Pertanyaan:
Kapan sajakah waktu-waktu yang terlarang untuk shalat? Dan, shalat apakah
yang terlarang dikerjakan pada waktu-waktu tersebut?
Jawaban:
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitab Safînatun
Naja menyebutkan adalah 5 (lima) waktu yang terlarang untuk shalat.
Sedangkan Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitab Kâsyifatus Sajâ menjelaskan
kelima waktu tersebut sebagai berikut:
Pertama, ketika terbitnya matahari.
Waktu
terlarang shalat yang pertama ini dimulai
sejak mulai terbitnya matahari sampai dengan meninggi seukuran satu tombak.
Dalam rentang waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila
posisi tinggi matahari sudah mencapai satu tombak maka sah melakukan shalat
secara mutlak.
Kedua, ketika waktu istiwa sampai
dengan tergelincirnya matahari, kecuali
pada hari Jumat.
Waktu
istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada
saat matahari berada pada posisi ini terlarang bagi kita melakukan shalat. Perlu diketahui
bahwa waktu istiwa sangat sebentar sekali sampai-sampai hampir saja kita tidak bisa merasakannya higga kemudian matahari tergelincir.
Larangan
melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jumat. Artinya, shalat yang dilakukan pada hari Jumat
dan bertepatan dengan waktu istiwa diperbolehkan dan shalatnya sah.
Ketiga, ketika matahari berwarna
kekuning-kuningan sampai dengan tenggelam.
Larangan menunaikan shalat saat berada di tiga waktu
tersebut didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ،
أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى
تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ
تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Rasulullah Saw melarang kita
shalat dan mengubur jenazah di dalamnya: Ketika matahari terbit sampai
meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu
tengah hari) sampai matahari condong, dan ketika matahari condong menuju
terbenam hingga terbenam.”
Keempat, setelah melakukan shalat Subuh sampai dengan terbitnya
matahari.
Larangan
shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara adaa-an atau pada waktunya.
Misalnya,
anggaplah waktu shalat Subuh
dimulai dari pukul
4 pagi dan pada pukul
5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu Subuh. Ketika seseorang melakukan
shalat Subuh
pada pukul 4.15
menit umpamanya, maka setelah shalat Subuh itu ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunnah sampai dengan terbitnya matahari, bahkan sampai matahari meninggi
kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari hingga meninggi satu tombak juga merupakan
waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di
atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu pukul 4 sampai pukul 5 pagi itu, selama
ia belum melakukan shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun.
Adapun
orang yang melakukan shalat Subuh secara qadhaa-an pada waktu shalat Subuh,
maka ia boleh melakukan shalat lain setelahnya. Misalnya, seumpama seseorang pada hari
kemarin karena suatu alasan belum melakukan shalat Subuh lalu mengqadhanya pada waktu Subuh hari ini. Maka setelah ia melakukan shalat Subuh qadha tersebut ia tidak dilarang
melakukan shalat lainnya.
Kelima, setelah melakukan shalat Ashar sampai dengan tenggelamnya
matahari.
Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat Subuh
di atas, juga diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan
shalat Ashar secara adaa-an atau pada waktunya.
Sebagaimana contoh kasus di atas, juga bagi orang yang
pada waktu shalat Ashar melakukan shalat Ashar qadha sebagai pengganti shalat Ashar
yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan
shalat lainnya.
Keharaman
melakukan shalat setelah melakukan shalat Ashar ini terus berlaku sampai dengan
tenggelamnya matahari.
Rasulullah
Saw bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ
الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ
الشَّمْسُ
“Tak
ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi, dan tak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR
Imam Bukhari).
Lalu, shalat
apakah yang terlarang dilakukan pada kelima waktu tersebut?
Syekh
Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya tersebut menuturkan bahwa shalat yang terlarang dilakukan pada kelima waktu itu
adalah shalat sunnah
yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang bersamaan.
Misalnya shalat tahiyatul masjid. Ini adalah shalat sunnah
yang dilakukan karena adanya sebab yang mendahului shalatnya, yakni masuknya
seseorang ke dalam masjid. Kapanpun
seseorang masuk masjid ia disunnahkan melakukan shalat tahiyatul masjid meskipun pada salah
satu dari lima waktu yang terlarang untuk shalat.
Sedangkan
contoh shalat sunnah
yang memiliki sebab yang bersamaan adalah shalat gerhana bulan dan matahari. Shalat sunnah ini mesti dilakukan bersamaan dengan waktunya bulan dan matahari
mengalami gerhana, tidak bisa dilakukan sebelum atau sesudah gerhananya usai.
Maka, andaikan gerhana itu terjadi
pada waktu yang terlarang
untuk shalat,
maka tidak haram hukumnya melakukan shalat sunnah gerhana pada waktu tersebut.
Dengan
kata lain, shalat
yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak atau shalat sunnah yang memiliki sebab yang terjadi
setelah shalatnya dilakukan.
Shalat
sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang tidak terikat dengan
apapun. Ia dilakukan begitu saja tanpa adanya sebab tertentu. Sebagai contoh,
ketika Anda memiliki waktu luang dan ingin mengisinya dengan ibadah kepada
Allah maka Anda bisa melakukan shalat dua rakaat atau lebih. Shalat seperti ini
disebut shalat sunnah
mutlak. Kapanpun dan di manapun Anda bisa melakukannya, hanya saja dilarang
dilakukan pada kelima waktu tersebut di atas.
Adapun
shalat sunnah
yang memiliki sebab yang terjadi setelah dilakukannya shalat, contohnya adalah shalat sunnah safar. Yakni shalat sunnah yang dilakukan ketika seseorang
hendak melakukan satu perjalanan. Sebab dilakukannya shalat sunnah ini adalah adanya perjalanan
yang akan dilakukan. Karena perjalanannya—sebagai sebab—baru akan dilakukan
setelah dilakukannya shalat, maka shalat sunah safar tidak diperbolehkan dilakukan pada
kelima waktu yang dilarang.
Perlu
diketahui juga bahwa larangan
melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di tanah suci Makah.
Artinya, di tanah suci Makah seseorang diperbolehkan melakukan shalat apapun di
waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah satu dari lima waktu yang
diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا
الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
“Jangan
kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini (Ka’bah) kapanpun ia mau, baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasai)
Adapun
di Madinah berlaku hukum sebagaimana umumnya tempat, tidak seperti di Kota
Makkah.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment