Sunday, December 6, 2020

Published December 06, 2020 by with 0 comment

Memanggil Istri dengan Ibu atau Suami dengan Ayah: Haramkah?

Kerap kita mendengar seorang suami memanggil istrinya dengan ibu atau seorang istri memanggil suaminya dengan ayah. Bagaimana hukumnya? Apakah yang demikian itu termasuk zhihar?

Perlu diketahui bahwa panggilan yang demikian itu, baik dari istri kepada suami atau sebaliknya, tentulah tidak pernah diniatkan sebagai zhihar. Tujuan ungkapan seperti itu tidak lain adalah untuk mendidik anak sejak dini  agar memanggil orangtunya dengan panggilan yang sopan. Bisa dibayangkan bila seorang suami memanggil istri hanya dengan sebutan namanya saja, demikian pula sebaliknya, tentulah anak-anaknya yang masih kecil akan mencontoh hal itu, dan bila terus menerus dilakukan akan menjadi kebiasaan hingga mereka dewasa, dan yang pasti sangat jauh dari nilai-nilai kesopanan, terutama dalam konteks budaya kita bangsa Indonesia.

Tapi, bukankah memanggil istri dengan 'ibu' atau sebaliknya termasuk zhihar? 
Jawabannya, tentu saja tidak. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih luas, silakan simak penjelasan berikut ini. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini:

Pertama, kasus zhihar terjadi sejak masa jahiliyah. Pada masa itu jika seorang suami marah kepada istrinya, maka mereka biasanya mengatakan: anti 'alayya ka zhahri ummi, bagiku kamu sama seperti punggung ibuku. Pada waktu itu, perkataan yang seperti itu dimaknai sebagai bentuk memposisikan istri sama seperti ibu kandung. Artinya, ketika seorang laki-laki telah mengatakan perkataan seperti itu maka ia sudah tidak boleh lagi menggauli istrinya selama-lamanya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibu kandungnya sendiri. Dengan perkataan itu pula berarti sang suami tidak lagi bertanggungjawab menafkahi istri dan anak-anaknya. 

Kedua, kata zhihar masih satu akar kata dengan kata zhahr (punggung). Pada masa jahiliyah, punggung perempuan merupakan simbol keindahan tubuh kaum hawa yang dapat membangkitkan syahwat seorang laki-laki. Itulah sebabnya ucapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan punggung ibu kandungnya mengandung makna bahwa ia tidak akan menyentuh (menggauli) istrinya untuk selama-lamanya. Nah, di Indonesia konteks semacam ini tentu tidak berlaku.
 
Ketiga, tradisi zhihar yang berlaku sejak masa jahiliyah itu sejak turunnya QS. al-Mujadalah ayat 1 sudah mulai tergerus. Sejak saat itu, suami yang melakukan zhihar kepada istrinya diwajibkan membayar kafarat, dan perbuatan itu digolongkan sebagai dosa besar. Kafaratnya adalah membebaskan seorang budak mukmin, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam puluh orangfakir miskin.
 
Tradisi zhihar ini tentu tidak berlaku di dalam budaya Indonesia. Bahkan, Ibnu Asyur mengatakan bahwa tradisi zhihar hanya berlaku di Madinah. Di Mekah hal itu tidak dikenal.

Kesimpulan
 
Memanggil istri dengan ibu atau sebaliknya tidaklah termasuk zhihar. Karena tujuan melakukan hal itu tidak lain sebagai metode dalam mendidik anak-anak agar mereka bisa memanggil kedua orangtuanya dengan panggilan yang sopan. Selain itu, zhihar sebagai cara untuk menalak istri tidak dikenal dalam budaya kita bangsa Indonesia. Dan yang tak kalah penting untuk diingat, ketika seorang suami memanggil istrinya dengan ibu tak pernah meniatkan untuk benar-benar memposisikan istrinya laksana ibu kandungnya sendiri. Demikian pula sebaliknya.

Wallahu a'lam
 


      edit

0 comments:

Post a Comment