الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ (٣)
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang
gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang
Kami anugerahkan kepada mereka (3).
- Tafsir Ath-Thabari
[Al-Ghaib] berarti
segala hal yang masih tersembunyi. Oleh karena itu, beriman kepada
perkara yang gaib berarti membenarkan adanya surga dan neraka, pahala
dan siksa, juga adanya hari kebangkitan, serta membenarkan adanya Allah,
malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan segala hal yang sebelumnya
disangkal oleh orang-orang Arab Jahiliah. Padahal, perkara-perkara itu
adalah perkara-perkara yang wajib diimani walaupun hakikatnya masih
tersembunyi.
Firman Allah [yuqiimuunash shalaata] berarti menunaikan shalat dengan menyempurnakan ruku' dan sujudnya, memelihara kekhusyu'annya, dan memahami bacaannya, serta menegakkan nilai-nilainya di dalam kehidupan nyata. Itulah maksud mendirikan shalat menurut Ibnu Abbas.
Shalat itu sendiri secara etimologis berarti doa, sehingga orang yang mendirikan shalat pada hakikatnya adalah seseorang yang sedang memohon kepada Allah Subhanahu wata'ala agar mendapatkan pahala dari-Nya, serta agar terpenuhi hajat hidupnya di dunia.
Adapun tafsir [wamimmaa razaqnaahum yunfiquun] menurut Ibnu Abbas adalah orang-orang yang menunaikan zakat mal (harta). Sedangkan menurut Al-Dahhak adalah orang-orang yang menginfakkan sebagian harta sesuai batas kemampuan. Kedua penafsiran ini menurut Imam Ath-Thabari dapat dipadukan, karena baik zakat maupun infak pada dasarnya sama-sama merupakan upaya seorang hamba untuk mengeluarkan sebagian hartanya yang halal agar memperoleh keridhaan Allah Ta'ala.
➨ Rujukan: Tafsir Ath-Thabari, Jilid I, 2001: 240-250
0 comments:
Post a Comment