Wednesday, February 24, 2021

Published February 24, 2021 by with 0 comment

Yang Dungu dan Yang Bodoh

Ketahuilah, yang disebut dungu adalah orang yang ditinggal mati ayahnya lalu ia menangis, meratap, bersedih, dan merasa kecewa atasnya. Sementara dalam saat yang sama ia tidak menangisi pembangkangannya pada Allah. Seolah-olah kondisinya itu mengatakan: “Aku menangisi kepergian sesuatu yang telah membuatku lalai dari Tuhan.” Padahal, semestinya ia menyerah pasrah pada ketentuan Allah. Selain harus ridha dan sabar dalam menerima ujian tersebut lalu bergembira seraya mendekatkan diri pada Tuhan lantaran Dia telah mengambil sesuatu yang selama ini menyebabkan ia lalai dari-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian). Sementara di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (ath-Taghābun [64]: 15).

Sungguh buruk engkau wahai manusia kalau uban sudah tampak sementara pikiranmu tetap masih seperti anak-anak. Ia tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tak memahami apa yang Allah inginkan, dan tak mengetahui hikmah-Nya dalam mengujimu di dunia ini.

Bila benar-benar berakal, engkau seharusnya menganggap musibah dalam urusan agama jauh lebih berbahaya dan lebih hebat ketimbang musibah dunia. Tangisilah dirimu sebelum kau ditangisi saat matimu nanti. Sesungguhnya istri, anak, dan teman tidaklah menangisimu di saat engkau mati. Tetapi, sebetulnya mereka sedang menangisi kepentingan dan kebutuhan mereka yang hilang karena kepergianmu. Kalau saja engkau kurang dibutuhkan atau tidak begitu penting, pasti tak ada yang menangisimu. Justru sebaliknya, mereka akan berbangga dan merasa lapang. Karena itu, sebelum ditangisi, tangisilah dirimu di dunia ini. katakan pada dirimu: “Sudah sepantasnya aku meratapi maksiat dan ketidaktaatanku pada Tuhan sebelum aku ditangisi orang.”

Zaid ibn Arqam r.a. menceritakan bahwa suatu ketika seorang lelaki bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, bagaimana caranya aku menghindar dari neraka?” Beliau menjawab: “Dengan linangan kedua air matamu. Sesungguhnya kedua mata yang menangis karena takut pada Allah takkan tersentuh api neraka selamanya.” (H.R. Ibn Abid-Dunyā dan al-Ashbaḥānī).

Wahai manusia, bila engkau tak memiliki sikap wara‘ dan takut yang bisa menghalangimu dari berbuat maksiat, tangisilah dirimu di kala sendiri. Letakkanlah debu di atas kepalamu karena Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa yang tak memiliki rasa wara‘ yang bisa menghalanginya dari maksiat kepada Allah ketika sendirian, maka Allah pun sama sekali tiada peduli dengan ‘amalnya.”

Apakah menurutmu kemuliaan akhlāq seseorang diukur dari kesopanannya dalam berbicara, kesantunannya dalam bergaul, dan kedermawanannya pada manusia, sementara hak-hak Allah diabaikan dan aturan-Nya dilanggar? Tidak. Itu bukanlah akhlāq yang mulia, tetapi merupakan bentuk kemunāfiqan, penipuan, dan manipulasi. Engkau baru dianggap mempunyai akhlāq yang baik dan adab yang mulia bila engkau menjaga hak-hak Allah, melaksanakan hukum-hukumNya, mematuhi semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.

Menurut Abū Dzarr r.a. Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai Abū Dzarr, yang disebut akal adalah mengatur, yang disebut watak adalah menjaga diri (dari dosa), dan yang disebut kebanggaan adalah berakhlāq mulia.” (H.R. Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya).

Siapa yang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat kepada Allah, lalu menunaikan hak-hakNya, mengagungkan dan melaksanakan perintah-Nya, berarti ia memiliki akhlāq luhur dan berjiwa mulia. Allah berfirman: “Siapa yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (an-Nāzi‘āt [79]: 40-41).

Sungguh buruk dan dungu kalau engkau mampu menunaikan hak-hak manusia, berbuat baik kepada mereka, tetapi tidak menunaikan hak-hak Tuhan, Pencipta sekaligus Majikanmu, serta tidak menjalin hubungan yang baik dengan-Nya.

      edit

0 comments:

Post a Comment