dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal (majhul), yakni Iyas bin Abi Ramlah.

Penjelasan lebih dalam:

Andaikan kedua hadits dhaif di atas tetap diterima sebagai landasan hukum (seperti dalam madzhab Hanbali), maka dapat dipahami bahwa hadits tersebut merupakan hadits umum yang telah di-takhsish. Kata مَنْ شَاءَ (barangsiapa yang mau) adalah kata yang bersifat umum, namun kata tersebut telah dikhususkan untuk penduduk kampung ‘Aliyah (yang jaraknya dari kota Madinah sekitar 6 km). Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Umm:

عَنْ عُمَرَ ابْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ قَالَ: اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَهِ فَلْيَجْلِسْ فِي غَيْرِ حَرَجٍ

“Dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata: “Telah berhimpun dua hari raya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: “Barangsiapa di antara penduduk ‘Aliyah yang ingin menunaikan shalat Jumat maka tunggulah, boleh saja.”

Dalam Syarh al-Muhadzdzab Bab Shalat Jumat, disebutkan bahwa hal senada juga pernah disampaikan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu saat menyampaikan khutbah ‘Id yang bertepatan pada hari Jumat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ، قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِي يَوْمِكُمْ، فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ

“Hai manusia, sesungguhnya pada hari ini telah berhimpun dua hari raya. Maka barangsiapa di antara penduduk ‘Aliyah yang ingin menunaikan shalat Jumat bersama kami, silakan ikut. Sedangkan yang ingin pulang, dipersilakan pulang.”

وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ - رواه النسائي

“Wahb bin Kaisan berkata: "Pada masa pemerintahan Ibnu Zubair pernah berkumpul dua hari raya (‘Id dan Jumat) dalam satu hari, maka ia (Ibnu Zubair) akhirkan waktu keluar hingga tinggi hari. Kemudian ia keluar dan menyampaikan khutbah dengan khutbah yang panjang. Kemudian ia turun (dari mimbar) dan mengerjakan shalat. Pada hari itu ia tidak mengerjakan shalat Jumat bersama manusia. Hal tersebut diceritakan kepada Ibnu Abbas, dan dia mengatakan bahwa Ibnu Zubair sudah melakukan sesuai dengan sunnah." (HR. Nasa’i)

Bantahannya:

Ini hanyalah cerita dari Wahb bin Kaisan yang tidak mengandung konsekuensi perintah maupun larangan. Kisah ini juga janggal, karena disebutkan Ibnu Zubair dalam shalat Id berkhutbah dahulu baru kemudian menunaikan shalat. Benarkah itu seperti itu cara shalat ‘Id? Jika memang shalat ‘Id, mestinya shalat dulu ditunaikan setelah itu baru khutbah disampaikan.

عَنْ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنِّي شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ - رواه النسائي

“Dari 'Atha dia berkata: “Aku mendengar Ibnu 'Abbas berkata: "Aku bersaksi bahwa aku pernah ikut shalat hari raya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau memulai shalat sebelum khutbah, kemudian berkhutbah." (HR. Nasa’i)

Kisah yang disampaikan oleh Wahb bin Kaisan ini bersifat “campur-aduk” (mudhtharib) sehingga tak bisa diajukan sebagai dalil hukum.

Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan shalat Jumat saat Id jatuh pada hari Jumat?

Jawabannya tidak pernah. Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal itu. Justru terdapat dalil yang memperlihat meskipun Id terjadi di hari Jumat, maka shalat Jumat tetap dilakukan.

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ، وَرُبَّمَا اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَيَقْرَأُ بِهِمَا - رواه النسائي

 “Dari an-Nu'man bin Basyir dia berkata: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam membaca surat al-A'laa dan al-Ghaasyiyah ketika shalat Jumat. Kadang hari raya dan Jumat berkumpul dalam satu hari, maka beliau membaca keduanya." (HR. Nasa’i)

والله أعلم بالصواب

Read More
      edit

Monday, July 20, 2020

Published July 20, 2020 by with 0 comment

Washiyyatul Musthafa: Amalan yang Membuat Jibril Ingin Jadi Manusia

يَاعَلِيُّ، تمَنَىَّ جِبْرِيْلُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْ بَنِيْ اَدَمَ لِسَبْعِ خِصَالٍ: الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ مَعَ اْلاِمَامِ، وَمُجَالَسَةِ الْعُلَمَاءِ، وَعِيَادَةِ الْمَرِيْضِ، وَتَشْيِيْعِ الْجَنَازَةِ، وَسَقْيِ الْمَاءِ، وَالصُّلْحِ بَيْنَ اْلاِثْنَيْنِ، وَاِكْرَامِ الْجَارِ وَالْيَتِيْمِ. فَاَحْرِصْ عَلَى ذَلِكَ
 
“Hai Ali, malaikat Jibril berangan-angan ingin menjadi manusia karena tujuh hal: (yaitu) shalat lima waktu bersama imam, berkumpul dengan para ulama, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memberi minum orang yang haus, mendamaikan dua orang (yang berselisih), dan memuliakan tetangga dan anak yatim. Untuk itu peliharalah amal-amal tersebut.”
 
والله أعلم بالصواب
Read More
      edit

Friday, July 17, 2020

Published July 17, 2020 by with 0 comment

Washiyyatul Musthafa: Keutamaan Shalat Pada Waktunya

يَاعَلِيُّ، عَلَيْكَ بِالصَّلاَةِ فِيْ اَوْقَاتِهَا، فَاِنَّهَا رَأْسُ كُلِّ فَضِيْلَةٍ وَسَنَامُ كُلِّ عِبَادَةٍ
 
“Hai Ali, tetapkanlah untukmu shalat (tepat) pada waktunya, karena sesungguhnya ia (shalat tepat waktu) merupakan induk segala keutamaan dan hal yang menonjol pada setiap ibadah.”
 
والله أعلم بالصواب
Read More
      edit

Thursday, July 16, 2020

Published July 16, 2020 by with 0 comment

Hadiah Terbaik untuk Mereka yang Telah Tiada

Ada yang bertanya, "Apakah hadiah terbaik yang bisa kita berikan kepada orang-orang yang telah mandahului kita menghadap Allah Swt?"

Jawabnya adalah doa dan permohonan ampunan (istighfar). Inilah yang paling layak untuk dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Karena itu kemudian dikatakan bahwa hadiah dari orang hidup kepada yang telah tiada adalah doa dan permohonan ampunan.
 
 هَدَايَا الْأَحْيَاءِ لِلْأَمْوَاتِ الدُّعَاءُ وَالْإِسْتِغْفَارُ
 
“Hadiah orang-orang yang masih hidup kepada orang-orang yang telah meninggal dunia adalah doa dan memintakan ampunan kepada Allah (istighfar) kepada mereka.” (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Beirut, Darul Fikr, tt, halaman 281). 
 
Dalam sebuah riwayat—sebagaimana dikemukakan Syekh Nawawi al-Bantani— dikatakan bahwa di dalam kubur, orang yang meninggal dunia seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan berupa doa. Ia menanti datangnya doa dari anaknya, saudara, atau temannya. Ketika ia mendapatkannya, maka itu lebih ia sukai ketimbang dunia dengan seluruh isinya.
 
 رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلَّا كَالْغَريقِ الْمُغَوَّثِ-بِفَتْحِ الْوَاوِ الْمُشَدَّدَةِ أَيْ الطَّالِبِ لِأَنْ يُغَاثَ-يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحُقُهُ مِنِ ابْنِهِ أَوْ أَخِيهِ أَوْ صَدِيقٍ لَهُ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
 
“Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda, ‘Tidak ada mayit yang berada dalam kuburnya kecuali ia seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan—kal ghariqil mughawwats dengan diharakati fathah pada huruf wawunya yang bertasydid, yaitu orang yang meminta pertolongan—ia menunggu setetes doa yang yang dikirimkan anaknya, saudara, atau temannya. Karenanya ketika ia mendapatkan doa, maka hal itu lebih ia sukai dibanding dunia dengan seluruh isinya.’” (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, halaman 281). 
 
Dari sinilah kemudian dapat dipahami betapa orang yang telah meninggal dunia itu sebenarnya mengharapkan kiriman atau hadiah doa dari orang yang masih hidup. Dengan kata lain, kiriman atau hadiah doa itu akan sangat berarti baginya, bahkan pahalanya pun akan sampai. Karena itu para ulama—sebagaimana dikemukakan al-Imam Muhyiddin Syarf An-Nawawi—menyatakan kesepakatan bahwa doa dari orang yang masih hidup kepada yang telah meninggal dunia itu bermanfaat dan pahalanya akan sampai kepadanya. Salah satu dalil yang digunakan untuk mendukung pendapat ini adalah firman Allah Swt berikut ini:
 
 وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
 
“Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami...” (QS. al-Hasyr: 10).
 
 اَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اَنَّ الدُّعَاءَ لِلْاَمْوَاتِ يَنْفَعُهُمْ وَيَصِلُهم ثَوَابُهُ وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
 
“Para ulama sepakat bahwa doa untuk orang-orang yang telah meninggal dunia akan memberikan manfaat kepada mereka dan akan sampai juga pahalanya kepada mereka. Para ulama ini berdalil dengan firman Allah Swt, ‘Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan suadara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami,’ (al-Hasyr: 10).’” (Imam Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah, cet ke-1, 1425 H/2004 M, halaman 180). 
 
والله أعلم بالصواب
Read More
      edit