Wednesday, July 29, 2020

Published July 29, 2020 by with 0 comment

Menjawab Vonis Bid’ah Kaum Salafi-Wahabi terhadap Dzikir Jahar (Bagian Pertama)

Berdzikir secara berjamaah dengan suara nyaring seusai shalat berjamaah telah biasa dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sejak masa lalu mengajarkan hal itu hingga kemudian diamalkan umat Islam hingga saat ini. Namun kemudian muncul fatwa dari kalangan Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa berdzikir dengan suara nyaring (dzikir jahar) adalah bid’ah yang tak pernah dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

Dalil yang Membid’ahkan

Biasanya yang dijadikan dalil untuk membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring adalah:

a. Firman Allah SWT:

 وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]: 205).

Dengan ayat ini, mereka mengatakan bahwa Allah SWT melarang untuk melakukan dzikir dengan suara nyaring.

 b. Hadits dari Abu Musa al-Asy’ari ra:

 عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ فَذَكَرَ مِنْ هَوْلِهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ وَيُهَلِّلُونَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ

“Dari Abu Musa ia berkata, “Suatu saat kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan, lalu kami melewati suatu lembah -ia kemudian menyebutkan kedahsyatannya- orang-orang pun bertakbir dan bertahlil (dengan suara keras), maka Nabi SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, pelankanlah suara kalian saat berdoa dan bertakbir.” Namun mereka tetap mengangkat suara mereka, maka beliau pun bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada Tuhan yang tuli, tidak pula gaib, sesungguhnya Dia bersama kalian.” (HR Ahmad, Tirmidzi, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan hadits ini mereka berkata, “Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir? Padahal hadits dari Abu Musa al-Asy’ari di atas jelas-jelas memperlihatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk  merendahkan suara ketika berdzikir.”

 Jawabannya

Untuk menjawab dalil pertama, simaklah uraian yang disampaikan oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawi halaman 293-294 berikut:

“Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.” Aku (Imam Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban: Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu di dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika Rasulullah SAW mengeraskan bacaan al-Qur’an dan terdengar oleh orang-orang musyrikin, sehingga mereka mencaci-maki ayat-ayat al-Qur’an dan yang menurunkannya (yakni Allah Ta’ala). Lalu Allah Ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan jahar untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya.

Kedua: “Sebagian mufassir, di antaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir, mendorong ayat ini kepada  keadaan  pedzikir saat ada pembacaan al-Qur’an, bahwa dianjurkan demikian untuk menghormati al-Qur’an, agar suara dzikir tidak dikeraskan di sisinya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah sebelumnya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: Saat diperintahkan ‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seakan-akan ada kekhawatiran mengarah kepada (sikap) menganggur (dari dzikir), maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, namun perintah dzikir dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan: “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’ala).”

Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan hanya untuk Nabi SAW yang memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan gudangnya pikiran-pikiran buruk, dianjurkan mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang shalat  pada malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para malaikat ikut shalat bersamanya dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya seluruh jin Mukmin yang terbang di udara serta tetangga  yang berada dalam rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.

Kalau engkau bertanya: (Bukankah) Allah Ta’ala telah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah dan al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, sekaligus men-shahih-kannya, dari Abu Nu’amah ra, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas dalam doa-doa mereka”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang dimaksudkan oleh sebuah nash.

Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berdzikir. Secara khusus doa memang lebih utama disirrkan, karena lebih dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’ala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang  lemah-lembut”. Dan karena itulah disunnahkan mensirrkan bacaan “ta’awwudz” dalam shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.”

 Nah, dari uraian al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi di atas dapat disimpulkan bahwa QS. al-A’raf ayat 205 di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang dan membid’ahkan dzikir dengan suara nyaring, karena ayat tersebut memang tidak berbicara tentang pelarangan itu.

Bersambung...
      edit

0 comments:

Post a Comment