Wednesday, July 29, 2020

Published July 29, 2020 by with 0 comment

Menjawab Vonis Bid’ah Kaum Salafi-Wahabi terhadap Dzikir Jahar (Bagian Kedua)

Sedangkan untuk dalil kedua, berikut jawabannya:

Alasan ini pun tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang, membid’ahkan atau mengharamkan semua bentuk dzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar). Mengapa? Karena perintah irba’uu dalam hadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar (nyaring). Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka.

Berdasarkan inilah maka Syaikh Ad-Dahlawi dalam al-Lama’aat Syarh al-Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat di mana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan. Sebenarnya hadits ini berkaitan dengan larangan mengangkat suara saat berdzikir di  jalan (di perjalanan). Hal ini berbeda dengan dzikir nyaring (jahar) setelah shalat yang benar-benar disunnahkan karena terdapat banyak hadits shahih yang menegaskannya.[1] 

Kalau sekiranya Rasulallah SAW tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras (nyaring/jahar) di jalanan, apalagi waktu itu dalam suasana peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir secara berlebihan sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan oleh Rasulullah SAW. Padahal perbuatan seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau SAW. Peristiwa yang dikisahkan dalam hadits di atas terjadi saat para sahabat bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan perang menuju Khaibar. Tentu saja melakukan dzikir dengan suara keras dalam keadaan seperti itu tidak akan membawa kebaikan, bahkan bisa jadi akan menimbulkan bencana bila kemudian didengar oleh musuh, yakni orang-orang kafir.

Selain itu, Rasulullah SAW melarang para sahabat melakukan hal itu agar mereka nantinya tidak merasa bertambah lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Bukankah keletihan akan semakin berlipat ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh ditambah rasa letih akibat berdzikir dengan suara keras? Itulah alasan lain pelarangan berdzikir keras dalam hadits di atas.

Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Dawud mengatakan bahwa kata-kata rafa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menegaskan terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak. Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebih-lebihan.

Bila hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar (nyaring), maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shahih  yang berkaitan dengan dzikir secara jahar. Berikut akan kami sampaikan dalil shahih yang menjelaskan tentang kesunnahan berdzikir dengan suara nyaring (jahar) setelah shalat berjamaah.

Dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata:

 أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW.” Ibnu Abbas menambahkan, “Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.

Masih dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:

 كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

Aku megetahui selesainya shalat Nabi SAW dari suara takbir. (HR Bukhari).

Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang melarang dan membid’ahkannya. Ibnu Daqiqil Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah ra berkata, “Aku mendengar Nabi SAW membaca apabila telah selesai shalat:

لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tentu saja al-Mughirah ra tidak akan mendengar dzikir ini kalau bukan karena Rasulullah SAW mengeraskan suaranya saat membacanya. Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah di atas. Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana mungkin sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi SAW disebut bid’ah?

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nabi SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi berkomentar, “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain dilaksanakan secara jahar.”

Ada banyak hadits yang memperlihatkan bahwa melakukan dzikir jahar bukanlah sesuatu yang terlarang. Al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi  telah mengumpulkan 25 hadits yang menunjukkan dalil disyariatkannya dzikir secara berjamaah dan dengan suara nyaring (dzikir jahar). Oleh karena itu, tidaklah benar vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap dzikir jahar yang dilakukan seusai shalat berjamaah atau pada momen-momen lain di luar shalat berjamaah.

Bila kemudian ada dalil yang juga shahih yang menganjurkan untuk melakukan dzikir secara sirr (pelan) atau bahkan di dalam hati, namun tidak berarti bahwa dalil itu bisa dijadikan landasan untuk membid’ahkan umat Islam yang berdzikir secara jahar. Sikap yang demikian tentu bukan sikap yang bijaksana. Terkait dengan hal ini, Imam Nawawi memberikan penjelasan:

  بِأَنَّ اْلإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى بِهِ الْمُصَلُّوْنَ أَوْ نِيَامٌ وَالْجَهْرُ فِيْ غَيْرِ ذَلِكَ أَفْضَلُ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَّ فَائِدَتَهُ تَتَأَدَّى اِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ اِلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ اِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيْدُ فِي النَّشَاطِ

“Membaca dzikir dengan pelan itu lebih utama jika dapat menimbulkan sifat riya’ dan mengganggu orang yang sedang shalat atau tidur. Pada selain dua keadaan ini mengeraskan dzikir lebih utama karena pekerjaan yang dilakukan lebih banyak, manfaat dari dzikir itu mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati dzikir yang dibaca, mengonsentrasikan pendengarannya, menghilangkan rasa kantuk dan menambah semangat.” (Al-Hawi li al-Fatawi, Juz II, halaman 133).

Kesimpulan

Kesimpulannya, bahwa dzikir jahar (dengan suara nyaring) setelah shalat berjamaah adalah disyariatkan di dalam Islam dan bukanlah perkara bid’ah. Dengan demikian tuduhan dan vonis bid’ah yang disampaikan oleh sebagian orang terhadap amalan dzikir jahar tidaklah memiliki dasar, bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan dalil-dalil shahih yang ada.



[1] Insya Allah segera akan kami sebutkan hadit-hadits tersebut.

      edit

0 comments:

Post a Comment