A. Hadits-hadits
Menempelkan Kaki
Hadits Riwayat Anas bin Malik
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنِّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
Dari Anas bin Malik, dari
Nabi Muhammad Saw: “Tegakkanlah shaf kalian, karena aku melihat kalian dari
belakang punggungku.” Ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan
bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya. (HR Al-Bukhari)
Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيْرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man bin Basyir berkata: “Aku melihat laki-laki di antara
kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (HR Al-Bukhari)
B. Kajian dan Pembahasan Hadits
Para ulama
berbeda pendapat dalam memberi
komentar serta menarik kesimpulan hukum dari hadits ini. Ada yang cenderung mengharuskan untuk mengamalkannya secara tekstual dan ada pula yang melihat pada maqashidnya.
Syeikh Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin
al-Albani dalam kitabnya,
Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menulis sebagai berikut:
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiah. Bahkan lebih jelek dari itu.
Syeikh Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq di dalam hadits itu adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama lutut dan sesama bahu harus benar-benar menempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai 'sunnah nabi'. Tak hanya itu, Albani menuduh orang yang tidak sependapat dengan pendapatnya itu sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah, bahkan lebih buruk lagi.
Pendapat Syeikh Albani ini kemudian didukung oleh murid-murid setianya, dan mereka menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidupkan kembali di masa sekarang.
Syeikh Bakr Abu Zaid
Syeikh Bakr Abu Zaid adalah salah seorang ulama
Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi. Dalam
kitab La Jadida fi Ahkam as-Shalat (Tidak Ada yang Baru dalam Hukum
Shalat), Syeikh Bakr Abu Zaid
menulis sesuatu yang agak berbeda dengan pendapat Albani:
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan lutut dengan lutut adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang difahami para sahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata kaki, lutut dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf. Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pendapat yang
lain kita dapatkan dari ulama Saudi
Arabia lainnya, yakni Syeikh Shalih
al-Utsaimin. Ketika al-Utsaimin ditanya tentang
menempelkan mata kaki, ia pun menjawab:[1]
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة
Setiap masing-masing jamaah hendaknya
menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus.
Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka
dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah
jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus.
Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus. Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkan kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
Komentar Imam Ibnu Rajab al-Hanbali
Imam Ibnu Rajab
al-Hanbali termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih
Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:[2]
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب
والأقدام
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.
Nampaknya Imam Ibnu Rajab
lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu
dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani
Ulama besar abad kesembilan yaitu Imam Ibnu
Hajar al-Asqalani menuliskan:[3]
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan
dalam meluruskan shaf dan menutup celah.
Memang di sini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Beberapa Point Penting
1. Bukan Tindakan
Atau Anjuran Nabi SAW
Jika kita baca dengan seksama
teks hadits dua riwayat di atas, kita
dapati bahwa ternyata yang Nabi Saw anjurkan
adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya:
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkan
barisan kalian
Itu yang beliau katakan. Sama sekali beliau Saw tidak berkata, “Tempelkanlah mata kaki kalian!” Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
2. Pemahaman Salah Satu dari Sahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama.
Dalam riwayatnya disebutkan:
- [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
- [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami
- [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi
kesemuanya merujuk pada makna bahwa “salah satu”
sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari
salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah
Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan sahabat, Al-Amidi, salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan:[4]
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan sahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi
hujjah jika dilakukan semua sahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa
menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita
tidak tahu siapakah lelaki itu.
Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak
melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik
dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka
berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat. Kenapa? Karena yang
melakukannya bukan Rasulullah Saw sendiri. Dan
para sahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu
orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar
al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:[5]
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ
ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas.
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, “Jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Para pembela pendapat
tempel-menempel mata kaki sering berdalil, jika ada suatu perbuatan yang
dilakukan di hadapan Nabi Saw, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya,
maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Maka jawabnya, tentu benar
sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa
diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan di hadapannya itu tidak berfungsi
kecuali hanya untuk menunjukkan bolehnya hal itu. Dan sunnah taqririyah itu
tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan, apalagi berubah menjadi
kewajiban. Lebih tidak benar lagi tatkala sampai main ancam bahwa orang yang tidak
melakukannya dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah
fatwa yang bersifat emosional dan
memaksakan diri.
5. Susah Dalam Prakteknya
Saya kira, jika pun
dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, namun tak ada satu pun di antara
kita yang bisa mempraktekannya. Jika tidak percaya, silahkan praktikkan
sendiri menempelkan mata kaki, lutut dan bahu secara bersamaan di dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata
kaki “harus” menempel dalam shaf shalat? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, mengatakan harus menempel.
Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani.
Bahkan beliau mengatakan bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu
lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Syaikh Utsaimin dan didukung oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, saya belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat. Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki malah shalat menjadi tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf, maka hal itu pun menjadi sesuatu yang tidak baik.
Wallahu a'lam
[1]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311
[2]
Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.
[3]
Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211
[4]
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99
0 comments:
Post a Comment