Isbal adalah
menjulurkan pakaian ke bawah sampai melewati mata kaki bahkan hingga menyentuh
tanah. Sampai hari ini, memakai celana di bawah mata kaki (isbal)
untuk kaum lelaki masih menjadi perdebatan di sebagian masyarakat muslim,
apakah ia diperbolehkan atau tidak dalam Islam. Perdebatan ini muncul karena
ada sebagian ulama yang memahami hadits
terkait isbal
dengan menggunakan satu riwayat hadits saja,
sedangkan ulama yang lain memahami persoalan isbal dengan menggunakan banyak
riwayat yang lain.
Alhasil, ulama yang memahami hadits terkait isbal ini dengan merujuk pada satu riwayat saja cenderung melarang, bahkan mengharamkan isbal itu. Dan ulama lainnya membolehkan, selama tidak ada rasa sombong dalam hati ketika berpakain isbal.
Berikut ini riwayat hadits yang pertama:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Orang yang memakai sarung di bawah mata kaki akan berada di dalam api neraka.” (HR Al-Nasa’i)
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال بينما رجل يجر إزاره إذ خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة
“Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Ketika seorang lelaki menyeret kainnya karena rendah (menutupi mata kaki), maka dia berbuat sombong di muka bumi hingga hari kiamat.” (HR Al-Bukhari)
Dalam dua riwayat di atas Nabi Muhammad Saw menyampaikan secara umum terkait isbal, di mana beliau menjelaskan bahwa siapapun di antara umatnya lelaki yang berpakian panjang melebihi mata kaki maka nerakalah tempatnya. Hadits di atas tidak menjelaskan secara rinci terkait apa alasan dan motif larangan berpakaian isbal. Maka, bila dua hadits di atas dipahami secara lahiriyah pemahaman yang muncul adalah seseorang yang memakai sarung atau celana yang panjangnya melebihi mata kaki, dia akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai hukuman atas perbuatannya.
Namun bila kita mengakaji lebih dalam dengan membaca dan mengumpulkan semua hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, maka kita akan mengetahui apa yang ditarjihkan oleh Imam an-Nawawi (676 H), Imam Ibn Hajar (852 H) dan lain-lainnya. Bahwa yang dimaksud dalam hadits di atas adalah sikap sombong yang menjadi motivasi seseorang dalam menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras. Demikian dapat dilihat bahwa Imam Al-Nawawi (676 H) dalam kitabnya Riadhus al-Shalihin memasukkan hadits-hadits tentang isbal pada Bab Tahrim al-Kibar wa al- I’jab (Bab Keharaman Bersikap Sombong dan Membanggakan Diri), dan tidak meletakkan hadits tersebut pada bab haram berpakaian isbal.
Untuk memahami lebih lanjut tantang keharaman isbal karena termotivasi oleh sikap sombong, mari kita perhatikan beberapa riwayat hadiys yang kedua berikut ini.
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits pada bab “Barangsiapa Menyeret Sarungnya Bukan Karena Sombong”.
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة قال أبو بكر: يا رسول الله، إن أحد شقي إزاري يسترخي، إلا أن أتعاهد ذلك منه؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لست ممن يصنعه خيلاء.
“Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa menjulurkan sarungnya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah karena kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat. Abu Bakar berkata kepadanya: Ya Rasulullah, salah satu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, kecuali bila aku sering membetulkan letaknya. Rasulullah bersabda: Engkau tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR Al-Bukhari)
Dalam hadits yang lain pada bab yang sama diceritakan bahwa Abu Bakrah berkata yang artinya: “Ketika terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada bersama Nabi, beliau berdiri lalu berjalan menuju masjid sambil menyeret sarungnya karena tergesa-gesa…” Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Allah Swt tidak akan melihat kepada siapa saja yang menyeret sarungnya kerena sombong.” Kemudian dalam hadits lainnya Rasulullah Saw bersabda:
سمعت أبا هريرة يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم أو قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: «بينما رجل يمشي في حلة، تعجبه نفسه، مرجل جمته، إذ خسف الله به، فهو يتجلجل إلى يوم القيامة»
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Seorang lelaki yang sedang berjalan dengan berpakaian sangat mewah yang membuat dirinya sendiri merasa kagum, dan rambutnya tersisir rapi. Tiba-tiba ia ditelan oleh longsoran tanah maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat.” (HR Al-Bukhari)
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits tentang isbal yang dilarang karena termotivasi oleh kesombongan.
ابن عمر قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم بأذني هاتين، يقول: من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة، فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة.
“Ibn Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang menjulurkan sarungnya tidak ada suatu tujuan kecuali untuk kesombongan, maka Allah Swt tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR Muslim)
Keterangan tambahan pada beberapa hadits di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Menurut ulama yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, secara jelas dalam hadits ini Nabi Muhammad Saw menekankan soal “takabbur atau membanggakan diri ” sebagai satu-satunya alasan mengapa dilarang memakai baju panjang, sarung, atau celana hingga di bawah mata kaki atau isbal.
Melihat riwayat-riwayat hadits tentang isbal di atas ternyata dalam sebagian riwayat ia bersifat muthlaq (tanpa keterangan) seperti riwayat yang pertama. Sementara dalam beberapa riwayat yang lain bersifat muqayyad (diberi keterangan), seperti riwayat yang kedua di atas. Maka bila ada dua dalil yang satu tanpa keterangan dan satunya lagi diberi keterangan, maka kita mengambil yang muqayyad atau yang diberi keterangan. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh ulama ushul fiqih bahwa:
اذا ورد دليلان في موضع واحد. الأول منهما مطلقا والثاني مقيد. فلا بد من حمل المطلق على المقيد
“Jika terdapat dua dalil yang muncul secara bersamaan dalam satu bahasan satu di antaranya berbentuk mutlaq (umum) dan yang lain berbentuk muqayyad (disertai penjelasan), maka hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad harus diberlakukan pada ayat yang mutlaq.”
Mengapa demikian? Karena ayat yang muqayyad dinilai lebih detail dan mempunyai dalalah atau petunjuk terhadap hukum yang lebih dari pada ayat yang bersifat mutlaq.
Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub menjelaskan terkait persoalan isbal dengan memberi kesimpulan bahwa menurunkan kain di bawah mata kaki berada di neraka apabila pelakunya itu berniat untuk sombong, jika tidak sombong, maka ia tidak berada di neraka atau tidak apa-apa. Imam Ibn Hajar al-Asqalani dengan mengutip pandangan Imam al-Nawawi, menyatakan bahwa teks-teks hadits tentang orang yang menyeret kain dengan sombong menunjukkan bahwa keharaman tersebut khusus bagi yang sombong.
Jadi intinya, penyebab orang masuk neraka dalam perihal isbal adalah karena sifat sombong pemakainya. Sehingga apabila ada orang yang tidak berpakaian isbal atau berpakaian dengan pakaian yang ada di atas mata kaki (kebalikan isbal) lalu disertai dengan kesombongan ketika memakainya, maka neraka juga tempatnya. Berpakaian isbal ataupun tidak sama saja, dibolehkan asal tidak disertai kesombongan.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment