عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: "مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا، وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Ammar bin Yasir ra, beliau berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang masih diragukan, berarti ia telah berbuat durhaka kepada Abu al-Qasim (yakni Nabi Saw).” (Imam al-Bukhari menyebut hadits ini sebagai mu’allaq tetapi al-Khamsah telah menilainya sebagai mawshul, dan dinilai shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban)
Penjelasan:
"Hari yang masih diragukan" atau yawm al-syak adalah tanggal 30 Sya’ban, jika pada malam harinya masih belum kelihatan anak bulan (hilal) karena cuaca gelap, misalnya pengaruh mendung atau asap dan sebagainya. Hari itu dapat dikategeorikan sebagai bagian permulaan Ramadhan atau dapat juga dianggap sebagai akhir bulan Sya’ban. Syariat Islam melarang berpuasa pada hari itu. Ulama berbeda pendapat mengenai larangan ini: ada yang menganggapnya bermakna haram dan ada yang mengatakan makruh.
Dikatakan sebagai hari yang masih meragukan karena misalnya pada hari itu banyak orang yang mengatakan anak bulan (hilal) telah muncul, tetapi masih belum dapat dibuktikan. Atau ada orang yang menyaksikan terlihatnya anak bulan, namun kesaksiannya itu tidak dapat diterima karena ia seorang yang fasik, atau karena sebab-sebab yang lain. Dalam ungkapan ini digunakan isim mawshul untuk mengisyaratkan bahwa melakukan puasa pada hari yang di dalamnya masih ada sedikit keraguan adalah dilarang, lebih-lebih lagi melakukan puasa pada hari yang jelas-jelas masih diragukan.
Fiqih Hadits
Imam al-Syafi’i berkata: "Haram berpuasa pada hari yang diragukan itu meskipun menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan, atau puasa sunnah pada hari itu bagi orang yang tidak biasa berpuasa pada waktu yang lain. Akan tetapi, dibolehkan berpuasa pada hari itu untuk mengqadha puasa wajib yang lain atau melakukan puasa sunnah bagi orang yang telah menjadi kebiasaannya untuk puasa.” Imam al-Syafi’i berpegang dengan perkataan "عَصَى" (durhaka), karena perbuatan durhaka tidak mungkin terjadi melainkan karena mengerjakan perbuatan yang diharamkan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berpuasa pada hari yang diragukan itu sebagai puasa Ramadhan adalah makruh tahrim, namun mereka membolehkan untuk puasa sunnah pada hari itu atau puasa mengqadha’ puasa wajib yang lain. Mereka berpendapat demikian karena menafsirkan hadits-hadits yang melarang berpuasa pada hari itu sebagai larangan untuk puasa Ramadhan. Mereka menjawab tentang perkataan "عَصَى", bahwa yang dimaksudkan dengannya adalah “ خالف ”, yakni berbeda. Maka jika berbeda, berarti hukumnya makruh.
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment