Tuesday, July 16, 2019

Published July 16, 2019 by with 0 comment

Waktu-waktu Terlarang untuk Shalat

Pertanyaan:
Kapan sajakah waktu-waktu yang terlarang untuk shalat? Dan, shalat apakah yang terlarang dikerjakan pada waktu-waktu tersebut?
 
Jawaban:
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitab Safînatun Naja menyebutkan adalah 5 (lima) waktu yang terlarang untuk shalat. Sedangkan Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitab Kâsyifatus Sajâ menjelaskan kelima waktu tersebut sebagai berikut:
 
Pertama, ketika terbitnya matahari. 
Waktu terlarang shalat yang pertama ini dimulai sejak mulai terbitnya matahari sampai dengan meninggi seukuran satu tombak. Dalam rentang waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila posisi tinggi matahari sudah mencapai satu tombak maka sah melakukan shalat secara mutlak.
 
Kedua, ketika waktu istiwa sampai dengan tergelincirnya matahari, kecuali pada hari Jumat.
Waktu istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada saat matahari berada pada posisi ini terlarang bagi kita melakukan shalat. Perlu diketahui bahwa waktu istiwa sangat sebentar sekali sampai-sampai hampir saja kita tidak bisa merasakannya higga kemudian matahari tergelincir. 
 
Larangan melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jumat. Artinya, shalat yang dilakukan pada hari Jumat dan bertepatan dengan waktu istiwa diperbolehkan dan shalatnya sah.
 
Ketiga, ketika matahari berwarna kekuning-kuningan sampai dengan tenggelam.
Larangan menunaikan shalat saat berada di tiga waktu tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
 
ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
 
“Ada tiga waktu di mana Rasulullah Saw melarang kita shalat dan mengubur jenazah di dalamnya: Ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu tengah hari) sampai matahari condong, dan ketika matahari condong menuju terbenam hingga terbenam.”
 
Keempat, setelah melakukan shalat Subuh sampai dengan terbitnya matahari.
Larangan shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara adaa-an atau pada waktunya. 
 
Misalnya, anggaplah waktu shalat Subuh dimulai dari pukul 4 pagi dan pada pukul 5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu Subuh. Ketika seseorang melakukan shalat Subuh pada pukul 4.15 menit umpamanya, maka setelah shalat Subuh itu ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunnah sampai dengan terbitnya matahari, bahkan sampai matahari meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari hingga meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu pukul 4 sampai pukul 5 pagi itu, selama ia belum melakukan shalat Subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun. 
 
Adapun orang yang melakukan shalat Subuh secara qadhaa-an pada waktu shalat Subuh, maka ia boleh melakukan shalat lain setelahnya. Misalnya, seumpama seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan belum melakukan shalat Subuh lalu mengqadhanya pada waktu Subuh hari ini. Maka setelah ia melakukan shalat Subuh qadha tersebut ia tidak dilarang melakukan shalat lainnya.
 
Kelima, setelah melakukan shalat Ashar sampai dengan tenggelamnya matahari.
Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat Subuh di atas, juga diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat Ashar secara adaa-an atau pada waktunya. 
 
Sebagaimana contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu shalat Ashar melakukan shalat Ashar qadha sebagai pengganti shalat Ashar yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat lainnya.
 
Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat Ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.
 
Rasulullah Saw bersabda:
 
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
 
“Tak ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi, dan tak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR Imam Bukhari).
 
Lalu, shalat apakah yang terlarang dilakukan pada kelima waktu tersebut? 
 
Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya tersebut menuturkan bahwa shalat yang terlarang dilakukan pada kelima waktu itu adalah shalat sunnah yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang bersamaan
 
Misalnya shalat tahiyatul masjid. Ini adalah shalat sunnah yang dilakukan karena adanya sebab yang mendahului shalatnya, yakni masuknya seseorang ke dalam masjid. Kapanpun seseorang masuk masjid ia disunnahkan melakukan shalat tahiyatul masjid meskipun pada salah satu dari lima waktu yang terlarang untuk shalat.
 
Sedangkan contoh shalat sunnah yang memiliki sebab yang bersamaan adalah shalat gerhana bulan dan matahari. Shalat sunnah ini mesti dilakukan bersamaan dengan waktunya bulan dan matahari mengalami gerhana, tidak bisa dilakukan sebelum atau sesudah gerhananya usai. Maka, andaikan gerhana itu terjadi pada waktu yang terlarang untuk shalat, maka tidak haram hukumnya melakukan shalat sunnah gerhana pada waktu tersebut.
 
Dengan kata lain, shalat yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak atau shalat sunnah yang memiliki sebab yang terjadi setelah shalatnya dilakukan. 
 
Shalat sunnah mutlak adalah shalat sunnah yang tidak terikat dengan apapun. Ia dilakukan begitu saja tanpa adanya sebab tertentu. Sebagai contoh, ketika Anda memiliki waktu luang dan ingin mengisinya dengan ibadah kepada Allah maka Anda bisa melakukan shalat dua rakaat atau lebih. Shalat seperti ini disebut shalat sunnah mutlak. Kapanpun dan di manapun Anda bisa melakukannya, hanya saja dilarang dilakukan pada kelima waktu tersebut di atas.
 
Adapun shalat sunnah yang memiliki sebab yang terjadi setelah dilakukannya shalat, contohnya adalah shalat sunnah safar. Yakni shalat sunnah yang dilakukan ketika seseorang hendak melakukan satu perjalanan. Sebab dilakukannya shalat sunnah ini adalah adanya perjalanan yang akan dilakukan. Karena perjalanannya—sebagai sebab—baru akan dilakukan setelah dilakukannya shalat, maka shalat sunah safar tidak diperbolehkan dilakukan pada kelima waktu yang dilarang.
 
Perlu diketahui juga bahwa larangan melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di tanah suci Makah. Artinya, di tanah suci Makah seseorang diperbolehkan melakukan shalat apapun di waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah satu dari lima waktu yang diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
 
لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
 
“Jangan kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini (Ka’bah) kapanpun ia mau, baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasai)
 
Adapun di Madinah berlaku hukum sebagaimana umumnya tempat, tidak seperti di Kota Makkah. 
 
Wallahu a’lam
      edit

0 comments:

Post a Comment