9. Penambahan
Adzan pada Adzan Jum’at
وَعَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضى الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ اَوَّلَهُ اِذَا جَلَسَ اْلاِمَامِ عَلَى اْلمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَاَبِيْ بَكْرٍِ وَعُمَرَ رضي الله عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثُ عَلَى الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌُ فِيْ سُوْقِ اْلمَدِيْنَةِ.
Artinya: Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman radhiyallahu ‘anhu, dan masyarakat semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” [1]
Informasi dari al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu di atas jelas sekali memperlihatka bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pada masa kekhalifahannya telah melakukan perkara baru yang belum pernah ada, baik pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar maupun Umar radhiyallahu ‘anhuma. Perkara baru yang beliau lakukan itu adalah menambahkan adzan pada hari Jum’at, selain adzan yang dikumandangkan pada saat khatib sudah duduk di atas mimbar.
Ketahuilah bahwa ini merupakan hasil ijtihad Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpesan kepada Utsman radhiyallahu ‘anhu agar kelak melakukan hal yang demikian itu ketika jumlah penduduk sudah semakin banyak, namun apa yang beliau lakukan itu tidaklah menyalahi sunnah. Ketika Utsman radhiyallahu ‘anhu memfatwakan hal itu, semua sahabat yang hidup pada masa itu menyetujuinya. Bahkan, tradisi menambahkan adzan pada hari Jum’at itu terus dilestarikan oleh Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dan para ulama yang hidup dari generasi selanjutnya. Kalaupun ini dikatakan bid’ah, maka ia adalah bid’ah hasanah. Meskipun pada hakikatnya ia adalah sunnah khalifah al-rasyidin.
Lalu, bagaimana mungkin sunnah Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu ini telah dianggap bid’ah yang haram untuk dilakukan oleh seorang ulama hadits tanpa sanad andalan kaum Salafi-Wahabi, yakni Nashiruddin al-Albani?[2] Padahal sejak masa Utsman, Ali, dan para ulama salaf al-shalih tak ada seorang pun yang mengingkarinya. Bagaimana mungkin al-Albani mengatakan demikian itu? Sesungguhnya dengan pengharamannya atas tambahan adzan pada hari Jum’at, ia telah menuduh Utsman, Ali, sahabat-sahabat radhiyallahu ‘anhum lainnya yang hidup pada masa itu, dan seluruh generasi salaf al-shalih yang melanjutkan sunnah Khalifah Utsman itu sebagai ahli bid’ah dan berhak mendapatkan tempat di dalam neraka. Na’udzubillah min dzalik.
10. Shalat Qabliyah dan Ba’diyah pada Shalat ‘Id
عَنْ الوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعٍِ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ اَمِيْرِ اْلمْؤمِنِيْنَ عَلِي بْنِ اَبِيْ طَالِبٍِ رضي الله عنهُ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍِ فَسَألََهُ قَوْمٌُ مِنْ اَصْحَابِهِ فَقَالُوْا: يَا اَمِيْرَ اْلمُؤمِنِيْنَ مَا تَقُوْلُ فِي الصَّلاَةِ يَوْمِ اْلعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَبَعْدَهاَ؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئاًَ ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌُ فَسَألُوْا كَمَا سَألُوْهُ ــ الَّذِيْنَ كَانُوْ قَبْلَهُمْ ــ فَمَا رَدَّ عَلًيْهِمْ فَلَمَّا انْتَهَيْنَا اِلَى الصَّلاَةِ وَصَلَّى بِالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًَا وَخَمْسًَا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا: يَا امِيْرَ اْلمُؤمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌُ يُصَلُّوْنَ؟ قَالَ: فَمَا عَسَيْتُ اَنْ اَصْنَعَ سَألْتُمُوْنِيْ عَنِ السُّنَّةِ؟ اِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ اَتَرَوْنِيْ اَمْنَعُ قَوْمًَا يُصَلُّوْنَ فَاَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ عَبْدًَا اِذَا صَلَّى.
Artinya: Al-Walid bin Sari’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakan kepadanya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama kepada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya, “Hai Amirul Mu’minin, mereka melakukan shalat sunat sesudah ‘Id!?” Beliau menjawab, “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘Id dan sesudahnya. Tetapi barangsiapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan barangsiapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang yang mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat.” [3]
Di dalam riwayat ini jelas sekali kita dapatkan informasi dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan shalat sunat sebelum dan sesudah shalat ‘Id. Namun mengapa Ali radhiyallahu ‘anhu membiarkan sebagian orang yang sedang melakukan shalat sunat yang tidak pernah dicontohkan Nabi tersebut? Jawabannya, meskipun hal itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, namun yang dilakukan oleh sebagian sahabat itu tidak bertentangan dengan sunnah. Itulah mengapa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang mau melakukan, lakukanlah; dan barangsiapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah”. Itu adalah pilihan.
Mereka yang melakukan shalat sunat setelah shalat ‘Id itu adalah orang-orang yang ingin menyembah Allah. Ali radhiyallahu ‘anhu tidak ingin dicap sebagai orang yang menghalangi orang lain yang ingin shalat, sehingga beliau mendiamkannya. Di sini, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu yang merupakan salah satu Khalifah al-Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tentu salah dan tercela. Tentu saja pemahaman Ali radhiyallahu ‘anhu ini lebih layak untuk kita ikuti daripada orang-orang di zaman ini yang mudah menuduh orang lain berbuat bid’ah.
11. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Doa Talbiyah
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menunaikan ibadah haji adalah: [4]
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، اِنَّ اْلحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَاْلمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Tetapi Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكََ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَاْلخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ اِلَيْكَ وَاْلعَمَلُ
Dalam riwayat ini tampak jelas bagi kita bagaimana Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma telah menambah doa talbiyah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan doa talbiyah yang dikarangnya sendiri. Ini adalah hal yang baru, namun tidak bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits nomor 7 hingga 11 adalah dalil-dalil yang memperlihatkan bahwa perkara baru dalam agama itu juga dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita akan menuduh perbuatan mereka itu sebagai bid’ah dhalalah, sementara mereka berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar langsung hadits-hadits dari beliau? Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mencintai Nabi dan tidak sedikit pun berkehendak untuk menyelisihi Nabi. Dari dalil-dalil di atas sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa tidak selamanya yang tidak dilakukan oleh Nabi pada masa kehidupannya itu menyimpang dan menyesatkan. Itulah bid’ah hasanah.
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (912), Imam
Abu Dawud (1089), Imam al-Tirmidzi (516), Imam al-Nasa’i (1391), Imam Ibnu
Hibban (1135), Imam Ahmad (15754), dan Imam Ibnu Khuzaimah (1773).
[2] Lihat: al-Ajwibah
al-Nafi’ah.
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, sebagaimana
yang diterangkan oleh al-Hafizh al-Haitsami di dalam Majma’ al-Zawaid (2/438).
Di sana
dijelaskan juga oleh beliau, bahwa Anas bin Malik ra dan al-Hasan al-Bashri
melaksanakan shalat qabliyah dan ba’diyah pada shalat Idul Fithri maupun Idul
Adha.
[4] HR Imam
Bukhari (2/170), Imam Muslim (1184), Imam Abu Dawud (1812), dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment